Farel Prayoga. Nama ini belakangan banyak menjadi perbincangan. Sosoknya tetiba viral di media sosial. Bukan tanpa alasan. Bermula pada tanggal 17 Agustus 2022, Farel tampil di acara kenegaraan dalam perayaan peringatan 77 tahun kemerdekaan Indonesia. Siswa kelas 6 SD sebuah sekolah dasar di Banyuwangi, Jawatimur ini begitu luwes membawakan lagu campur cari khas Jawa berjudul “Ojo Dibandingke”. Semua ikut bergoyang tak terkecuali Pak Presiden, Ibu Negara, para menteri dan tamu undangan. Farelpun banjir pujian.
Pulang dari Istana Farel membawa hadiah sebuah sepeda dari Pak Jokowi dan uang saku 50 juta dari Pak Jokowi, di luar honor menyanyi, ditambah saweran dari tamu undangan. Beberapa sumber menyebutkan jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. (tribunnews.com, 24/08/2022). Bantuan modal untuk usaha kecil juga diberikan kepada orangtua Farel di Banyuwangi.
Sejak viral, job menyanyi pun berdatangan. Mengutip dari tribunnews.com, 25/08/2022 Farel dikabarkan mendapatkan penghasilan yang melimpah. Ia kini mampu membeli sebuah mobil dan membangun rumah untuk kedua orangtuanya. Sebuah capaian luar biasa untuk ukuran anak usia 12 tahun. Merubah kehidupannya 180 derajat setelah sebelumnya Farel menjalani hidup sebagai pengamen jalanan bersama sang ayah.
Bak mendapat durian runtuh Farel seketika mendapat begitu banyak apresiasi dan banjir fasilitas. Predikat Duta Intelektual disematkan oleh Kementerian Hukum dan HAM karena dinilai berprestasi di bidang seni dan budaya. Tak berhenti sampai di situ, BPJS Kesehatan memberikan dukungan kepada Farel dalam bentuk perlindungan jaminan kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). (tvonenews.com, 22/08/2022).
Melihat kisah Farel siapa yang tidak tergiur. Baik itu sebagai anak maupun orangtua. Anak tentu bangga ketika bisa memberikan yang terbaik untuk orangtua. Pun orangtua, akan merasa bahagia tak terhingga. Siapa yang tidak ingin seperti Farel? Siapa yang tidak ingin bernasib seperti orangtuanya Farel? Disadari atau tidak, pikiran-pikiran semacam ini masih mendominasi pikiran umat hari ini. Bahwa bahagia itu ketika mendapatkan banyak harta. Bangga itu ketika mendapat banyak pujian dan atau pengharaan, yang notabene dari manusia.
Maka wajar, fokus umat tergiring untuk mengejar materi dan atau ketenaran tadi. Karena ini dianggap sebagai sumber kebahagiaan, tolok ukur kesuksesan, jaminan kemapanan. Apalagi ada legitimasi dari penguasa sebagai sesuatu yang positif hingga layak didukung bahkan diikuti. Ditambah lagi ada media sosial yang menjadi salah satu alternatif mendapatkan semua itu dengan cara instan. Yang penting viral, cuan pun datang.
Apalagi iklimnya memang serba sulit. Sekolah mahal-mahal, ujung-ujungnya jadi pengangguran. Mencari pekerjaan susah. Ketika sudah bekerja pun penghasilannya tidak mencukupi karena semua kebutuhan pokok harganya naik terus lupa turun. Sejatinya, iklim serba sulit ini tidak terjadi begitu saja, tetapi by sistem. Sistem yang memungkinkan harta kekayaan hanya berputar pada segelintir kalangan saja, dalam hal ini para kapital. Yaitu orang-orang yang mempunyai modal atau kekuasaan atau keduanya. Jumlah mereka yang sedikit menguasai sebagian besar kekayaan bumi. Sementara sebagian besar rakyat terpaksa mengais sebagian kecil sisanya.
Inilah yang disebut dengan sistem kapitalisme. Bagaimana sistem ini bekerja? Dalam sistem kapitakisme, siapapun bebas memiliki apapun. Prinsip ini tentu hanya akan dimenangkan oleh yang kuat. Baik kuat modal maupun kekuasaan. Dengan modalnya dia bisa menambah lagi harta. Dengan kekuasaan dia bisa menambah lagi modalnya. Begitu seterusnya hingga menjadi lingkaran setan yang tak pernah putus. Terjadilah kesenjangan sosial. Yang kaya makin kaya. Yang miskin harus menerima nasib, menjadi semakin miskin.
Selain kebebasan dalam hak kepemilikan, kapitalisme juga menganut pemahaman bahwa sumber kebahagiaan adalah materi dan atau manfaat. Tercukupinya kebutuhan fisik yang sifatnya duniawi. Maka materi dan atau manfaat menjadi satu-satunya yang dicari. Sekali lagi karena memang kapitalisme asasnya adalah materi. Uang adalah segalanya. Segala sesuatu berbayar dan mahal. Sekolah butuh uang. Sakit butuh uang. Beras, minyak, cabe, bawang, telor, daging, BBM, listrik, gas semua mahal. Mau rumahnya aman, harus bayar satpam. Dan lain-lain.
Prinsip-prinsip kapitalisme itulah yang kemudian membius umat hingga fokus hidupnya beralih sebatas mengejar fulus. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan sistem Islam. Di dalam Islam, enam (6) kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah hak rakyat dan tanggung jawab negara. Untuk kebutuhan individual (sandang, pangan, papan) bentuk penjaminannya tidak secara langsung melainkan berupa modal atau pelatihan atau kemudahan akses. Sementara untuk kebutuhan komunal (pendidikan, kesehatan, keamanan) ditanggung sepenuhnya oleh negara.
Tak ada klasifikasi subsidi-non subsidi, karena kebutuhan pokok manusia sama setiap kepala. Ketika semua terjamin, fokus umat akan tertuju pada aktifitas ibadah, menghamba kepada Allah Swt. Tidak lagi terbebani kebutuhan hidup. Tujuan hidup sekaligus standar kebahagiannya adalah meraih pahala dan rida dari Allah semata.
Problem yang terjadi hari ini sudah sangat kompleks. Tidak cukup hanya diperbaiki satu sisi saja. Tidak bisa hanya memperbaiki sistem pendidikan saja, atau dari sisi lapangan kerja saja, atau ekonomi saja, atau hukum saja, atau politik saja, atau figur pemimpinnya saja. Karena semua aspek dalam kehidupan manusia tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berdampak satu-sama lain.
Hari ini kualitas generasi muda buruk karena pendidikan rendah. Pendidikan rendah karena tidak punya biaya untuk sekolah. Menyediakan pendidikan gratis erat hubungannya dengan kebijakan penguasa, dengan kemampuan ekonomi negara dan sebagainya. Maka dari itu, solusinya haruslah menyeluruh juga mendasar, dan itu hanya mampu di jawab oleh Islam. Karena hanya Islam yang punya seperangkat aturan yang mengatur segala aspek kehidupan.
Islam memiliki formula sistem pendidikan yang mampu melahirkan generasi kuat baik secara intelektual, emosional maupun spriritual. Pembiayaannya ditangggung negara menggunakan potensi kekayaan yang dikelola dengan syariat Islam. Termasuk untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Masing-masing dengan aturan yang rinci. Tidak ada jalan bagi siapapun untuk bebas memiliki apapun, kecuali semua di bawah koridor syariat Islam. Pemimpin bersama umat bersama-sama melakukan kebaikan atas dorongan iman, bukan lagi demi mencari cuan, jabatan ataupun ketenaran. Hari ini umat terpuruk karena meninggalkan Islam. Teralihkan fokusnya pada sistem kufur kapitalisme yang jelas rusak dan merusak. Mau sampai kapan?
Oleh Anita Rachman
0 Komentar