Sudah umum diketahui masyarakat bahwa biaya masuk kuliah tiap tahunnya senantiasa mengalami kenaikan. Baik uang pangkal maupun uang kuliah tunggal (UKT). Tentu hal ini tidak hanya membuat calon mahasiswa menjerit, orang tua pun semakin terbebani. Belum reda tanggungan orang tua untuk menyambung hidup di tengah gempuran kenaikan biaya hidup, sudah ditambah dengan besarnya biaya masuk kuliah.
Sungguh, betapa beratnya beban orang tua yang kian hari senantiasa memikirkan naiknya harga sembako, melonjaknya pajak, belum kebutuhan listrik, BBM, dan sejenisnya, lalu ditambah dengan naiknya kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Konon, hidup di negeri ini memang tidak ada makan siang gratis.
Baru-baru ini DPR RI memberikan pandanganya terkait kenaikan biaya rata-rata perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Pandangan ini merespons atas peningkatan gaji orang Indonesia yang tidak mampu mengimbangi biaya pendidikan tinggi untuk anaknya. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mengakui jika memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal.
Dede Yusuf mengungkapkan, banyak orang tua tak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran benturan biaya. Walaupun negara sudah menyiapkan beasiswa KIP Kuliah, untuk bantu uang semester. Namun ternyata untuk masuk kuliah ada uang lain seperti uang bangku, uang duduk, uang bangunan dan lain-lain yang besarnya bisa mencapai belasan juta. Apalagi prodi-prodi favorit, teknik dan kedokteran apalagi.(kedaipena.com, 30 Juli 2022)
Sejak awal kemunculan kebijakan UKT, telah menuai protes dari berbagai pihak. Terlebih lagi sekarang biaya masuk jalur seleksi mandiri sangatlah mahal. Sungguh kebijakan ini amat dipaksakan, sementara rakyat hanya menelan pil pahit dari setiap kebijakan yang dimunculkan dalam dunia pendidikan. Hal ini merupakan akibat adanya otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kemudian, PTN berubah status menjadi BHMN. Sejak itulah perguruan tinggi dikomersialkan. Hasilnya, biaya pendidikan pun semakin mahal dan sulit dijangkau masyarakat miskin.
Konsultan Pendidikan dan Karier Ina Liem menyampaikan, "Sejak sebelum pandemi, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang didorong untuk berbadan hukum supaya bisa menerima dana dari masyarakat, agar bisa lebih berkembang," ujar Ina saat dihubungi Kompas.com, selasa (21/7/2020).
Adanya komersialisasi pendidikan hari ini merupakan imbas diterapkannya sistem kapitalisme karena peran pendanaan oleh pemerintah dibuat semakin berkurang, sementara pendanaan oleh masyarakat (orang tua) dibuat semakin besar. Akibatnya, pendidikan berkualitas hanya bisa dirasakan oleh orang-orang menengah ke atas, sementara orang miskin tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, wajar jika orang miskin tidak bisa mengembangkan potensi dirinya dan mereka tetap dalam kemiskinan. Padahal seharusnya sekolah itu bisa menjadi gerbang untuk perbaikan pola pikir dan taraf hidup bagi orang miskin. Bukan malah menjadi jurang pemisah atas status sosial-ekonomi masyarakat.
Tentu gambaran pendidikan kapitalis berbeda jauh dengan pendidikan yang ditopang oleh sistem Islam. Islam menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan mendasar bagi masyarakat, sehingga negara wajib menyediakannya secara gratis. Hal ini sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah menetapkan tebusan tawanan perang dari orang kafir dengan mengajari sepuluh orang dari anak-anak kaum Muslim. Tebusan tawanan itu merupakan ghanimah yang menjadi hak seluruh kaum Muslim. Artinya, apa yang dicontohkan Rasulullah itu menunjukkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan untuk rakyat. Dengan demikian, semestinya negara hari ini fokus untuk membangun sistem pendidikan yang tepat dan berangkat dari orientasi Ideologi yang shahih, yaitu Islam.
Oleh: Fatimah Azzahra H.
0 Komentar