Masa penerimaan mahasiswa baru telah tiba. Ada pelajar yang sudah diterima di perguruan tinggi impian. Ada yang masih berjuang dengan mengikuti berbagai ujian masuk. Ada yang memutuskan untuk gap year, dan ada juga yang memilih untuk tidak kuliah. Pada masa ini, calon mahasiswa diliputi perasaan campur aduk, ada rasa cemas sekaligus bahagia dan antusias menyambut jenjang pendidikan yang baru.
Namun di samping itu, ternyata banyak kisah-kisah miris yang menimpa para mahasiswa dan calon mahasiswa. Contohnya saja pada awal Juli lalu, di twitter viral kisah seorang calon mahasiswi yang bunuh diri setelah sebelumnya bernazar akan bunuh diri jika gagal diterima di PTN. Sedangkan pada 2020 lalu, seorang mahasiswa pada perguruan tinggi di Kalimantan yang nekat mengakhiri hidupnya karena sudah tujuh tahun tidak lulus kuliah, serta masih banyak kisah-kisah miris lainnya.
Kondisi kesehatan mental di kalangan akademisi memang mengkhawatirkan. Dilansir dari kompas.com, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Teddy Hidayat menyampaikan, berdasarkan survei yang dilakukan pada mahasiswa semester satu di salah satu perguruan tinggi di Bandung pada 2019, ditemukan 30,5% mahasiswa depresi, 20% berpikir serius untuk bunuh diri, dan 6% telah mencoba bunuh diri seperti cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri.
Secara umum, hal ini terjadi karena tekanan akademis, ketidakjelasan kelulusan, ancaman DO, faktor keuangan, hubungan dengan dosen, orang tua serta muda-mudi. Teddy menjelaskan bahwa 80-90% kasus bunuh diri berhubungan dengan gangguan mental emosional, terutama depresi. Ia menambahkan, hal ini merupakan bukti bahwa perguruan tinggi gagal dalam memberikan perlindungan dan keamanan mahasiswa.
Tekanan akademis muncul akibat sistem pendidikan saat ini yang hanya berorientasi pada materi, mahasiswa dituntut meraih standar nilai tertentu dan lulus dengan standar waktu tertentu pula tanpa dibekali dengan keimanan yang kokoh dan pemahaman qadha dan qadar yang benar. Akibatnya ketika mereka gagal meraih standar tersebut, jiwa mereka mudah terguncang hingga rentan depresi bahkan dapat berujung bunuh diri.
Dalam Islam, peserta didik dibekali dengan keimanan yang kokoh sejak dini sehingga ketika gagal dalam meraih sesuatu, ia tidak akan terpuruk terlalu dalam, segera bangkit dan tidak mungkin memilih jalan yang dimurkai Allah. Dengan pemahaman qadha dan qadar yang benar, mereka menyadari bahwa Allah lah yang menentukan hasil akan suatu hal sedangkan tugas manusia hanyalah berupaya optimal.
Selain itu, dalam Islam nilai bukanlah standar utama dan satu-satunya dalam proses belajar, perubahan pola pikir dan pola sikaplah output terpentingnya. Pelajar yang sukses adalah yang pola pikir dan pola sikapnya berubah menjadi lebih baik, karena hakikatnya ilmu adalah untuk diamalkan.
Faktor keuangan timbul akibat biaya pendidikan yang semakin mahal sedangkan beasiswa sangat terbatas. Dalam kondisi pendidikan saat ini, anak-anak kalangan menengah ke atas memiliki privilege untuk bisa mengenyam pendidikan di institusi pendidikan terbaik, sementara rakyat kurang mampu harus banting tulang demi bisa melanjutkan kuliah, tidak jarang mahasiswa nyambi kerja saat kuliah bahkan banyak yang terpaksa putus kuliah karena masalah biaya.
Sementara dalam Islam, negara punya kewajiban menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat, dari mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Negara Islam menjadikan pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh rakyat sebagai prioritas, sehingga tidak akan terjadi kondisi negara sibuk membeli gorden gedung pemerintahan sementara banyak rakyatnya yang putus sekolah. Rakyat tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk pendidikan. Pelajar dapat fokus menuntut ilmu tanpa dibayang-bayangi beban ekonomi.
Islam juga mengatur interaksi antar manusia. Dalam Islam, negara berkewajiban mengedukasi umat termasuk di dalamnya dosen, orang tua dan mahasiswa tentang interaksi yang baik dan beradab yang sesuai dengan koridor syara sehingga muncul rasa saling menghargai dan bertanggung jawab akan peran masing-masing. Di samping itu, sistem Islam memberikan gaji yang besar bagi tenaga pengajar. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar per bulan atau setara dengan Rp57.375.000.
Bahkan pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru di Madrasah Suyufiah dan Shalahiyyah berkisar antara Rp42.000.000-153.000.000. Dengan gaji yang memadai, tenaga pengajar dapat fokus untuk mendidik mahasiswa tanpa harus disibukkan dengan proyek-proyek lain di luar kampus demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam juga melarang interaksi laki-laki dan perempuan yang tidak sesuai syariat Islam, sehingga tidak akan ada aktivitas pacaran dan mesum lainnya di kampus yang selain diharamkan, juga banyak membawa dampak negatif dalam proses belajar. Kampus menjadi tempat yang bermartabat, tempat para intelektual fokus menuntut ilmu. Mahasiswa depresi akibat buruknya hubungan dengan dosen, orang tua dan sesama teman pun akan terminimalisir.
Masalah depresi di kalangan mahasiswa adalah masalah sistemik, buah dari penerapan sistem sekuler kapitalis. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan materi sebagai tujuan. Solusinya adalah dengan kembali pada sistem Islam, bukan hanya sekadar menerapkan sistem pendidikan Islam tapi haruslah sampai tataran negara, karena sistem pendidikan yang ideal harus ditopang dengan sistem ekonomi Islam, sistem pergaulan Islam, dan sebagainya.
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS al Maidah: 50).[]
0 Komentar