RKUHP atau Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah bentuk pembaharuan KUHP yang merupakan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. RKUHP seharusnya menjadi solusi hukum bagi masyarakat, namun ternyata malah menimbulkan persoalan baru.
Dilansir wartakota.tribunnews, 01/08/2022, DPRD Kota Bogor secara resmi mengirimkan surat kepada DPR-RI dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terkait tuntutan dari tiga aliansi BEM di Kota Bogor, yang mengkritisi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). BEM se-Bogor menuntut Presiden dan DPR-RI untuk membahas kembali pasal-pasal bermasalah yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Serta mendesak pemerintah untuk segera menghapus pasal-pasal yang bertentangan dan mengancam HAM dalam negara demokrasi.
Tuntutan yang dilayangkan oleh tiga aliansi BEM se-Kota Bogor ini bukanlah tanpa sebab. Karena adanya RKUHP menjadi bukti nyata bahwa pemerintah ingin membungkam aspirasi mahasiswa yang notabene bagian dari rakyat. Aksi demo yang seringkali dilakukan oleh mahasiswa untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang membuat hidup rakyat semakin sulit, nampaknya membuat penguasa negeri ini jengah.
Di dalam RKUHP terdapat beberapa pasal yang dapat menimbulkan multitafsir dan menjadi pasal karet yang bisa ditarik sesuai dengan kepentingan pemerintah. Hal ini disinyalir dapat mengancam ruang kebebasan masyarakat yang semakin sempit. Di antaranya membungkam kebebasan sipil, kebebasan berekpresi, berpendapat dan kebebasan pers.
Di antaranya pasal 218 dan 219 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah, pasal 253 dan 254 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, Pasal 439 tentang pencemaran nama baik dan pasal 446 tentang pencemaran orang mati, serta pasal 273 yang membebankan pidana penjara atau denda atas pawai, unjuk rasa atau penyelenggaraan demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang akan mengganggu kepentingan umum, kerusuhan dan keresahan masyarakat.
Pasal-pasal di atas dapat membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat serta rawan dimanipulasi untuk menekan pihak yang kritis terhadap pemerintah. Padahal, hak kebebasan berekspresi dan berpendapat telah diatur dalam pasal 19 dan pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Dan adanya RKUHP ini jelas-jelas melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1988 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
Keberadaan RKUHP ini menjadi tameng pemerintah untuk mengamputasi sikap kritis mahasiswa dan masyarakat yang selalu saja bersebrangan dengan aturan yang ditetapkan oleh pemangku kebijakan di negeri ini. Padahal, sistem demokrasi yang mereka usung telah memberi kebebasan berekspresi dan berpendapat kepada siapa pun. Namun, munculnya RKHUP ini telah terbukti nyata melanggar sistem demokrasi dan HAM yang mereka agung-agungkan.
Hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diusung oleh sistem demokrasi, bukan diperuntukan bagi rakyat melainkan untuk pemerintah dan para pejabatnya. Sehingga mereka menggunakan undang-undang sebagai 'tangan besi' untuk membasmi sikap kritis masyarakat. Hal ini dilakukan oleh penguasa yang bertahta hari ini. Agar rakyat tunduk dan patuh terhadap setiap kebijakan dan undang-undang yang telah disahkan oleh negara. Tanpa mempedulikan apakah undang-undang tersebut akan menzalimi rakyat dengan mengambil hak rakyat atau tidak.
Inilah potret ketidakadilan yang diwujudkan dalam sistem demokrasi. Slogan "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" hanyalah lip service belaka. Suara rakyat hanya dibutuhkan jika pemilu sedang berlangsung, dengan mengumbar janji-janji palsu yang tak kunjung terwujud. Setelah itu, suara rakyat tidak dibutuhkan lagi dan justru diberikan ancaman berupa undang-undang hukum pidana bagi rakyat yang kritis dan berani menyampaikan pendapat yang bertolak belakang dengan keinginan pemerintah.
Tentu hal ini tidak bisa didiamkan begitu saja. Sikap kritis masyarakat yang diwakili oleh mahasiswa adalah sebagai bentuk kepedulian terhadap bangsa ini demi masa yang akan datang. Sikap kritis mahasiswa sebagai garda terdepan agent of change inilah yang akan diharapkan akan membawa sebuah perubahan besar dan mendasar bagi negara ini agar menjadi lebih baik.
Krisis multidimensi yang mendera bangsa ini telah mengakibatkan kemiskinan dan kesengsaraan. Ini menjadi balada keseharian masyarakat yang hidup dalam naungan sistem demokrasi sekuler. Harus ada upaya yang mendasar dan revolusioner untuk mengeluarkan negeri ini dari kemelut kemiskinan dan krisis yang berkepanjangan. Perubahan revolusioner haruslah berlandaskan pada mabda (ideologi) Islam yang sahih, karena berasal dari zat pencipta semua makhluk yang hidup di muka bumi ini.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang mengekang kebebasan berpendapat, dalam sistem Islam (khilafah) rakyat boleh menyampaikan pendapat dalam konteks menasehati dan mengoreksi penguasa. Aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban, apalagi jika ditujukan kepada penguasa (muhasabah lil hukkam). Hal ini menjadi kewajiban bagi setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan.
Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar ini pun termaktub dalam undang-undang yang menjadi bagian dari syariat Islam. Apalagi jika menyangkut mengoreksi penguasa yang lalai atau melakukan kekeliruan. Salah satu hadis yang mendorong untuk mengoreksi penguasa adalah hadis dari Tamin al-Dari ra., bahwa Nabi Saw. bersabda, ”Agama itu adalah nasihat” Para sahabat bertanya, ”Untuk siapa?” Nabi Saw. bersabda,”Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya” (HR Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).
Di sisi lain, Rasulullah Saw. sangat memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim. Yakni dengan berani mengoreksi kesalahan penguasa dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Nabi Saw. bersabda: ”Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud An Nasai dan Al Hakim).
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abd al-Muthalib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya” (HR Al-Hakim).
Hadis di atas menunjukkan keutamaan mengoreksi penguasa dan menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim. Orang yang terbunuh ketika melakukan aktivitas mengoreksi penguasa bahkan disebut sebagai penghulu syuhada (pemimpin orang-orang yang mati syahid). Karena penguasa dalam Islam memiliki tanggung jawab dan amanah yang besar untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara kafah dalam seluruh lini kehidupan masyarakat. Selain itu, baik dan buruk penguasa menjadi penentu baik dan buruknya sebuah masyarakat.
Dengan aktivitas amar am’ruf nahi munkar inilah maka penguasa (Khalifah) bisa menjalankan tugasnya sesuai ketentuan syariat. Seperangkat hukum dalam Islam juga menjadi pelengkap terlaksananya aktivitas yang disebut sebagai afdhal jihad (keutamaan jihad). Dan bisa mencegah penguasa dari kesalahan atau kezaliman. Semua ini dilakukan semata-mata ingin mendapatkan keberkahan dan pahala dari Allah Swt.
Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar ini harus senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat agar terhindar dari kebinasaan akibat hawa nafsu manusia. Aktivitas mulia ini hanya mampu diwujudkan dalam kehidupan Islam. Oleh karena itu, untuk mengembalikannya ke tengah kehidupan manusia maka harus menyingkirkan sistem rusak yang menjadi tatanan kehidupan yang kita jalani saat ini. Selanjutnya menggantikan dengan sistem mulia dalam naungan khilafah. Sistem yang bersumber dari zat yang maha baik yang menginginkan umat manusia hidup dalam kebaikan, keberkahan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Wallahua’lam.
Penulis : Siti Rima Sarinah
0 Komentar