Akhir-akhir ini mencuat berita terkait Institut Pertanian yang terkenal di Kota Bogor (IPB) berencana membuka fakultas kedokteran. IPB dikenal dengan institusi pendidikan yang menitikberatkan ilmu-ilmu seputar pertanian dan peternakan. Fakultas Kedokteran Hewan memang tersedia di IPB, namun rencana membuka fakultas kedokteran lagi ini kemudian memunculkan tanda tanya di berbagai kalangan.
Rektor IPB University Arif Satria melalui kanal Youtube IPB TV menyampaikan, jika IPB bukan pemain baru dalam dunia medis. Hal ini terbukti dengan banyaknya relasi yang dimiliki IPB serta riset-riset yang berhubungan dengan medis. Selain itu, minat lulusan SMA yang masih sangat tinggi untuk menjadi dokter merupakan latar belakang berdirinya fakultas kedokteran di IPB.
Sementara itu, Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran Willy Aditya mengingatkan pentingnya revisi UU pendidikan kedokteran. Menurutnya, banyak masalah dalam penyelenggaran sistem kesehatan nasional yang hulu masalahnya ada di pendidikan kedokteran. Menanggapi rencana IPB membuka fakultas kedokteran, menurutnya terkesan janggal dan hanya berorientasi pada logika pasar belaka. Apalagi biaya menempuh pendidikan di fakultas kedokteran tergolong besar. Ia mengendus ada status quo. (merdeka.com, 07/07/2022).
Dibukanya fakultas kedokteran di IPB merupakan manifestasi dari kebijakan kampus merdeka yang beberapa waktu lalu diluncurkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Kebijakan kampus merdeka ini memberi otonomi perguruan tinggi untuk membuka fakultas atau Program Studi (prodi) baru sesuai kebutuhan masa depan. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi perguruan tinggi untuk menjawab kebutuhan industri bahkan kebutuhan negara.
Namun, dampak dari otonomi ini juga harus diikuti dengan kesiapan dan kemandirian kampus dalam mengelola keuangan dan menanggung sepenuhnya biaya operasional. Wajar ketika rencana dibukanya fakultas kedokteran di IPB kemudian ada yang menilai sebagai salah satu upaya kampus untuk menarik dana lebih banyak.
Pasalnya, kampus tentu harus memutar otak untuk mendapatkan dana dan mengelola keuangannya agar kegiatan perkuliahan bisa tetap berjalan. Termasuk bekerjasama dengan pihak swasta agar kampus bisa tetap “hidup”. Jika demikian, bukankah kebijakan otonomi kampus ini justru akan menjadi ajang bagi pihak swasta/korporasi untuk meraup keuntungan?
Tidak dipungkiri, kebutuhan dokter di tengah masyarakat sangatlah penting. Tetapi biayanya sangat mahal dan semua dibebankan kepada masyarakat karena pihak kampus tidak mampu menanggung seluruh biaya operasional. Akhirnya hanya orang-orang tertentu yang dapat mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran.
Disini harusnya negara hadir memfasilitasi kampus, agar darinya lahir dokter dan tenaga ahli lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Apalagi negeri ini memiliki potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang melimpah. Manusianya dididik dengan maksimal oleh negara. Sementara kekayaan aneka ragam hayati yang dimiliki oleh negeri ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan, sehingga tidak harus bergantung pada impor. Namun jika negara tidak hadir, akan sulit negeri ini meraih terobosan di dunia kesehatan, justru hanya akan dijadikan ajang bisnis bagi swasta dan korporasi untuk meraup keuntungan.
Inilah kesalahan fatal akibat penerapan sistem yang mengagungkan materi diatas segalanya (kapitalisme). Walaupun Indonesia negara yang kaya, tetapi kekayaan negara ini tidak digunakan untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM). Kualitas pendidikan di negeri ini hanya bisa menghasilkan tenaga buruh bukan tenaga ahli. Maka kita lihat hari ini, begitu mudahnya negara ini dikuasai dan dijajah oleh negara Barat yang terus menguras kekayaan alamnya. Potret dari sistem kapitalisme, dimana yang berkuasa adalah para kapital. Sosok pemimpinnya, hanya berfungsi sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan para kapital, bukan sebagai pelayan bagi rakyatnya.
Fakta ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam (khilafah) yang sangat concern (perhatian) pada dunia pendidikan. Karena pendidikan dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu dan negara hadir secara sistematis mendesain sistem pendidikan terbaik. Bukan hanya dari sisi anggaran, tetapi juga terkait dengan media, riset, tenaga kerja, industri sampai tataran politik luar negeri. Negara dalam Islam menyadari bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan.
Negara khilafah wajib menyediakan lembaga pendidikan dengan fasilitas yang layak seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran dan lain sebagainya. Termasuk fakultas kedokteran yang banyak dibutuhkan masyarakat. Negara memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siapaun yang berminat untuk mengenyam pendidikan di fakultas kedokteran. Negara khilafah tidak akan menerapkan kebijakan otonomi kampus seperti yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Karena negara mampu membiayai seluruh kebutuhan pendidikan, salah satunya dari kekayaan alam yang dikelola dengan benar.
Hal ini telah terbukti dalam rentang sejarah yang sangat panjang, bagaimana dunia pendidikan di masa khilafah berhasil menjadi mercusuar dunia. Output pendidikannya bukan hanya mampu menguasai satu bidang tertentu, melainkan mampu menguasai beberapa bidang lainnya. Seperti Ibnu sina, seorang dokter yang menguasai ilmu matematika, metafisika, kimia dan sains serta sudah menghafal Alquran sejak berusia 5 tahun.
Sistem pendidikan dalam Islam bukan hanya mencetak pribadi yang paham ilmu agama, melainkan menjadi generasi yang terdepan dalam sains dan teknologi serta memiliki kepribadian Islam. Sistem pendidikan seperti inilah yang kaum muslim dambakan, yang akan membawa generasi muslim sebagai pembangun peradaban, melepaskan negeri-negei muslim dari berbagai bentuk penjajahan. Hanya khilafah solusi tuntas permasalahan umat manusia, campakkan kapitalisme kembali pada aturan Islam kafah.
Penulis : Siti Rima Sarinah
0 Komentar