Gagasan RKUHP memunculkan kontroversi di tengah masyarakat. Sebagaimana dilansir dari detikNews.com, 25/6/2022, berikut ini 14 isu krusial pemidanaan yang diakomodasi dalam RKUHP:
1. Isu terkait the living law atau hukum pidana adat (Pasal 2);
2. Isu terkait pidana mati (Pasal 200);
3. Isu terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (Pasal 218);
4. Isu terkait tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib (Pasal 252);
5. Isu terkait unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih (Pasal 278-279);
6. Isu terkait tindak pidana contempt of court (Pasal 281);
7. Isu terkait penodaan agama (Pasal 304);
8. Isu terkait penganiayaan hewan (Pasal 342);
9. Isu terkait alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan (Pasal 414-416);
10. Isu terkait penggelandangan (Pasal 431);
11. Isu terkait aborsi (Pasal 469-471);
12. Isu terkait perzinaan (Pasal 417);
13. Isu terkait kohabitasi (Pasal 418);
14. Isu terkait perkosaan (Pasal 479).
Sebenarnya RKUHP ini bukan barang baru. Sejak tahun 2019 sudah ada pembahasan oleh Pemerintah dan DPR RI, bahkan sudah sampai di Rapat Paripurna. Namun, karena substansinya mengundang penolakan, maka terjadi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota besar untuk menolak pengesahan RKUHP. Sehingga, pembahasannya kembali tertunda. Sementara saat ini, RKUHP masuk dalam masa sidang di DPR RI dan direncanakan bisa disahkan di bulan Juli.
Hanya sepertinya masih terganjal dengan penolakan dari masyarakat termasuk beberapa pakar dan ahli.
Dikutip dari amnesty.id, ada beberapa pasal dalam RKUHP yang punya potensi multitafsir dan jadi pasal karet yang bisa mengancam ruang kebebasan sipil yang semakin menyempit. Salah satunya pasal yang cukup menonjol adalah membungkam kebebasan sipil, kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan pers dengan adanya: Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 dan 219), Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240 dan Pasal 241), Pasal tentang penyiaran berita bohong (Pasal 262), Pasal tentang penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu (Pasal 273), Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan 354), Pasal tentang pencemaran nama baik (Pasal 439), dan Pasal tentang pencemaran orang mati (Pasal 446).
Pasal-pasal tersebut berpotensi membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat, serta rentan disalahgunakan untuk merepresi pihak yang kritis terhadap pemerintah. Padahal, hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 melanggar hak hidup.
Meskipun ada pasal-pasal lain yang juga terkait hukuman bagi pezina (kumpul kebo), LGBT, perkosaan, gelandangan, jual-beli miras, aborsi dan kohabitasi yang dianggap tidak sesuai hak asasi ataupun juga dirasa terlalu ringan hukumannya. Kontroversi ini tidak mengherankan jika terjadi, karena KUHP negeri ini muncul dari warisan hukum kolonial Belanda. Dikutip dari amnesty.id, bahwa aturan hukum pidana bersumber dari hukum zaman Belanda yang sudah ada sejak lebih dari 100 tahun lalu. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (WvS) Stb No.732/ 1915 mulai berlaku pada 1 Januari 1918. UU No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan UU No. 73/1958 memberlakukan WvS, atau yang lebih dikenal dengan KUHP, sebagai Peraturan Hukum Pidana Nasional.
KUHP ini menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara. Mulai dari hukum adat, hingga hukum pidana agama. Nilai-nilai lokal tergerus hukum penjajah. Efektif KUHP berlaku secara nasional sejak tahun 1918.
"Lahirnya doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali adalah sebagai bagian dari perjuangan masyarakat di Perancis untuk perlindungan HAM dari kemungkinan perlakuan sewenang-wenang oleh penguasa," ujarnya.(detikNews, 2/9/2019).
Masih menurut amnesty.id, upaya pembaruan KUHP sudah dimulai sejak 1958. Di tahun yang sama, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) didirikan. Pada 2012, wacana revisi KUHP pertama kali disampaikan ke DPR oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali rencana revisi ke DPR dan menerbitkan Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015 pada 5 Juni 2015, yang ditindaklanjuti dengan pembahasan intensif selama lebih dari empat tahun.
Jadi, wajar kiranya jika nilai-nilai yang terkandung sering bertentangan dengan kebiasaan masyarakat yang ada di negeri ini.
Maka sepatutnya ada hukum alternatif yang mensejahterakan diadopsi oleh negeri ini, terlebih dengan penduduk muslimnya terbesar di dunia. Yang paling masuk akal adalah kembali kepada habitat alamiahnya sebagai muslim yakni dengan kembali kepada syari'at Allah yang akan menjadikan negeri yang kaya ini sebagai Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghafur.
Sebagaimana Syariat Islam pernah berjaya diterapkan di seluruh dunia sejak 1300 tahun lamanya dan memberikan keadilan dan kesejahteraan luar biasa bagi dunia, bahkan keberadaannya tidak hanya diakui oleh dunia Islam, dikutip dari alwaie.id bahwasanya cendekiawan barat yang jujur pun mengakuinya, yakni Emmanuel Deutscheu yang asal Jerman itu.
Ia mengatakan, ”Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah memberikan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Karena itu, sewajarnya-lah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada adalah benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan orang-orang Eropa).
Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, ketika ia menyatakan, ”Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Jacques C. Reister juga berkomentar, ”Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.”
Bahkan yang menarik sekaligus mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia, termasuk dunia Barat, juga diakui oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Hal itu terungkap saat dia berpidato tanggal 5 Juli 2009. Dia antara lain menyatakan, “Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa..” (http://jakarta.usembassy.gov).
Maka butuh bukti apa lagi umat Islam bahwa syariat Islam lah yang layak untuk memimpin dunia. Allah SWT telah mengingatkan dalam surat al-Maidah ayat 50 yang artinya: "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?
Wallahu a'lam bi asshawwab.
Penulis: Hanin Syahidah
0 Komentar