Kaum Sodom dengan gaya (kaum L68T) terus menjadi sorotan di Indonesia. Sepanjang Juni kelompok L68T merayakan pride month atau bulan kebanggaan. Momen ini digunakan mereka untuk berkumpul dan merayakan kebebasan menjadi diri mereka sendiri sekaligus mengingkatkan kesadaran masyarakat global mengenai kebebasan berekspresi dan hak-hak asasi kelompok L68T.
Hak-hak kaum L68T pertama kali diakui PBB pada 2008 lewat UN Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity. Sejak saat itu, berbagai agenda global dipromosikan dalam rangka memperjuangkan hak asasi dari kaum L68T. Seperti upaya pelegalan pernikahan sesama jenis yang sudah diinisiasi terlebih dahulu oleh Belanda, Belgia, Kanada, dan beberapa negara lainnya, kemudian semakin diperkuat dengan pelegalan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di 2015. Selain itu, berbagai program salah satunya yaitu “Being L68T in Asia” yang ditunjukkan pada negara-negara di Benua Asia termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, praktik L68T menerima banyak penolakan di kalangan masyarakat. Misalkan, penolakan masyarakat pada salah satu konten podcast tanah air yang mempertontonkan kaum L68T dengan judul yang provokatif. Ataupun protes pemerintah Indonesia ketika Kedubes Inggris mengibarkan bendera pelangi khas L68T dalam rangka memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia pada Mei lalu.
Perlu kita pahami, sejatinya kampanye L68T merupakan agenda global yang dilindungi oleh demokrasi. Demokrasi sebagai sistem yang menjunjung dan tidak dapat terpisahkan dari kebebasan, salah satunya kebebasan berperilaku/berekspresi dan termasuk di dalamnya yaitu kebebasan dalam orientasi seksual, jenis kelamin, identitas gender, serta ekspresi gender. Demi menyukseskan kampanye tersebut, dana yang besar dikucurkan oleh global untuk melegalisasi eksistensi L68T di seluruh dunia termasuk negeri-negeri kaum Muslimin.
Meskipun Indonesia bukan negara yang secara gamblang melegalkan L68T, namun sampai saat ini belum ada peraturan yang mengatur eksistensi keberadaan L68T di Indonesia. Bahkan kampanye L68T dianggap sah di dalam iklim demokrasi seperti yang dikatakan oleh Menkopolhukam Mahfud MD. “Ini negara demokrasi. Negara tak berwenang melarang Deddy Corbuzier menampilkan L68T di podcast miliknya. Rakyat pun berhak mengritik Deddy seperti halnya Deddy berhak menampilkan video wawancara dengan L68T,” ujarnya (sindonews 10/05/2022).
Berbagai pelonggaran terhadap perilaku L68T mulai terlihat di pemerintahan Indonesia. Seperti polemik UU TPKS yang tidak memasukkan perilaku penyimpangan seksual yaitu L68T ke dalam undang-undang. Selain itu, pada sidang UPR di Janewa 2017 lalu, terdapat 75 isi yang dikaji ulang dengan dua isu di antaranya masih akan dicatat yaitu salah satunya adalah terkait L68T.
“Tapi, sebenarnya kalau meninjau dari konstitusi, di Indonesia memang tidak boleh melakukan kekerasan pada siapa pun, apalagi kelompok minoritas. Harusnya isu L68T ini bisa masuk dari sana. Di Kemenlu sendiri, saya pikir sudah mulai terbuka dan ada perubahan progresif. Di UPR sebelumnya, delegasi Indonesia melarang teman-teman yang mau bahas isu L68T di sana. Tapi [pada ajang] yang sekarang, dibiarkan. Dibuka pembahasannya. Saya pikir ada perubahan progresi,." ungkap Direktur HAM dan Kemanusian Kementerian Luar Negeri Indonesia, Dicky Komar (tirto.id 27/07/2017).
Dengan demikian, pelegalan terhadap L68T adalah hal yang wajar di bawah sistem demokrasi seperti saat ini. Karena normalisasi perilaku kaum L68T akan selalu dilindungi atas dalih kebebasan. Masyarakat diminta bahkan dipaksa untuk mewajarkan perilaku tersebut. Segala bentuk penolakan tidak dapat diterima karena dianggap melanggar kebebasan. Inilah akibat ketika manusia dibiarkan mengatur kehidupannya sendiri. Peraturan kehidupan dilandaskan pada kemampuan akal manusia yang terbatas serta tidak mampu menentukan benar dan salah. Akhirnya, berbagai perbuatan bebas manusia dibiarkan selama itu tidak melanggar peraturan. Meskipun perilaku tersebut secara nyata telah membawa kepada kerusakan baik moral bahkan kesehatan.
Di sisi lain, Islam secara tegas telah melarang perilaku menyimpang dari kaum sodom modern ini. Allah SWT berfirman, ”(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka, “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji (liwâth) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? Sungguh kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita. Kalian ini adalah kaum yang melampaui batas” (TQS al-A’raf [7]: 80-81).
Sistem Islam telah secara sempurna mengatur perilaku L68T meliputi tindakan preventif yaitu pengaturan pergaulan, pengawasan terhadap segala jenis tayangan, hingga ancaman sanksi yang keras bagi para pelakunya. Islam juga turut mengharamkan segala bentuk kampanye perilaku L68T ini baik berupa tontonan, tulisan, ataupun gerakan. Inilah kesempurnaan Islam kaffah dalam mengatur kehidupan sebab pengaturannya dilandaskan pada syariat Islam.
Oleh karena itu, tolak L68T, tolak demokrasi! Penolakan L68T tidak hanya bisa sebatas pada penolakan perilaku, namun harus turut menolak wadah yang menyuburkan perilaku L68T yaitu sistem demokrasi dan turunannya. Serta, penolakan ini harus diiringi dengan perjuangan mengembalikan penerapan syariat Islam kaffah. Inilah PR besar umat Islam saat ini. Saat global semakin gencar mengampanyekan kemaksiatan, maka umat Islam harus semakin bersemangat untuk mengembalikan kemuliaan Islam.[]
Penulis: Fatimah Azzahrah Hanifah, Mahasiswi
0 Komentar