Pembangunan Masjid Imam Ahmad Bin Hambal (MIAH) di Kota Bogor disetop sementara oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Walikota Bogor, Bima Arya, mengatakan penyetopan sementara selama 90 hari ini dilakukan demi menghindari konflik sosial. Beliau mengklaim ada pergerakan massa bukan hanya dari Bogor tapi luar Bogor yang menolak pembangunan MIAH. (www.news.detik.com)
Polemik pembangunan MIAH memang sudah berlangsung lama. Sempat mereda ketika pembangunan berhenti dan memanas lagi akhir-akhir ini seiring dengan adanya kegiatan pembangunan kembali. Ditenggarai alasan warga yang menolak pembangunan masjid adalah MIAH beraliran Wahabi. Berbeda dengan aliran yang mereka yakini. (www.cnnindonesia.com)
Sementara pihak MIAH pun tetap bersikukuh untuk melanjutkan pembangunan. Mereka beralasan bahwa PTUN telah mengabulkan permohonannya serta putusan itu sudah incracht. Kuasa Hukum MIAH, Herly Hermawan, mengatakan putusan PTUN sudah ada penetapan eksekusinya pada 21 April 2021 dan mengenai gejolak sosial itu pun sudah clear. Pihaknya pun telah bolak-balik melakukan dialog dengan Pemkot. (www.news.detik.com)
Dewasa Menyikapi Perbedaan Mazhab
Jika polemik pembangunan MIAH memang bermuara pada “aliran yang dianggap berbeda oleh masyarakat”, sejatinya itu hanya terkait dengan perbedaan mazhab saja. Dalam kamus fikih, Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, bahwa mazhab adalah metode tertentu dalam menggali hukum syariat yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang bersifat kasuistik. Dari perbedaan metode penggalian hukum inilah, kemudian lahir mazhab fikih.
Dalam perkembangannya, istilah mazhab juga digunakan bukan hanya dalam konteks fikih, tetapi juga akidah dan politik. Sebut saja Prof. Dr. Abu Zahrah, dengan bukunya, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah: Fî as-Siyâsah, wa al-‘Aqâ’id wa Târîkh al-Fiqh al-Islâmi. Lebih jauh beliau menegaskan, bahwa semua mazhab tersebut masih merupakan bagian dari mazhab Islam. Beliau kemudian melakukan klasifikasi, antara lain, mazhab politik, seperti Syiah dan Khawarij; bisa juga ditambahkan, Ahlussunnah dan Murjiah. Kemudian mazhab akidah seperti Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah.[4] Adapun mazhab fikih adalah seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah, Zahiriyah, Zaidiyah dan Ja‘fariyah. (Hafidz Abdurahman, Jurnal Islam Alwaie)
Secara faktual, potensi intelektual yang diberikan oleh Allah kepada masing-masing orang jelas berbeda. Dengan perbedaan potensi intelektual tersebut, mustahil semua orang bisa menarik kesimpulan yang sama ketika berhadapan dengan nas-nas syariat. Belum lagi ungkapan dan gaya bahasa (uslûb) al-Qur'an dan Hadis Nabi —yang nota bene berbahasa Arab— mempunyai potensi multiinterpretasi (ta’wîl), baik karena faktor ungkapan maupun susunan (tarkîb)-nya.
Adapun secara syarik, dilihat dari aspek sumber (tsubût)-nya, nas-nas syariat tersebut ada yang qath‘i, seperti al-Qur'an dan Hadis Mutawatir, dan ada yang zhanni, seperti Hadis Ahad. Untuk konteks dalil qath‘i tentu tidak ada perbedaan terkait dengan penggunaannya untuk membangun argumen (istidlâl). Namun, tidak demikian dengan sumber yang zhanni. Hal yang sama juga terjadi dalam konteks dilâlah nas-nas syariat tersebut. Sekalipun nas-nas tersebut qath‘i dari aspek sumbernya, dilâlah-nya tidak selalu qath‘i. Sebab, ada juga yang qath‘i, dan ada yang zhanni. Dalam konteks dilâlah qath‘iyyah, tentu tidak ada perbedaan pendapat tentang maknanya, tetapi bagaimana dengan dilâlah zhanniyyah? Tentu tidak demikian.
Karena itulah, bisa disimpulkan, bahwa terjadinya perbedaan pendapat, yang melahirkan ragam mazhab itu, merupakan suatu keniscayaan. Namun tidak berarti, bahwa keniscayaan tersebut bersifat mutlak dalam segala hal. Jelas tidak. Demikian halnya, potensi nas-nas syariat untuk bisa dimultitafsirkan juga tidak berarti bebas dengan bentuk dan metode apapun. Sebab, jika tidak, ini akan membawa kekacauan. Karenanya, Islam tidak menafikan keniscayaan tersebut, meski Islam juga tidak menjadikan keniscayaan tersebut sebagai hukum. Keniscayaan faktual dan syarik tersebut lalu diselesaikan oleh Islam dengan sejumlah hukum yang bisa langsung diimplementasikan serta mampu mewujudkan keharmonisan individual dan kelompok secara simultan.
Karena itu memang perlu sikap dewasa dalam menghadapi perbedaan. Seperti yang dilakukan oleh para fukaha dan ulama terdahulu. Mereka mengedepankan kaidah “Pendapat saya benar namun berpotensi salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu salah, namun berpotensi benar”.
Mereka pun mengembangkan sikap tawadhu (rendah hati). Hanya saja sikap seperti ini tidak diikuti oleh pengikutnya. Ijtihad pun mereka tutup. Mazhab pun dibatasi hanya empat. Padahal masih banyak ulama yang mampu berijtihad dan membangun mazhab sendiri. Sikap inilah yang menyebabkan lahirnya sikap fanatisme mazhab. Dengan kata lain, fikih dan fukaha-nya dijadikan layaknya monumen.
Tindakan memonumenkan fikih dan fukaha itu melahirkan sikap, bahwa fikihnyalah yang diklaim paling benar, sedangkan yang lain salah; fukaha-nya juga dianggap sebagai yang paling hebat, sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini bisa berubah menjadi fanatisme mazhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya dalam tindakan mengkafirkan atau menyesatkan fikih dan fukaha lain, berikut para pengikutnya. Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan mazhabnyalah yang benar. Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik di kalangan pengikut mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut Hanafi dan Syafii pada masa lalu.
Sejatinya jika kita mendudukkan kembali posisi fikih dan fukaha secara sejajar, tidak ada pengagungan dari satu fukaha (atau mujtahid) atas yang lain, maka konflik semacam ini tak akan terjadi. Para fukaha itu bagaikan bintang. Kepada siapa pun kita menuju, maka kita akan tertunjuki kepada hukum Allah.
Pandangan inilah yang telah terbukti menyatukan umat dan loyalitas umat pun tetap pada Islam. Jika perbedaan mazhab disikapi dengan baik, justru akan melahirkan kekayaan intelektual dan syariat. Hal itu akan menjadi kebanggaan bagi umat Islam itu sendiri.
Di lain pihak, Allah Swt. melarang umat Islam untuk terpecah-belah. Allah Swt. berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 103 yang artinya: "Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk."
Janganlah kita berpecah-belah. Karena, itulah yang diharapkan oleh orang kafir sesuai rancangan strategis dari RANS Corporation. Mereka berusaha mengadu-domba umat agar tetap bisa dilemahkan. Hingga mereka leluasa menjalankan makar bagi umat Muhammad Saw.
Justru kita harus bersatu lalu menegakkan institusi yang bisa mengikat persatuan umat yaitu institusi khilafah. Khalifah merupakan simbol kesatuan kaum muslimin. Ini sebagaimana kaidah syar’iyyah: Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perselisihan.
Khilafah akan mengeliminasi perbedaan yang berpotensi pada perpecahan dengan legislasi (tabanni). Tabanni ini wajib diikuti oleh seluruh warga negara. Selain itu, khilafah juga akan melakukan edukasi kepada umat agar mempunyai pandangan yang benar mengenai berbagai perbedaan.
Ketika khilafah tegak, perbedaan “sektarian” seperti isu Sunni dan Syiah, yang sering digunakan Barat untuk memecah-belah umat tak akan terjadi. Secara logis dan empiris Muslim Sunni dan Syiah di Suriah, Afghanistan, Yaman, Irak dan berbagai wilayah lain tinggal berdampingan dengan damai di lingkungan yang sama selama berabad-abad di bawah pemerintahan Islam (khilafah). Mereka mampu hidup harmonis dalam naungannya. Justru ketika khilafah tiada, Syiah, Sunni dan kelompok-kelompok Islam menjadi komoditas barat untuk memecah-belah, menceraiberaikan dan melemahkan umat.
Wahai umat Islam dimana pun berada, sudah saatnya kita kembali berpegang-teguh pada tali agama Allah dan jangan terpecah-belah. Dewasalah dalam mensikapi perbedaan dan bersatupadulah berjuang menegakkan institusi pemersatu umat, Khilafah Islamiyah. Allahuakbar!
Oleh : Rini Sarah
0 Komentar