Sudah hampir memasuki tahun ketiga tanda-tanda hilangnya virus corona belum terjadi. Adanya tren penurunan dianggap sebagai tanda-tanda virus ini akan hilang dngan sendirinya. Benarkah?
Ahli kesehatan masyarakat Hermawan Saputra menyayangkan kebijakan pemerintah yang melonggarkan pembatasan di masa pandemi, terkait situasi kenaikan kasus Covid-19. "Yang kita sayangkan pemerintah terlalu excuse secara kebijakan. Sehingga sekarang ini kalau kita lihat mulai dari jalanan, orang berangkat dan pulang dari perkantoran, pemukiman, di tempat-tempat fasilitas pelayanan publik, tempat rekreasi, kuliner, dan lainnya hampir semuanya udah bebas," kata Hermawan saat dihubungi Kompas.com, Minggu (12/6/2022)
Ternyata sekali lagi pemerintah tidak mau mendengar usulan dari para ahli kesehatan dalam memutuskan kebijakannya. Padahal ini justru akan menimbulkan bumerang apabila kebijakan tidak diambil dengan semestinya. Walau niatnya untuk memutar roda perekonomian, namun bukan berarti boleh melanggar protokol kesehatan yang ada, seperti penggunaan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Apabila masyarakat abai justru hal yang tidak diinginkan terjadi, yaitu lonjakan kasus Covid-19.
Maka dari itu kita harus tetap waspada, Indonesia belum bisa dikatakan beralih dari fase pandemi masuk ke fase endemi karena negara tidak memutuskannya sendiri. Kemenkes pun menetapkan ciri-ciri negara memasuki fase endemi yakni laju Penularan kurang dari 1%, angka positivity rate harus kurang dari 5%, tingkat perawatan rumah sakit harus kurang dari 5%, angka fatality rate harus kurang dari 3% dan level PPKM berada fase transmisi lokal level kondisi 1. Dan semua ciri-ciri tersebut harus dilewati dalam kurun waktu tertentu semisal 6 bulan. Siapkah Indonesia memasuki fase endemic?
Beginilah yang terjadi apabila pemerintah menggunkan kebijakan kapital yang merugikan. Mereka rela memanipulasi angka penularan virus menjadi lebih sedikit agar roda perekonomian berjalan. Padahal dengan kebijakan inilah justru memakan korban lebih banyak. Mulai dari kelaparan, PHK massal, sampai kematian sampai di angka yang begitu tinggi. Namun itulah watak kapitalis mereka tak peduli apa yang terjadi di sekitar mereka yang terpenting bagaimana kantong mereka terisi.
Berbeda dengan Islam yang memiliki orientasi kebijakan berupa hifdz an anas (menjaga jiwa), maka ketika ada wabah terjadi keputusan tak salah diambil. Islam sungguh protektif terhadap sebuah nyawa. Apa pun dilakukan untuk menyelamatkan dan melindungi nyawa seseorang. Maka di dalam penerapannya berani untuk menerapkan kebijakan lockdown seperti Rasulullah SAW dalam menangani wabah. Sebagaimana beliau bersabda: “Apabila kalian mendengar suatu wabah di suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari sini kita bisa melihat ada pemisahan bagi daerah yang sudah terinfeksi dan yang masih steril. Pemisahan ini dilakukan agar yang sudah terinfeksi bisa difokuskan untuk mendapatkan pengobatan dan tidak menulari yang lain. Dan bagi di daerah yang belum terkena wabah bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Dengan cara ini penanganan akan cepat terselesaikan. Bukan justru membahayakan jiwa rakyat sendiri. Sungguh tega.
Lantas darimana biaya penerapan lockdown?
Islam yang sedari awal diterapkan untuk memberikan kenyaman dan keamaanan bagi siapa yang berada di naungannya. Dari bangun tidur sampai bangun negara semua ada dalam aturan Islam. Bahkan sampai pemanfaatan sumber daya alam sekalipun. Berbeda dengan kapitalis yang memberikan kebebasan dalam memiliki segala hal, tak terkecuali alam yang seharusnya tidak bisa kepemilikkannya dipindah ke tangan individu maupun swasta.
Dalam Islam yang menggunakan sistem baitul mal (salah satu pemasukkannya berasal dari pos milkiyyah ammah atau dari kepemilikkan publik seperti pemanfatan air, padang dan berbagai hasil alam lainnya). Pemanfaatannya harus dilakukan oleh negara dan disalurkan kembali kepada rakyat untuk digunakan kebutuhan yang bersifat publik. Misalnya pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Maka dengan hal ini ketika lockdown diterapkan negara tidak perlu khawatir karena ada kas yang tersimpan untuk digunakan kala wabah seperti ini. Negara tidak perlu ragu lagi untuk menerapkanya. Ditambah lagi dalam baitul mal, kas tidak hanya berasal dari pos milkiyyah ammah namun dari pos fa’i, kharaj, ghanimah, usyur, dan lainnya. Yang ini tidak akan pernah ditemukan dalam sistem kapitalis egois seperti ini.
Bagaimana seharusnya pemimpin bertindak? Ya, tentunya harus melindungi rakyatnya ketika ada musibah. Apalagi, dalam Islam pemimpin bagaikan perisai yang melindungi hajat setiap rakyatnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaanya)nya. (HR Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).[]
Penulis: Azizha Nur Dahlia, Aktivis Muslimah
0 Komentar