Kota Bogor terkenal sebagai kota yang memiliki keindahan alam dengan udara pegunungan yang sejuk dan segar. Potensi alam inilah yang menjadikan kota hujan sebagai kota yang menyajikan begitu banyak wisata alamnya yang indah. Sehingga wajarlah, ikon sebagai kota wisata disematkan untuk kota ini. Sektor wisata jugalah yang menjadi sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor terus berupaya untuk mendongkrak sektor pariwisata dengan terus meningkatkan pelayanan agar para wisatawan nyaman dan aman berwisata di Kota Bogor.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno, menyebut Kota Bogor sebagai ikon wisata perkotaan yang menjadi konsep urban tourism. Kemajuan pariwisata di Kota hujan ini mampu menciptakan 1,1 juta lapangan kerja baru. Menparekraf juga mendukung pengembangan kampung tematik, kampung wisata Mulyaharja yang masih menyuguhkan persawahan seluas 12 hektar di tengah kota, yang terletak di kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Sesuai pesan Presiden Jokowi menjelang hari HUT kemerdekaan RI ke-77, akan merayakan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,44 persen. Sektor pariwisata menyumbang hampir 10 persen yakni 9.76 persen pada pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, Presiden Jokowi mengimbau agar tetap waspada pada potensi ketidakpastian ekonomi ke depan (Merdeka.com, 06/08/2022)
Kota Bogor menjadi mandat sumbangsih pariwisata dikarenakan Kota Bogor merupakan salah satu kota penyangga ibukota dengan iklim yang sejuk. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal dan mancanegara untuk mendatangi dan bahkan menjadikan Kota Bogor sebagai alternatif tempat tinggal mereka. Faktor inilah yang menjadi peluang menjamurnya obyek wisata di Kota Bogor, dari wisata kuliner, wisata air, wisata kampung tematik dan masih banyak lagi jenis wisata lainnya.
Dibalik beragam wisata alam yang disuguhkan, ada potensi utama yang terabaikan. Kota Bogor telah mengabaikan potensi tanahnya yang sangat subur dengan curah hujan yang sangat tinggi. Potensi keanekaragaman hayati harus terkubur dan dialihkan pada sektor pariwisata. Padahal apabila potensi keanekaragaman hayati ini dikelola dengan baik, maka akan menghidupkan sektor pertanian yang akan menjadi sumber pendapatan bagi warga Kota Bogor.
Begitu besar potensi tanah subur yang ada di kota hujan ini. Sayangnya potensi ini harus terkubur digantikan dengan pembangunan sektor wisata. Pembangunan sektor wisata tentunya akan seiring sejalan dengan pembangunan sarana penunjang lainnya, seperti rumah penginapan, hotel, pusat perbelanjaan, bahkan semakin menjamurnya pendirian komplek perumahan elit di Kota Bogor. Hingga tak jarang konversi lahan menjadi pemicu bencana banjir dan tanah longsor.
Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) dari Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Omo Rusdiana mengatakan bahwa ada 4 faktor penyebab terjadinya banjir di Kota Bogor antara lain, intensitas hujan yang tinggi, kualitas tutupan lahan akibat deforestasi, lahan kritis atau tidak produktif dan kondisi sungai serta penyimpangan penggunaan tata ruang. (Kompas.com, 21/01/2021)
Tidak dipungkiri, terjadinya bencana alam bukanlah semata-mata karena hujan dan faktor alam lainnya. Salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya wilayah resapan air. Hal ini karena alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Daerah resapan air sudah beralih fungsi menjadi tempat wisata, komplek perumahan ataupun pusat perbelanjaan.
Penyematan Kota Bogor sebagai ikon wisata menunjukkan orientasi pembangunan bertumpu pada sektor wisata, yang disadari ataukah tidak, telah mengubur potensi keanekaragaman hayati yang juga dimiliki Kota Bogor. Hal ini tak lepas dari sistem kapitalisme yang menjadi rujukan lahirnya berbagai peraturan dan kebijakan, yang menjadikan daerah hanya mengumpulkan 'uang receh' dari sektor wisata.
Sektor wisata yang diharapkan dapat menyerap jumlah tenaga pekerja yang banyak hanyalah sebuah ilusi. Justru yang terjadi para petani harus kehilangan sumber mata pencaharian mereka karena lahan mereka dialihfungsikan untuk membangun tempat-tempat wisata. Hal ini pun dikarenakan kurangnya dukungan Pemkot Bogor bagi para petani untuk mengelola lahan pertanian.
Di sisi lain negeri ini justru membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, hingga menjadi negara yang sangat bergantung pada impor. Inilah yang menyebabkan mengapa negeri ini sangat rentan mengalami krisis pangan, padahal memiliki tanah yang subur.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme yang telah berhasil mendominasi arah pembangunan negeri-negeri muslim yang memiliki tanah subur serta sumber daya alam yang melimpah ruah. Para pemimpin negeri ini tidak memiliki bargaining position di hadapan negara-negara pengusung sistem kapitalis. Mereka hanya mampu mengikuti model pembangunan yang sejatinya bukan diperuntukkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Namun lebih diperuntukkan demi melayani kepuasan sekelompok orang.
Gambaran di atas sangat bertolak belakang dengan sistem khilafah yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh di semua lini kehidupan. Khilafah merancang model pembangunan secara independen dan ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demikian pula dalam konsep perencanaan tata kota. Khilafah tidak hanya memperhatikan aspek sosial masyarakat semata, melainkan juga kelestarian alam beserta potensi tanahnya. Dengan memetakan mana tanah untuk pemukiman, pembangunan infrastruktur, tanah pertanian dan tanah yang diproteksi (dihima) untuk fasilitas umum.
Adapun tanah yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian, maka akan diolah dan difasilitasi oleh negara khilafah sebagai penopang kebutuhan pokok rakyat. Para petani akan diberikan kemudahan saat mengelola tanah-tanah mereka. Sehingga terwujud swasembada pangan. Khilafah menjadi negara yang mandiri serta tidak bergantung pada negara manapun untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, baik pangan, sandang dan papan. Semua dipenuhi oleh khilafah secara mandiri yang notabene merupakan bagian dari tanggung jawabnya.
Optimalisasi lahan pertanian ini, salah satunya dengan memberikan tanah kepada petani yang tidak memiliki lahan. Khilafah pun memberikan kemudahan agar petani dapat mengolah lahannya dengan optimal, mulai dari penyediaan bibit unggul, pupuk, serta alat-alat penunjang pertanian. Juga jaminan distribusi hasil pengelolaan lahan. Sehingga secara individu, petani mampu memenuhi kebutuhan nafkah bagi keluarganya. Secara umum, kebutuhan pokok masyarakat bisa terpenuhi dengan baik tanpa mengandalkan impor pangan. Bahkan ketika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, khilafah akan mengizinkan ekspor pangan ke luar negeri, yang artinya akan menambah pemasukan bagi para petani.
Inilah bukti nyata bahwa dalam sistem Islam, tanah dipergunakan sesuai fungsinya. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan sistem kapitalis yang menjadikan tanah sebagai aset investasi, tanpa dikelola sesuai peruntukannya. Atau tanah hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang sejatinya tidak dibutuhkan oleh rakyat.
Dalam khilafah, tidak ada tanah yang dibiarkan tanpa dikelola oleh pemiliknya. Syariat Islam telah memberlakukan tanah yang tidak dikelola selama tiga tahun oleh pemiliknya, maka akan menghilangkan kepemilikannya atas tanah tersebut. Negara akan mengambil tanah tersebut dan memberikan kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya.
Disinilah terlihat peran penguasa yang memiliki kewenangan dan mengatur tata kelola kota demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Rasulullah Saw. bersabda, "Imam adalah penjaga dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Bukhari).
Dengan tata kelola lahan yang pengaturannya bersumber dari sang pencipta alam semesta, dapat dipastikan rakyat hidup sejahtera dalam naungan khilafah. Tanpa mengabaikan potensi alam dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Inilah tatanan kehidupan yang seharusnya umat manusia hidup di dalamnya. Manusia menjalani kehidupannya sesuai tujuan penciptaannya, yakni sebagai hamba bagi sang khalik. Wallahua’lam.
___________
Saran utk caption:
Dibalik beragam wisata alam yang disuguhkan, ada potensi utama yang terabaikan. Kota Bogor telah mengabaikan potensi tanahnya yang sangat subur dengan curah hujan yang sangat tinggi. Potensi keanekaragaman hayati harus terkubur dan dialihkan pada sektor pariwisata.
Penulis : Siti Rima Sarinah
0 Komentar