Upacara HUT RI ke 77 di istana presiden nampak tidak biasa. Terdengar suara merdu dari seorang anak usia 12 tahun berpakaian adat Banyuwangi. Dialah Farel Prayoga. Diiringi musik campursari Farel membawakan lagu berjudul “Ojo Dibandingke” dan sukses menggoyang istana. Jokowi sendiri tersenyum ketika namanya disebut dalam lirik lagu.
Para tamu undangan nampak terhibur dengan lagu yang dibawakan. Diketahui, lagu yang dibawakan Farel adalah lagu yang belakangan viral di Tiktok dengan jutaan views dan banyak dijadikan latar belakang video di aplikasi tersebut.
Keberuntungan Farel tidak selesai sampai disitu. Anak yang duduk di kelas 6 SD ini, tiga bulan lalu adalah seorang anak biasa. Bersama orangtuanya bersusah payah mengumpulkan rupiah dengan mengamen. Kisah Farel ini membuat banyak pihak tergerak hatinya untuk memberikan hadiah istimewa.
Seperti hadiah dari BPJS Kesehatan berupa perlindungan jaminan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang mengaku kagum atas perjuangan Farel Prayoga yang sukses menggoyang istana ini juga memberikan hadiah istimewa pada Farel berupa beasiswa sekolah.
Selain memberikan satu unit sepeda, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tempat tinggal Farel, meneruskan pesan dari presiden, juga memberikan beasiswa hingga jenjang perguruan tinggi. Tentunya sebagai anak daerah yang terlahir dari keluarga kurang mampu sangat senang menerimanya. Keberuntungan yang tidak banyak dialami oleh anak seusianya di negeri ini.
Memang sebuah hal wajar bila apresiasi datang kepada manusia-manusia berprestasi. Namun apresiasi dan atau perhatian penguasa juga dibutuhkan semua anak-anak Indonesia. Apalagi mayoritas anak Indonesia hari ini tidak sedang baik-baik saja.
Sepertiga penduduk Indonesia adalah anak-anak. Jumlahnya setara dengan sekitar 85 juta anak-anak dan merupakan jumlah terbesar ke empat di dunia. Di antara mereka masih banyak yang terjebak pada permasalahan kesehatan, pendidikan dan kemiskinan. Bahkan fakta anak yang dipekerjakan masih tinggi angkanya di Indonesia. Ditulis dalam situs unicef.org, walaupun kondisi anak-anak dan perempuan Indonesia makin membaik, namun tren nasional masih menyisakan kesenjangan yang signifikan di seluruh wilayah.
Secara umum kondisi gizi anak Indonesia pun bermasalah. Isu stunting kembali mencuat. Anak-anak kekurangan gizi kronis yang menimbulkan dampak jangka panjang, terkait hambatan pertumbuhan, penurunan kemampuan kognitif dan mental, rentetan penyakit dan kualitas hasil reproduksi rendah.
Belum lagi masalah pendidikan anak. Menurut data BPS, Angka Patisipasi Sekolah (APS) tahun 2021 baik sekolah formal maupun non formal pada kelompok usia 5-6 tahun dan usia 16-18 tahun masih rendah. Yaitu hanya sebesar 20,11 persen di usia 5-6 tahun dan 73,09 persen di usia 16-18 tahun. Bukan hanya dari sisi usia Pendidikan saja, namun sarana dan prasarana sekolah juga masih sangat minim yang kemudian berdampak pada kualitas pendidikan.
Dari angka patisipasi sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia banyak yang putus sekolah di jenjang SMA ataupun sekolah sekaligus bekerja. Termasuk tidak mengikuti pendidikan di tingkat Taman Kanak-Kanak/PAUD. Padahal pendidikan merupakan hal yang asasi dan menentukan kualitas bangsa di masa yang akan datang.
Kemudian dari aspek lainnya, anak Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Menurut penelitian dari SMERU Research Institute tahun 2019 menyatakan, betapa langkanya anak dari keluarga miskin yang bisa sukses. Hal ini bila dikaitkan dari data BPS pada Maret 2022, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 26,16 juta orang. Dari data tersebut menyatakan bahwa tingkat kemiskinan dan angka anak-anak yang akan keluar dari kemiskinan juga masih cukup tinggi.
Dengan kondisi perekonomian keluarga yang kurang, anak akhirnya harus ikut mencari nafkah. Data BPS pada tahun 2021 menyatakan bahwa pekerja anak sebesar 2,63 persen. Padahal menurut ILO, anak yang bekerja dapat membahayakan atau mengganggu fisik, intelektual, mental maupun moral.
Dari banyaknya permasalahan pada anak di atas, tentu dibutuhkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah. Apalagi saat ini Indonesia tengah mendapatkan bonus demografi. Penguasa seharusnya mempergunakan sebaik mungkin kesempatan emas tersebut untuk meningkatkan kualitas anak Indonesia. Tentunya peningkatan kualitas anak bangsa akan berbanding lurus dengan kualitas bangsanya.
Sebagaimana dahulu Rasulullah saw mendidik para sahabat yang sudah berumur maupun yang masih belia. Menempa mereka dengan keimanan sehingga tiap langkah dan waktu mereka hanya untuk Allah Swt.
Seperti Usamah bin Zaid, putra dari Zaid bin Haritsah ini mempunyai kedekatan emosional dengan Rasulullah saw. Ia diberi gelar Hubbu Rasulillah yaitu kesayangan Rasululah, karena ia adalah kesayangan dari putra kesayangan Rasul. Saat itu ia masih sangat muda. Di usia 15 tahun ia memenuhi panggilan jihad di perang Mu’tah. Itu merupakan peperangan pertamanya. Jihad merupakan ibadah yang memang tidak mudah. Keberanian, keimanan harus menancap kuat di dalam dada. Bagaimana tidak, jihad seakan adalah aktifitas mencari kematian yang sudah dijanjikan. Musuh pun sampai tak habis pikir ikhwal keberanian para tentara kaum muslimin ini.
Sebelumnya pun saat perang uhud berkecamuk, ia harus pulang kembali ke rumahnya dengan berlinangan air mata. Ternyata penyebabnya adalah ia tidak dapat berjihad dengan Rasululah saw karena masih terlalu kacil. Pada usia 17 tahun, Usamah diangkat oleh Rasulullah saw menjadi pemimpin pasukan bahkan harus memimpin para sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar dan sahabat yang lainya. Jadilah ia panglima perang termuda dalam sejarah Islam.
Begitulah kualitas anak yang dididik dengan keimanan, keseriusan dan bertarget. Selain mereka akan menjadi generasi pemimpin, generasi berkualitas dengan pendidikan yang mereka raih juga akan menjadi pemimpin masa depan.
Saat ini berbagai masalah yang menimpa anak-anak negeri terjadi di berbagai sisi. Namun belum terlambat jika semua secepatnya diperbaiki. Hal ini tentunya harus diselesaikan lewat tangan penguasa melalui kebijakannya. Jaminan pendidikan, kesehatan dan lainnya bukan hanya milik anak berprestasi, namun seluruh anak Indonesia berhak menerimanya. Oleh karenanya penguasa harus bersungguh-sungguh dalam mengurus urusan rakyatnya hingga tidak ada lagi rakyat yang menderita di bawah kepemimpinannya.
Wallahu alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar