Serius Hijrah ke Arah Islam

 


Satu Muharam selalu identik dengan peristiwa hijrah Rasul ﷺ dan kaum muslim dari Makkah ke Madinah. Namun, tidak banyak yang memahami bahwa peristiwa pada abad ke-7 Masehi ini menjadi momentum penting yang mengawali perubahan konstelasi politik di level internasional.


Kala itu, dunia tengah dikuasai dua kekuatan besar, yakni kekaisaran Romawi yang Nasrani di satu sisi, serta Persia yang Majusi di sisi lainnya. Kedua negara adidaya ini sejak lama bersaing satu sama lain. Nyaris tidak ada kekuatan ketiga yang mengancam posisi keduanya.


Lalu, melalui aktivitas hijrah, Baginda Rasulullah ﷺ berhasil mengasaskan sebuah adidaya baru yang berbasis akidah Islam. Seluruh interaksi dan pengurusan urusan warga negaranya diatur sepenuhnya dengan syariat Islam, termasuk urusan penyebarluasan risalah tauhid melalui aktivitas dakwah pemikiran dan jihad fi sabilillah.


Asas Peradaban

Keberadaan institusi politik Islam ini pelan, tetapi pasti, berhasil mengantarkan umat Islam tampil sebagai entitas yang khas, mandiri, dan berdaulat. Bahkan, penerimaan bangsa Arab yang cepat terhadap ajaran Islam, serta kuatnya loyalitas yang terbangun pada Islam, menjadikan posisi Negara Islam kian lama kian kuat di hadapan kawan maupun lawan.


Terlebih pada masa-masa setelahnya. Di bawah kepemimpinan Khulafaurasyidin dan para khalifah lainnya, negara Islam berhasil merebut wilayah-wilayah kekuasaan di kedua negara adidaya.


Penaklukan ini adakalanya dilakukan melalui peperangan, tetapi tidak sedikit yang dilakukan dengan damai. Penduduk wilayah-wilayah di jazirah dan luar Jazirah Arab banyak yang menerima Islam dengan tangan terbuka. Kekuasaan Islam pun kian meluas hingga meliputi Timur dan Barat.


Kesesuaian akidah dan syariat Islam dengan akal dan fitrah manusia menjadi penentu keberhasilan penyebarluasan Islam. Keterikatan mereka dengan agama tauhid ini dengan mudah terbangun sedemikian kuat. Mereka benar-benar menerima Islam dengan sepenuh kesadaran.


Terlebih, tidak ada satu problem pun yang tidak bisa disolusi oleh Islam. Keberadaan Islam sebagai “way of life” benar-benar dirasakan. Bahkan, kehebatannya tampak dalam tingginya peradaban yang diwujudkan. Kala itu, Islam benar-benar tampil sebagai rahmat bagi seluruh alam.


Tidak hanya soal tingkat kesejahteraan yang memukau para sejarawan, umat yang tadinya berbeda suku, ras, bahasa, adat, budaya, dan tanah air akhirnya mampu dipersatukan sebagai satu umat dalam satu kepemimpinan politik Islam.


Para pemimpin Islam benar-benar mampu memosisikan diri sebagai imam. Fungsinya sebagai pengurus dan penjaga benar-benar mereka jalankan. Pada saat yang sama, posisi politik mereka begitu ditakuti pihak lawan. Kekuatan politik inilah yang kemudian dikenal sebagai Khilafah Islam.


Tidak sekadar satu dua abad, Khilafah Islam mampu bertahan menjadi negara pertama hingga belasan abad. Bahkan, sepanjang masa itu, Khilafah mampu tampil sebagai pemimpin peradaban cemerlang yang menerangi Eropa dan dunia yang kala itu masih dalam kegelapan.


Wajar jika para pemimpin kaum kafir menyimpan rasa iri dan dendam mendalam. Berbagai makar pun mereka lakukan untuk menghapus Khilafah dari konstelasi politik internasional. Dengan segala daya upaya, mereka terus berusaha menghapus keberadaannya dari benak dan cita-cita umat Islam.


Perang Panjang

Keberadaan negara Islam atau Khilafah memang senyatanya telah membungkam ambisi para pemimpin kaum kafir untuk melanggengkan kekufuran. Bahkan, pada era penjajahan, eksistensi Khilafah telah memupus kerakusan mereka merampok kekayaan di dunia Islam.


Tidak heran jika mereka terus berupaya agar inti kekuatan Islam terlepas dari umat, yakni berupa akidah dan pemahaman Islam kafah, sekaligus institusi Khilafah yang menerapkannya.


Mereka paham jika perang fisik tidak akan mampu mengalahkan umat Islam sebab kematian di medan jihad justru diyakini menjadi “jalan tol” menuju surga. Oleh karenanya, kaum kafir memilih jalan melakukan perang pemikiran dan budaya sebagai cara jitu melumpuhkan kekuatan umat Islam.


Cara ini memang terbukti berhasil memenangkan peperangan. Setelah ratusan tahun meracuni pemikiran dan gaya hidup umat Islam, akhirnya kaum kafir berhasil merampas kemuliaan mereka, sejalan dengan lemahnya akidah yang diiringi lepasnya pemahaman Islam kafah dan negaranya.


Satu demi satu wilayah negeri muslim terlepas dari genggaman Khilafah, sedangkan umatnya dipecah belah. Puncaknya, pada 1924, umat Islam benar-benar kehilangan institusi Khilafah sang perisai. 


Di tangan antek Inggris Mustafa Kemal, Khilafah diruntuhkan dan umat pun hidup bercerai-berai. Mereka dipaksa mencampakkan Islam dan menerapkan sistem sekuler kapitalisme dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagian lainnya mencoba peruntungan dengan menenggak racun sosialisme komunisme yang tidak kalah batilnya.


Sejak saat itu, umat Islam tenggelam dalam kehinaan dan berbagai fitnah. Negeri-negeri mereka yang ada di berbagai belahan dunia kian masuk dalam cengkeraman penjajah. Kehormatannya diinjak-injak, kekayaannya pun dijarah.


Kondisi ini terus berlangsung hingga sekarang, meski model penjajahan sudah berubah. Penjajah memang tidak hadir secara fisik, tetapi hegemoni sistem sekuler kapitalisme dan pengaruh negara-negara kafir di negeri-negeri Islam menunjukkan bahwa penjajahan masih berjalan.


Tidak ada satu aspek pun yang terbebas dari penjajahan. Politik, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, hankam, semua terkooptasi kepentingan negara-negara besar. Sementara itu, para penguasa kaum muslim dengan sadar memosisikan diri sebagai komprador yang melayani kepentingan penjajah.


Demi langgengnya kursi kekuasaan, para penguasa muslim rela menyerahkan harga diri dan kedaulatan negerinya kepada penjajah. Melalui undang-undang yang mereka buat, perampokan harta milik rakyat dan invasi budaya rusak justru berjalan legal. Liberalisasi ekonomi, sosial, dan budaya benar-benar beroleh karpet merah, tidak terkecuali di negeri kelahiran Rasulullah ﷺ.


Hijrah dan Perubahan

Sungguh, saat Islam dan Khilafah tidak lagi hadir dalam kehidupan umat, dunia kembali pada peradaban yang gelap. Tidak hanya kaum muslim yang menderita, tetapi kemanusiaan kian kehilangan makna.


Krisis demi krisis dan bencana demi bencana terus melanda dunia, termasuk di negeri kita yang mayoritas menganut Islam. Penerapan sistem sekularisme kapitalisme jelas-jelas kita rasakan keburukannya dalam berbagai bidang kehidupan.


Meski dikaruniai kekayaan alam yang melimpah ruah, penerapan sistem ekonomi kapitalisme membuat negara terjerembap ke dalam utang yang membahayakan. Gap sosial terus melebar, kemiskinan pun justru lekat dengan kehidupan umat.


Begitu pun dengan moral. Penerapan sistem pergaulan dan pendidikan sekuler membuat generasi kian kehilangan identitas dan terjerumus dalam budaya permisif liberal. Penerapan sistem hukum sekuler membuat kerusakan dan kejahatan terus merajalela sehingga siapa pun bisa menjadi korbannya.


Di bidang lainnya pun demikian. Politik, layanan publik, moneter, ataupun polugri, semuanya mengadopsi sistem sekuler. Aturan Islam dianggap berbahaya, bahkan dijauhkan dari posisinya sebagai tuntunan kehidupan. Wajar jika yang muncul adalah kerusakan dan dominasi kekufuran dalam kehidupan umat Islam.


Dalam konstelasi politik internasional, umat ini tampak kian tidak berdaya, bahkan terus didikte kepentingan asing hingga sempurnalah keadaannya sebagai negara pengekor bagi negara-negara adidaya. Benar-benar tidak berdaya!


Situasi ini semestinya menyadarkan kita semua bahwa urgensi perubahan harus terus didengungkan. Namun, perubahan itu tidak bisa hanya parsial dan personal, melainkan harus menyasar akar persoalan. 


Tidak lain dan tidak bukan, yakni dengan mencampakkan sistem sekuler kapitalisme liberalisme yang menafikan peran Islam dalam pengaturan kehidupan. Sistem inilah yang terbukti melahirkan berbagai aturan yang jauh dari fitrah penciptaan manusia, alam, dan kehidupan. Aturan ini lahir dari akal pikir manusia yang lemah dan terbatas. Alih-alih membawa kebaikan, sistem ini nyata-nyata menjauhkan umat dari kemuliaan.


Predikat “khairu ummah” yang Allah sematkan bagi umat Islam seolah tinggal sejarah. Itu pun sekuat tenaga ditutup-tutupi kaum kafir agar umat tidak bernyali meraih kembali kebangkitan.


Walhasil, peringatan momentum hijrah seharusnya menjadi modal bagi kaum muslim untuk menemukan jati dirinya kembali sebagai sebaik-baik umat. Peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah di awal Muharam—yang oleh Khalifah Umar bin Khaththab dijadikan acuan penanggalan 1 Hijriah—sesungguhnya mengandung spirit perubahan masyarakat dari jahiliah menuju terwujudnya peradaban luhur dan cemerlang, yakni peradaban Islam.


Peristiwa hijrahlah yang menyatukan umat secara riil dalam satu akidah dan satu kepemimpinan. Peristiwa ini pula yang menandai tegaknya sebuah sistem politik yang mampu memobilisasi semua kekuatan umat, mengurus urusan kemaslahatan mereka dengan hukum-hukum syarak, dan menjaga kewibawaan umat di atas segala bangsa.


Bahkan, sistem inilah yang berjasa menyampaikan keindahan din Islam sekaligus menebar kebaikan hingga sampai ke seluruh pelosok dunia, termasuk ke negeri kita, Nusantara. Islam benar-benar terasa sebagai rahmat bagi seluruh alam tatkala benar-benar ditegakkan.


Sayangnya, spirit hijrah seperti ini nyaris hilang, sekalipun momentumnya terus diperingati berulang-ulang. Ini karena peristiwa hijrah hanya dipandang sebagai peristiwa sejarah masa lalu yang tidak ada hubungannya dengan masa depan. Makna hijrah telah direduksi menjadi sekadar urusan perubahan individual.


Meneruskan Perjuangan

Oleh karenanya, menjadi tugas kita untuk meluruskan kembali makna hijrah bagi umat Islam bahwa hijrah bukan sekadar berpindah keadaan, apalagi sekadar urusan individual.


Hijrah adalah momentum umat Islam menuju kebangkitan hakiki dengan jalan berjuang mewujudkan tegaknya syariat Allah di bawah naungan satu kepemimpinan. Ialah Khilafah Islam ‘ala minhajin nubuwwah yang dijanjikan.


Kesadaran ini tentu hanya bisa mewujud melalui dakwah membangun kesadaran politik ideologis, bukan sekadar merebut kekuasaan, apalagi dengan jalan kekerasan. Dakwah yang dimaksud adalah dakwah yang dimulai dengan merevitalisasi akidah umat sehingga menjadi akidah produktif yang mendorong ketaatan untuk menerapkan Islam kafah dalam naungan Khilafah.


Jalan dakwah seperti ini sejatinya telah Baginda Rasulullah ﷺ contohkan. Tugas kita adalah memahami sejarah dan tuntunan syariat, lalu menjalaninya dengan ikhlas, sabar, dan istikamah.


Allah Taala berfirman,


قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ


“Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.’.” (QS Yusuf: 108) [MNews/SNA]



Posting Komentar

0 Komentar