AS Resesi, Nasib Indonesia?




Amerika Serikat resmi resesi. Setelah dua kuartal membukukan pertumbuhan ekonomi negatif pada tahun yang sama. Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada kuartal II-2022 kontraksi atau negatif 0,9% secara tahunan (year-on-year/yoy). Pada kuartal I-2022 yoy, pertumbuhan pun tercatat negatif sebesar 1,6%.


Sudah diketahui bersama bahwa AS tengah mengalami inflasi akibat naiknya harga energi. Indeks Harga Konsumen (CPI/IHK) tercatat 9,1% secara tahunan (year on year/yoy) dalam pengumuman Rabu (13/7/2022) pagi waktu setempat. Ini menjadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Angka itu juga jauh di atas perkiraan sejumlah ekonom yang dikumpulkan media dan lembaga, seperti Dow Jones, 8,8%.


Untuk merespon hal ini, The Fed, Bank Sentral AS, menaikkan suku bunga dengan agresif. Pada pekan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut merupakan yang terbesar sejak 1994, dan tidak berhenti sampai di sana. Ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan akan terus menaikkan suku bunga guna menurunkan inflasi. Saat pengumuman kebijakan moneter Kamis pekan lalu, Powell menyatakan suku bunga di bulan Juli akan naik antara 50 bp sampai 75 bp. (www.cnbcindonesia.com)

 

Reuters melakukan survei kepada para ekonom, hasilnya The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga 75 bp di bulan depan dan 50 bp di September. Artinya, di kuartal III-2022, The Fed total menaikkan suku bunga sebesar 125 bp menjadi 2,75% - 3%. Memang ini merupakan rumus baku dari ekonomi kapitalis. Jika terjadi inflasi, maka solusinya adalah menaikkan suku bunga.


Dampak dari naiknya suku bunga adalah melemahnya daya beli masyarakat. Warga AS sangat tergantung dengan hutang. Biaya hidupnya ditanggung oleh hutang seperti rumah, student loan, bahkan barang-barang konsumsi. Jika suku bunga naik, maka beban hidup akan naik. Imbasnya, semua akan mengerem konsumsi. Jika konsumsi menurun tingkat produksi juga turun. Akibatnya akan menambah angka pengangguran. Inilah yang menyebabkan kontraksi ekonomi. 


Tentu saja, ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hingga The Fed menyatakan “menyelesaikan inflasi dengan mengorbankan pertumbuhan”. Dan, mari kita lihat seberapa dalam resesi akibat kenaikan suku bunga ini. Karena dampak dari penaikan suku bunga oleh The Fed baru akan terasa beberapa bulan selanjutnya.


Dampak Bagi Indonesia


Ekonomi Indonesia merupakan ekonomi yang terbuka. Artinya, ekonomi kita akan senantiasa terpengaruh oleh kondisi ekonomi global termasuk resesi di negara luar. Untuk resesi yang terjadi di AS, Menkeu, Sri Mulyani, telah menganalisis dampaknya terhadap Indonesia.


Sri Mulyani menjelaskan AS merupakan salah satu negara tujuan ekspor RI. Jika ekonomi bergejolak, maka permintaan ekspor dari Negeri Paman Sam juga berpotensi berkurang. Jika permintaan dari negara itu berkurang, maka otomatis nilai ekspor RI turun. Dengan demikian, neraca perdagangan berpotensi defisit dalam waktu mendatang. (www.cnnindonesia.com) Apalagi bukan hanya AS yang mengalami resesi, dua negara tujuan ekspor Indonesia yaitu China dan Eropa, juga mengalami perlambatan ekonomi.


Tentu saja ini akan berpengaruh kepada warga Indonesia. Sebut saja pengusaha tambang, para petani sawit, bahkan negara yang mengandalkan pajak dari produk-produk yang diekspor. Bukan hanya ekspor Indonesia saja yang tertekan secara demand, Rupiah pun akan mengalami goncangan. Sebagaimana diketahui, dalam sektor keuangan Indonesia sangat dipengaruhi oleh investor asing. Obligasi dan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah banyak dikuasai oleh investor asing.


Jika AS menaikkan suku bunga, maka investor akan mengalihkan investasinya ke surat-surat berharga yang diterbitkan pemerintah AS lewat Bank-Bank mereka. Otomatis akan terjadi capital outflow alias dolar lari keluar Indonesia. Dolar menjadi langka di dalam negeri, dampaknya Rupiah akan terdepresiasi. Apalagi jika The Fed terus menaikkan suku bunga. Bisa jadi Rupiah akan terus melemah terhadap dolar. Hal ini dibarengi dengan menurunnya devisa. Karena menurunnya ekspor tadi. Makin terpuruklah Rupiah. Lalu, hutang dan pembayaran komoditas impor akan berlipat ganda. Otomatis membuat harga di dalam negeri naik atau pajak akan semakin mencekik.


Keluar dari Jerat Resesi


Untuk keluar dari jerat resesi, secara fundamental kita harus melakukan dua hal. Stop menjadikan uang sebagai komoditas dan mengembalikan uang kepada fungsinya hanya sebagai alat tukar. Maksud menjadikan uang sebagai komoditas adalah memberlakukan riba di dalamnya. Baik dalam transaksi pinjam meminjam, pertukaran mata uang, dan transaksi spekulasi lainnya. Karena hal ini akan menyebabkan pada penggelembungan jumlah uang yang beredar. Jika itu terjadi, inflasi sebagai biang resesi pasti terjadi juga.


Kedua, terkait dengan mata uang sendiri. Stop memakai mata uang kertas dan medenominasi uang dengan dolar. Mata uang kertas itu sendirian sudah bermasalah. Karena ia menjadi berharga hanya karena ada legal tender dari penguasa bahwa ia berharga sekian. Padahal nilai intrinsiknya jauh lebih kecil dari nilai nominal yang tertera di kertas uang tersebut. Ini akan menimbulkan seignorage. Seignorage ini ditanggapi akan menimbulkan penggelembungan jumlah mata uang juga. 

Apalagi jika denominasi mata uang kita diandalkan pada dolar. Dolar itu sendiri semenjak adanya Dekrit Nixon sudah tidak diback up oleh emas. Jadi hanya berupa kertas saja. Mata uangnya tidak benar-benar berharga. Mata uang seperti ini rawan mengalami inflasi.


Oleh karena itu, kita harus beralih pada mata uang yang bersandar pada emas dan perak. Emas dan perak itu komoditas yang berharga. Benar-benr berharga karena zatnya. Bukan dianggap berharga atau dipaksa berharga karena ada legal tender dari negara. Oleh karena itu, mata uang ini stabil. 


Ditambah lagi, nilai tukar mata uang akan stabil karena basis transaksinya adalah emas dan perak yang nilainya stabil. Transaksi perdagangan, transfer modal dan biaya perjalanan lintas negara pun akan lebih lancar dan stabil. Saat yang sama, sistem mata uang tersebut menegasikan peran perbankan dalam menciptakan dan melipatgandakan uang (deposit money) melalui kredit dan pembelian surat-surat berharga, seperti pada perbankan yang tumbuh dalam sistem kapitalisme, baik yang konvensional ataupun yang bermerek syariah.


Sistem keuangan seperti ini hanya ada dalam sistem ekonomi Islam. Jadi sudah saatnya dunia mengakhiri kesengsaraan karena penerapan sistem ekonomi kapitalis dan beralih kepada sistem ekonomi Islam.


Oleh Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar