Umat Islam pada masa kekhilafahan pernah menjadi mercusuar peradaban dunia di bidang pendidikan. Bahkan mencapai rentang waktu yang sangat panjang tidak kurang dari 8 abad lamanya, jauh meninggalkan dunia Barat (Eropa) yang masih tertatih-tatih merumuskan hakikat sebuah peradaban dunia bagi manusia.
Kini, negara khilafah telah runtuh, dunia pendidikan dinaungi sistem kapitalisme yang cacat, dan sekularisme menggantikan akidah Islam sebagai asas sistem dan kurikulum pendidikan. Musibah dan bala’ kubro menimpa negeri-negeri Muslim secara bertubi-tubi, wajah pendidikan di dunia Islam menjadi sangat terhina. Dunia Islam mengalami “Krisis Pendidikan” yang sungguh mengerikan.
Awal Sekularisasi Pendidikan di Negeri-Negeri Muslim
Negara Eropa (Inggris, Prancis, Amerika) telah bersepakat menghapuskan Islam dan khilafah salah satunya dengan strategi invasi misionaris atas nama ilmu dan pengetahuan. Eropa memiliki kepentingan internasional yang sama, yakni mengirim peradaban Barat ke wilayah Timur serta menumbuhkan keraguan kaum Muslimin terhadap agamanya, menanamkan kebencian terhadap ajaran Islam serta merendahkan sejarah mereka.
Tahun 1820 M, gerakan misionaris –yang sebelumnya berjalan lambat- semakin kokoh setelah pembentukan pusat misionaris di Beirut. Misionaris asal Amerika, Eli Smith bersama istrinya mendedikasikan hidupnya dengan membuka sekolah bagi perempuan. Mereka bekerja sama dengan gerakan pendidikan secara terbuka berfokus pada bahasa Arab untuk memisahkannya dari Al-Qur’an. 1866 M, didirikan sekolah Yesuit dan University of Joseph Jesuit, juga American Protestan College di Beirut (sekarang Universitas Amerika) dengan mendistorsi ide Islam dan sejarah kaum Muslimin dengan begitu buruk.
Sementara di Syam termasuk Suriah dan Palestina, otoritas setempat membuka lebar-lebar pintu bagi misionaris Perancis, Inggris dan Amerika, mengizinkan pembukaan sekolah-sekolah dan pencetakan buku-buku melalui program “Ilmu Pengetahuan dan Budaya”. Di pusat Istambul, berdiri banyak sekolah, perguruan tinggi, dan penerbitan buku-buku tsaqafah Islam yang diselewengkan sehingga memunculkan keraguan terhadap ide-ide Islam. Kesemuanya terjadi karena gerakan pendidikan tersebut telah lepas dari pengawasan negara karena mereka tidak tunduk pada Departemen Wakaf Ottoman.
Berikutnya, lahirlah undang-undang reformasi dalam pendidikan Ottoman sesuai dengan perkembangan ilmiah di Eropa, menjadi pintu masuk pengiriman delegasi mahasiswa Muslim ke Perancis dan Inggris. Barat menginginkan kalangan intelektual mengambil cara pandang Barat yang materialistik, gaya hidup liberal, demi meraih target reformasi pendidikan melalui tangan-tangan kaum Muslimin.
Di Mesir, Muhammad Ali Pasha (1805-1842 M) –setelah memisahkan diri dari Khilafah- memfokuskan perhatian pada sistem pendidikan modern dengan memarginalkan pendidikan di al-Azhar dan beberapa kuttab. Sebanyak 319 mahasiswa dikirim ke Eropa untuk menyiapkan reformasi pendidikan. Salah satunya adalah Rifaah at-Tahthawi pengarang buku Takhlish al Ibriiz fii Talkhis Baariz -sepulang dia dari Perancis- menegaskan bahwa Perancis telah memperluas metode berpikir, pendidikan serta interaksi antar individu. Mereka menjadi generasi pembawa obor perubahan dan pemimpin perang sekularisasi dan permusuhan terhadap budaya Islam atas nama pembangunan, ilmu pengetahuan dan modernisasi.
Selanjutnya misi sekularisasi berjalan sangat cepat dan menyebar semakin massif di negeri-negeri Islam setelah runtuhnya negara khilafah. Kurikulum sekuler telah berkontribusi signifikan dalam keruntuhan ini. Generasi kaum Muslimin yang terpisah dari akidah Islamiyah telah turut serta di dalam proyek besar ini.
Sekularisasi Kurikulum Pendidikan Menopang Penjajahan
Tanpa negara khilafah, babak baru serangan misionaris di dunia Islam telah berjalan tanpa penghalang. Serangan abad 21 ini dipimpin oleh Amerika Serikat berada di bawah payung besar “perang melawan terorisme dan ekstremisme” bertarget sekularisasi kurikulum pendidikan. Rand Corporation dan The American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) telah menyajikan sejumlah studi dan rekomendasi yang diangkat ke badan keamanan nasional AS dan beberapa kepada Presiden secara langsung. Pada beberapa laporan menyatakan, “Tujuan dari kampanye Amerika melawan terorisme dapat menyebabkan kontrol atas generasi yang akan datang untuk jangka waktu sepuluh tahun dan hal ini dapat menjadi obat penenang sementara. Namun, mengubah kurikulum pendidikan mulai dari jenjang dasar adalah apa yang menjamin keberadaan generasi non-teroris.”
Penting menjadi kesadaran bersama, fokus utama agenda reformasi kurikulum pendidikan bukan semata untuk revolusi ilmu pengetahuan sebagaimana narasi mereka. Perubahan kurikulum pendidikan di negeri-negeri Muslim menitikberatkan pada agenda sekularisasi dengan menyebarkan kebodohan, keterbelakangan dan untuk memotong ikatan generasi Muslim dari akidah Islam. Maka negeri-negeri Arab menempati tingkat pendidikan global yang lebih rendah.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan yang terpisah dari akidah Islam, bagai jiwa tanpa ruh. Akibat perubahan kurikulum negeri-negeri Muslim justru semakin terbelakang, alih-alih mampu menggapai puncak keemasan mereka justru mengalami ketertinggalan dalam pembangunan. Sebab Barat menjaga agar selamanya negeri-negeri Muslim sebagai negara berkembang dan/atau negara miskin. Hal ini berakibat ketergantungan mereka terhadap negara-negara Barat begitu besar, secara sukarela menerima dikte dan arahan Barat dalam mengelola negara dan rakyat mereka.
Seraya melupakan bahwa Diin mereka (Islam) telah memberikan penyelesaian atas problem yang dihadapi.
Benar, teknologi dan ilmu pengetahuan adalah salah satu kekuatan dunia. Semua negara membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Namun, dalam dunia kapitalistik yang terjadi adalah praktik monopoli atas ilmu pengetahuan setelah sekularisasi kurikulum berjalan massif.
Atas arahan World Trade Organization (WTO), sektor pendidikan menjadi salah satu industri sektor tersier melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang meliberalisasi perdagangan 12 sektor jasa –layanan kesehatan, TI dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa lainnya-. GATS yang diratifikasi tahun 1995 memosisikan pendidikan menjadi suatu komoditas. Pun UNESCO berhasil mengikat seluruh negara di dunia untuk mengimplementasikan “Partnership 21st Century Learning” (visi pembelajaran abad 21) yang terdiri dari 4 pilar: learning to how (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan), learning to be(belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu mandiri yang berkepribadian), learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Prinsipnya bagaimana agar seluruh penyelenggaraan proses pendidikan menyesuaikan tuntutan dunia kerja dan pasar tenaga kerja global.
Kini masalah kurikulum pendidikan negeri-negeri Muslim bukan lagi masalah internal kaum Muslimin yang dikelola oleh para ulama, pemikir, dan para pakar. Namun, sebuah masalah global yang tunduk pada pengawasan Barat yang melakukan sekulerisasi dan kapitalisasi pendidikan. Berbagai forum global dialog antar agama merekomendasikan perubahan kurikulum di negeri-negeri Muslim. Badan-badan internasional seperti IMF dan Bank Dunia menetapkan syarat perubahan kurikulum untuk perolehan dana hibah, pinjaman atau pembatalan utang negara tertentu. Demikianlah, berawal dari sekularisasi pendidikan berujung pada penjajahan sumber daya negeri-negeri Muslim.
Moderasi Beragama, Sekularisasi Total Kurikulum Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia -negara Muslim terbesar-, tidak kalah sekuler dibandingkan negara-negara Arab. Kiblat pendidikan Indonesia telah bergeser dari negara-negara Timur Tengah mengarah ke negara-negara Barat. Salah satunya, Kementerian Agama RI berkomitmen untuk semakin meningkatkan kerja sama di bidang pendidikan tinggi Islam dengan pemerintah Kanada. Melalui proyek kerja sama Supporting Islamic Leadership in Indonesia/Local Leadership for Development (SILE/LLD) sejak 2011, telah dihasilkan ratusan doktor dalam bidang Islamic Studies serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Dari data Direktorat PTI Depag (2005), pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada 1950-an, dengan pengiriman tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi, yang belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Kini, perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat.
Umumnya, sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Untuk tahun 2015 saja, Kementerian Agama telah mengirim 82 orang dosen di PTAI - 54 pria dan 28 wanita- ke luar negeri, dengan dominasi ke perguruan tinggi Eropa dari pada perguruan tinggi Islam Timur Tengah.
Maka, tidak mengagetkan ketika Mendikbudristek dan Kemenag bekerja sama menyusun materi kurikulum moderasi beragama untuk disisipkan dalam kurikulum Program Sekolah Penggerak (2021). Moderasi beragama dipandang penting diajarkan untuk mengatasi intoleransi beragama yang merupakan satu dari tiga dosa besar pendidikan. Materi moderasi beragama akan diuji cobakan kepada 2.500 sekolah penggerak. Jumlah tersebut akan terus berkembang setiap tahunnya. Konten moderasi beragama juga diberikan kepada para calon guru penggerak pada program Guru Penggerak dengan menyisipkan topik kebhinekaan dan nilai-nilai moderasi beragama.
Upaya pengarusan moderasi beragama di dunia pendidikan benar-benar digarap serius. Kemenag telah membuat empat modul moderasi beragama untuk diimplementasikan pada satuan pendidikan (2021). Buku ini khususnya akan digunakan oleh guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah. Dunia pesantren pun tidak luput dari program moderasi beragama yang include ke dalam UU Pesantren. Peran strategis pesantren di tengah umat menjadi bidikan rezim agar pesantren bisa mencetak para ulama moderat.
Di perguruan tinggi moderasi beragama juga sangat massif. Kemenag sebagai leading sektor moderasi beragama mengawal program moderasi beragama, salah satunya melalui Rumah Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). PTKIN harus menjadikan moderasi beragama sebagai salah satu isu utama dalam KBM, riset, dan pengabdian masyarakat, dengan fokus pada kajian keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Untuk penguatan program moderasi di perguruan tinggi, pada agenda Annual Conference on Research Proposal (ACRP) pada 21–24/11/2021, Kemenag banyak membahas isu terkait moderasi beragama, pluralisme, dan keragaman.
Dalam ACRP diluncurkan metode penafsiran baru “Ma’na cum Maghza”, sebuah metode penafsiran yang berlandaskan pada islamisasi hermeneutika. Metode tafsir ini diharapkan mampu merevolusi pemikiran mahasiswa muslim dengan pemikiran sekuler liberal.
Seluruh sikap Kemenag dan Kemendikbud ini sebagai respon terhadap Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) dengan 130 rencana aksinya yang ditandatangani pada 6/1/2021.
Sebenarnya pemerintah Indonesia sendiri hanyalah “pembebek” pada setiap kebijakan global dan multilateral. Dalam Resolusi 2178 (2014), Dewan Keamanan PBB dengan jelas telah menyatakan hubungan antara ekstremisme kekerasan dengan terorisme. Setelahnya, pada 2/2016 Sidang Umum PBB, mengadopsi Plan of Action to Prevent Violent Extremism (Pan-PVE)/Rencana Aksi untuk Mencegah Ekstremisme Kekerasan sebagai penguatan kerangka global dan nasional untuk memerangi Islam politik. Lalu UNDP dan Uni Eropa juga menggagas proyak Preventing Violent Extremism Through Promoting Tolerance and Respect for Diversity (PROTECT) bersama 4 negara Asia Tenggara: Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Dan Desember 2019, BNPT dengan cepat menuntaskan draft final Perpres terkait RAN PCVE dan menyerahkan ke Kementerian Hukum dan HAM, sebagai cikal bakal Perpres RAN-PE tersebut.
Kurikulum Pendidikan Indonesia Semakin Kapitalistik
Sudah tiga perempat abad atau seusia Republik ini berdiri, pendidikan di Indonesia belum menemukan konsep yang sempurna dan paripurna. Setidaknya sebanyak 11 kali pergantian kurikulum pendidikan dasar dan menengah di negeri ini. Yaitu pada 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015. Dan kurikulum terbaru diluncurkan dengan nama Kurikulum Prototipe -untuk merespon pandemi Covid-19- yang tertuang di dalam Keputusan Mendikbudristek Nomor 162/M/2021 tentang Sekolah Penggerak.
Sebuah kurikulum berbasis kompetensi untuk mendukung pemulihan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) untuk mendukung pengembangan karakter yang selaras dengan program Merdeka Belajar.
Pada pembelajaran tingkat pendidikan dasar-menengah mengikuti trend global penilaian hasil capaian siswa yang distandartisasi dengan skor PISA-OECD (Programme for International Student Assessment-The Organization Cooperation and Development). Skor dihitung melalui sistem pendidikan yang berlangsung pada tiga bidang utama: matematika, sains, dan literasi. Penyelenggaraan pendidikan kemudian dikaitkan dengan Index Pembangunan Manusia/Human Development Indeks yang secara rutin dimonitor oleh United Nations Development Programme (UNDP).
Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim pun menyempurnakan kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Nadiem merancang draft Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 dimana disebutkan Visi Pendidikan Indonesia 2035 adalah membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila. Diam-diam frasa “agama” hilang dari draft mutakhir 11/12/2020 dan menjadi blunder munculnya polemik meskipun menteri Nadiem berjanji akan merevisi.
Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 diimplementasikan dalam bentuk kebijakan Merdeka Belajar berikut di dalamnya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program-program MBKM telah memberi ruang yang cukup luas pada peran masyarakat dan dunia usaha – dunia industri (DUDI). Baru digagas 2 tahun lalu program Merdeka Belajar Episode-1 (11/12/2019), kini sudah ada program “Merdeka Belajar Episode-17”. Negara (pemerintah) sangat antusias dengan kebijakan Merdeka Belajar karena pengelolaan pendidikan tinggi tidak lagi menjadi tanggung jawab negara dan diserahkan pada mekanisme pasar untuk meningkatkan daya saing global melalui otonomi.
Sebuah paradigma reformasi kebijakan dan arah pendidikan tinggi yang liberal, pro-pasar, lepas dari campur tangan negara, lebih mementingkan pertimbangan perubahan teknologi, perubahan sumber-sumber ekonomi, sosiokultural dan demografi, serta gambaran pasar kerja global. Sumber daya manusia (SDM) dipersiapkan bukan berbasis penguasaan ilmu pengetahuan dalam rangka kemandirian umat. SDM dipersiapkan berdasarkan trend pasar lapangan kerja global demi memenuhi Pendapatan Domistik Bruto (PDB). Sebagaimana konsep pertumbuhan ekonomi yang digerakkan iptek (knowledge and technology driven economic growth) -dokumen GATS-WTO.
Pendidikan dalam Negara Khilafah bagi Peradaban Manusia
Pendidikan dalam pandangan Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Adapun tujuan pendidikan Islam yaitu: (1) Membentuk manusia bertakwa yang berkepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap didasarkan pada akidah Islam, (2) Mencetak ilmuwan, ulama, pakar yang kapabel dalam jumlah massal yang mampu memenuhi kebutuhan umat dan daulah, serta membawa daulah menjadi negara adidaya yang menyebarkan rahmat ke seluruh dunia.
Pendidikan bagi Islam memiliki urgensi besar dalam rangka menjaga ideologi dan tsaqafah umat. Sebab, keduanya merupakan tulang punggung keberadaan dan keberlangsungan sebuah umat yang khas. Tanpa memiliki suatu ideologi dan tsaqafah, maka dapat dipastikan eksistensi dan jatidiri sebuah umat akan sirna. Lebih dari itu sebuah peradaban yang besar akan runtuh, ketika umatnya tidak mampu mempertahankan ideologi dan tsaqafah mereka.
Demikianlah, negara khilafah pernah meraih masa keemasan di bidang pendidikan setidaknya ditopang oleh dua faktor. Pertama, keberadaan akidah Islam sebagai asas bagi sistem dan kurikulum pendidikan negara khilafah. Tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Bahkan syariat telah mewajibkan setiap Muslim untuk meninggalkan kebodohan, karena kebodohan adalah pangkal kekufuran. Islam mewajibkan keimanan diraih oleh seseorang dengan jalan memfungsikan akalnya untuk sampai kepada keimanan yang benar. Oleh karena itu, pendidikan Islam menerapkan dan menjaga proses berpikir rasional dalam pembelajaran sehingga ilmu ditransmisikan dari sumber yang benar. Islam juga memosisikan proses berpikir ilmiah sebagai bagian tak terpisah dari metode berpikir rasional serta menempatkan metode berpikir ilmiah pada tempatnya.
Kedua, totalitas perhatian negara khilafah terhadap penyelenggaraan pendidikan. Negara menyediakan semua instrumen dan kebijakan serta pembiayaan yang diperlukan bagi dunia pendidikan. Syariat telah mendaulat negara sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab memberikan jaminan pendidikan terhadap kaum Muslimin dan warga negara kafir dzimmi yang tunduk terhadap kekuasaan Islam. Pembiayaan pendidikan seluruhnya diambilkan dari maitul Maal dari pos faai’, kharaj dan milkiyah ‘ammah. Khilafah juga membebaskan kafir muahid dan musta’min untuk mengenyam pendidikan di dalam kekhilafahan gratis tanpa pembebanan karena syariat memerintahkan dakwah kepada semua manusia dan memperlakukan tamu dengan baik.
Dan bahwasanya tak terelakkan, kemandirian dan kekuatan visi negara menjadi faktor terpenting dalam menguasai ilmu pengetahuan dan mendesain sebuah sistem pendidikan yang berkualitas. Berikutnya sistem politik yang diadopsi negara akan mengarahkan pengelolaan seluruh sumber daya negara dalam menggapai tujuan-tujuan politiknya. Di sisi lain syarat sebuah negara mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, yakni keberadaan riset yang mengarah pada penyelesaian berbagai problem yang dihadapi negara, berikut keberadaan industri yang pengaplikasikan hasil riset tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi didedikasikan bagi peradaban manusia agar tetap dalam kemuliaannya. Bukan seperti dunia hari ini, kala sains dan teknologi di bawah payung ideologi kapitalisme yang menghasilkan “climate change and poverty” sebuah bencana besar bagi peradaban manusia.
Konstruksi sains dan teknologi dalam negara khilafah berbeda dengan sistem kapitalisme. Pertama, riset di tangan negara selaras dengan politik dalam negeri dan politik luar negeri khilafah untuk menyejahterakan manusia. Politik dalam negeri khilafah memastikan pendidikan tidak menjadi komoditas. Sementara politik luar negeri khilafah mencegah pendidikan menjadi alat penjajahan. Arah riset menjamin negara dalam memenuhi kebutuhan individu dan kebutuhan publik seluruh warga negara.
Kedua, industri didesain sesuai politik indutri dalam khilafah yang berbasis pada industri berat sebagai kunci kemandirian negara. Industri tidak didesain memenuhi kebutuhan kapitalisme global. Ketiga, intelektual Muslim lahir secara massal dengan berbagai bidang keahlian dan kepakaran. Mereka memiliki kesalehan sosial yang tinggi, penjaga kemaslahatan umat dan penerapan hukum Islam. Berbeda dengan intelektual produk pendidikan kapitalisme yang apolitis, terbelenggu dengan satu disiplin ilmu, mereka individualis, pragmatis, dan materialistis.
Inilah gambaran pendidikan dalam sistem Islam. Sejak Rasulullah SAW menerima wahyu dengan “iqra’-nya” lalu mengajarkan dan membina para shahabat dengan akidah dan syariat di rumah Arqam bin Arqam. Di Madinah, Beliau membebaskan tawanan Perang Badar dengan ganti setiap tawanan mengajarkan membaca dan menulis kepada 10 Muslimin. Pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khatab membuat kebijakan gaji bulanan guru sebesar 15 dinar (setara 60,75 gr emas atau lebih dari 60 juta). Bagaimana Khalifah Harun Al-Rasyid memberikan 1000 dinar (4250gr emas kepada penghafal al-qur’an). Kemudian para khalifah memberikan penghargaan terhadap para penulis buku imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Banyak “Daar al Ilm” didirikan abad 9 dan 10 Masehi di provinsi Timur dan Barat negara Khilafah. Khalifah Harun ar Rasyid memerintahkan setiap masjid harus memiliki sekolah. Abad ke-11 Wazir Nizam al Mulk mendirikan sekolah di seluruh wilayah termasuk Baghdad, Mosul, Basra dan Hera t. Hal ini diikuti oleh Khalifah Nuruddin pada abad ke-12 di Damaskus dan kota besar lain. Cordoba saja ada 70 perpustakaan. Pada suatu masa pemerintahan Islam terdapat 74 perguruan tinggi di Kairo, 73 di Damaskus, 41 di Yerussalem, 40 di Baghdad, 14 di Aleppo, 13 di Tripoli dan masih banyak lagi yang kesemuanya memberikan pendidikan gratis bagi puluhan ribu pelajar.
Ada Universitas al-Mustanshiriah (1227 M) yang didirikan Khalifah al Mustanshir di kota Baghdad memberikan beasiswa 1 dinar dan biaya makan dan kebutuhan hidup bagi para siswa dan perawatan kesehatan gratis. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian. Juga universitas bergengsi lainnya yang dikenal dunia internasional, seperti Universitas al Qowariyyin di Maroko (859 M), Universitas al Azhar di Mesir (970 M), Universitas Sankore di Mali (abad 14 M), Universitas Istambul di Turki (abad 15 M) dan masih banyak lagi.
Duhai umat, bagaimana kita sanggup mengatakan “tidak” pada khilafah, padahal kemuliaannya berhamburan begitu rupa menghiasi peradaban manusia dalam rentang waktu yang tidak hanya sepintas, namun panjang terbentang dari masa ke masa. Maka sungguh, kebutuhan akan tegaknya khilafah makin nyata kita rasakan. Allah SWT berfirman, “Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran” (TQS. Saad: 29).[]
Oleh: Nurlaela Asuro
0 Komentar