Mulai Per Juli 2022 layanan kelas BPJS akan dihapus, dan akan digantikan dengan kelas rawat inap standar (KRIS). Menurut Menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pasien yang ingin meningkatkan pelayanan medis atau non-medisnya ke VIP atau VVIP dapat menggunakan asuransi swasta maupun membayar selisih dengan tunai. Rencananya program ini akan menghapuskan layanan kelas 1, 2 dan 3 dari BPJS Kesehatan menjadi satu.
Menurut, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, program KRIS tersebut memang rencananya akan diuji coba pada 2022 ini. Namun, saat ini proses standarisasi kelas masih dalam perumusan konsep. Peleburan ini menjadi pertanyaan bagi masyarakat, apakah iuran peserta mengalami perubahan?
Saat ini terdapat tiga kelas pada BPJS Kesehatan, yakni untuk kelas 3 berlaku iuran sebesar Rp42.000, namun ada subsidi Rp7.000 per anggota. Lalu untuk kelas 2 dikenakan tarif Rp100.000 dan untuk kelas 1 sebesar Rp150.000. Lalu akan dilebur. Menurut anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri, dengan adanya peleburan itu, iuran nantinya ditentukan dari besar pendapatan peserta (Kompas.com (9/6/2022).
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti sebagaimana yang dikutip dari Kompas.com, (10/6/2022), mengungkap bahwa proses standardisasi kelas masih dalam perumusan konsep alias belum matang digodok.
Apakah dengan adanya wajah baru BPJS akan menjamin layanan menuju lebih baik? Seperti yang sudah-sudah pemerintah hanya merubah penyebutan sebuah program saja tanpa adanya jaminan apa pun dari negara maupun BPJS. Dalam perjalanannya, sepanjang 2019 lalu masih adanya potensi gagal bayar BPJS Kesehatan sebesar Rp15,5 triliun padahal pemerintah sudah menyuntik sebesar Rp13,5 triliun untuk menutupi potensi defisit yang diperkirakan sebesar Rp32 triliun.
Program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS masih sangat jauh dari makna keadilan. Ini dinilai dari penerapan BPJS Kesehatan masih terbatas serta tidak fleksibel, yang mana peserta diwajibkan membayar premi guna mendapatkan layanan kesehatan. Maka patutlah dipertanyakan di mana letak jaminan tersebut? Dengan adanya kewajiban peserta membayar premi berdasarkan kelas BPJS ini tak ubahnya model asuransi.
Hal ini membuktikan adanya kegagalan negara dalam melaksanakan pelayanan publik. Kemudian dengan melihat dasar hukum adanya jaminan kesehatan juga tertuang dalam Undang-Undang Tahun 1945 Pasal 34 ayat 1: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Pasal kedua: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; dan pasal 3, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Maka jelaslah hak pelayanan kesehatan setiap masyarakat haruslah menjadi tanggung jawab dari negara dengan memberikan jaminan, bukan menjadi kewajiban masing-masing individu. Tak sedikit masalah yang dialami masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan dengan menggunakan BPJS yang kemudian berakhir dengan kehampaan tanpa ada kejelasan, dimulai dari pengurusan administrasi yang semerawut hingga perlakuan pelayanan diskrimitatif terhadap peserta BPJS. Sehingga tak heran jika hal ini membuat masyarakat sendiri kehilangan rasa kepercayaan terhadap penyelenggaraan jaminan kesehatan ini.
Jika saja kita mau memerhatikan akar masalah dari banyaknya kegagalan dalam pelayanan jaminan kesehatan ini, disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme yang pada akhirnya membuat pemerintah berpikir ala kapitalis dengan menjadikan pelayanan publik sebagai model pemalakkan secara halus dan bergengsi. Layanan kesehatan kini hanya dijadikan sebagai komoditas bisnis basah untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Sedangkan pelayanan kesehatan dalam Islam ialah negara menjamin secara penuh terhadap pelayanan kesehatan untuk rakyatnya tanpa terkecuali dan tanpa mengukur untung rugi, karena pemerintah adalah pelayan bagi rakyatnya. Sehingga tidak seharusnya publik menjalankan instruksi kekuasaan yang melawan kewajibannya yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayananan kepada rakyat.
Selain itu BPJS Kesehatan merupakan asuransi yang haram hukumnya karena mengandung gharar, maisir dan riba serta akadnya tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al-dhamaan). Sistem Pembayaran BPJS kesehatan berbeda dengan ta’âwun dan hibah karena prinsip ta’âwun dan hibah adalah kerelaan. Maka dengan adanya denda bagi peserta yang tidak atau telat sebesar 2,5% berarti mengandung riba sehingga haram bagi negara untuk memungut iuran kepada rakyatnya.
Ini dikarenakan sesuatu yang merupakan fasilitas atau hak umum tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu maupun negara sekalipun. Maka perlu adanya perubahan yang mendasar juga secara sistemik dalam mengatasi polemik pelayanan kesehatan.
Dalam sistem Islam, sumber daya alam dan sumber daya manusia diberdayakan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat termasuk fasilitas kesehatan. Sehingga dengan adanya dukungan penuh negara dalam mencetak masyarakat yang berkualitas, negara akan mampu secara mandiri dibidang kesehatan serta kemandirian pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan rakyatnya.
Dari hal ini maka jelaslah solusi tuntas dalam penyelesaian suatu polemik hanyalah dengan penerapan sistem Islam secara totalitas.[]
Oleh: Nora Trisna Tumewa
0 Komentar