Silang pendapat mengenai RKUHP terus bergulir. Tuntutan masyarakat agar pemerintah membuka draft RKUHP seolah tak mendapat tanggapan serius. Akibatnya kekhawatiran semakin merebak. Apalagi konon kabarnya RKUHP ini akan disahkan di bulan Juli ini. Kekhawatiran yang cukup beralasan karena draf yang muncul di publik tidak banyak berubah sejak batal disahkan di DPR pada September 2019.
Wajar jika hal itu terjadi sebab dalam pengamatan sejumlah pakar RKUHP ini berpotensi untuk memberangus kebebasan sipil dalam menyampaikan pendapat. Ada banyak pasal karet yang multitafsir dan bisa ditarik ulur berdasarkan pada kepentingan tertentu.
Apalagi publik sudah pernah mengalami kekecewaan pasca disahkannya UU Cipta Kerja tahun 2020 yang lalu. Meski menuai protes dan perlawanan dari banyak elemen, toh akhirnya UU Cipta Kerja ini disahkan juga di tengah malam buta. Kekecewaan kian bertambah karena nyatanya upaya untuk uji materiil di MK pun berujung pada keberpihakan pada pemerintah.
Dalam RKUHP, banyaknya pasal karet ini disinyalir akan mengarah pada otoritarianisme. Pasal penghinaan presiden misalnya, meski dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, ketentuan ini sudah dinyatakan tidak relevan lagi, ternyata muncul kembali di RKUHP. Pasal ini jelas menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran, pendapat, kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.
Padahal dalam sistem pemerintahan demokrasi, kebebasan berpendapat adalah salah satu pilarnya. Secara teotitis demokrasi memberi ruang yang hampir tidak terbatas pada ruang kritik. Artinya sistem pemerintahan demokrasi memiliki batas yang tegas dan berbeda dengan pemerintahan diktator dari sisi keterlibatan publik. Charles Bukowski menyatakan, "The different between a democracy and a dictatorship is that in a democracy you vote first and take orders later. In a dictatorship you don't have to waste your time voting."
Namun realitanya, sejarah justru membuktikan betapa hipokritnya demokrasi akan kritik. Kritik hanya bisa tetap jalan selama tidak mengusik kepentingan pemegang kekuasaan sesungguhnya, yakni para kapitalis. Jadi demokrasi tegak diatas pilar kebebasan berpendapat namun hipokrit ketika menghadapi kritik anti penguasa. Apalagi demokrasi memang berbasis kepentingan manusia dan kritik dipandang sebagai perongrong kepentingan. Sifat hipokrit yang menempel pada demokrasi adalah sifat bawaan. Maka menghilangkan hipokrisi demokrasi adalah hal yang mustahil.
Demokrasi yang digadang-gadang dapat menjamin kebebasan masyarakat dan dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ideal, nyatanya tidak sesuai realita. Demokrasi justru menjadi ancaman bagi masyarakat, manakala diterapkan dan berjalan menuju otoritarianisme. Demokrasi hanya menjadi alat untuk memperalat dan menjajah masyarakat. Menjajah dari segi pemikiran, gaya hidup, ekonomi bahkan ideologi.
Padahal penguasa dan kritik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Adanya kritik dan sikap kritis pada sebuah hal sebenarnya adalah mekanisme alami dalam sebuah proses. Semakin rumit dan kompleks semakin membutuhkan kritik, kontrol dan evaluasi untuk menjaga eksistensi proses. Ini juga berlaku bagi penguasa pada saat menjalankan pemerintahannya.
Karena itu, dalam Islam keberadaan kritik kepada penguasa adalah persoalan yang mendapat perhatian. Islam memandang menjadi pemimpin adalah amanah yang berat. Penguasa sangat rawan untuk bertindak zalim untuk memuluskan kepentingan pribadi yang senantiasa menggelanyut.
Karenanya, penguasa harus mengikatkan diri pada hukum Islam erat-erat. Jika tidak, maka potensi kesewenang-wenangannya sangatlah besar. Jika ini terjadi penguasa akan berubah fungsi yang awalnya adalah rain dan junnah bagi rakyatnya, akan berubah menjadi raja yang zalim.
Urgensinya kritik kepada penguasa, juga ditegaskan oleh Rasulluah saw dalam sabda beliau:
"Pemimpin para syuhada' adalah Hamzah bin Abdil Mutallib dan seseorang yang berdiri di hadapan seorang imam yang dhalim lalu orang itu memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, lalu Imam itu membunuhnya" ( HR. Tirmidzi dan Al Hakim)
Islam pun mengatur bagaimana mekanisme kritik yang disampaikan rakyat pada penguasa. Pun demikiran Islam juga mengatur sikap penguasa saat mendapat kritik. Demikianlah Islam mengatur mekanisme hubungan penguasa dengan masyarakat, berbeda secara diametral dengah demokrasi. Lantas atas dasar apa kita masih bertahan dengan demokrasi? Wallahua’lam.
Penulis: Kamilia Mustadjab
0 Komentar