Muaragembong, Wilayah Pesisir Yang Terisolir



Sebagai Negara Maritim Indonesia memiliki cakupan wilayah yang cukup luas demikian pula implikasinya memiliki pantai terpanjang di dunia. Sangat wajar jika pemerintah memberikan prioritas pada upaya untuk meningkatkan pembangunan wilayah pantai.

Potensi yang luar biasa bagi warganya untuk mendapatkan penghasilan dari laut seperti, mutiara, rumput laut, ikan segar dan berbagai macam olahan ikan serta potensi budidaya perikanan lainnya. Akan tetapi nasib nelayan masih banyak yang memprihatinkan alias miskin. Kondisi ini disebabkan rendahnya  kualitas sumberdaya manusia yang masih terbelakang karena rendahnya kualitas pendidikan dan ketrampilan dalam pengembangan usaha, sarana prasarana fasilitas, kondisi alam, infrastruktur dan tak ketinggalan menjadi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak menguntungkan nelayan.

Misi Nawacita yang digagas oleh Presiden Jokowi menjadikan laut sebagai masa depan bangsa dan mengelola sumber daya kelautan dan perikanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bak slogan yang menyakiti hati nelayan.

Di wilayah Muaragembong, Kabupaten Bekasi contohnya, para nelayan mengeluhkan nasibnya. Hal ini lantaran mata pencarian mereka terancam dengan banyaknya puluhan kapal berukuran besar yang menggunakan pukat harimau dan memasuki perairan dangkal. Keberadaan kapal-kapal besar itu sudah ada sejak beberapa tahun terakhir. Tidak hanya satu, bahkan dia menyebut lebih dari 50 kapal besar yang setiap hari berbaris di perairan dangkal Muaragembong. Sedangkan nelayan lokal hanya menggunakan kapal jenis ketinting. Hal ini membuat Nelayan lokal hanya mendapat sisa sisa saja.

Keberadaan kapal-kapal besar merupakan hasil produk kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Cerminan dari rencana pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Permen-KP tentang penerapan sistem kontrak di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI). Permen ini merupakan
salah satu bentuk operasionalisasi dari PP 85/2021 dan PP 27/2021 yang merupakan
turunan UU Cipta Kerja No 11/2020. Tujuannya, mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan target mencapai Rp 12 triliun di tahun 2024.

Ironisnya, rencana penerapan sistem kontrak tersebut, WPP-NRI membuka peluang dikontrakkan kepada korporasi asing atau dengan melakukan kemitraan dengan perusahaan nasional (badan usaha swasta nasional dengan penanaman modal asing/PMA). Nantinya kapal ikan asing yang diberi izin atau lisensi termasuk dimigrasikan menjadi kapal ikan berbendera Indonesia, bebas berkeliaran dan
mengeruk kekayaan laut kita.

Kertas Kerja Kebijakan ini secara umum bertujuan untuk memberikan pandangan alternatif tentang tata kelola perikanan nasional yang memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945. Secara khusus, Kertas Kerja ini memberikan catatan kritis dan rekomendasi kebijakan alternatif terhadap rencana kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang turut mengatur kuota dan sistem kontrak dalam usaha penangkapan ikan di WPP-NRI.

Paham Neoliberalisme sebagai metamorfosis kapitalisme global telah memposisikan dirinya sebagai paham hegemonik dalam semua aspek kehidupan dan telah merasuki tata kelola dan pemanfaatan kelautan dan perikanan dunia termasuk di Indonesia. Paham ini mengalienasi peran negara dalam tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya kelautan  dan perikanan, mulai dari proses penangkapan, pengolahan, perdagangan, pengelolaan wilayah pesisir, hingga pengambilan keputusan dalam penyusunan kebijakan (Koalisi NGO untuk Kelautan dan Perikanan yang Adil dan Berkelanjutan (KORAL) 2022)).

Persoalan ditambah dengan kenaikan harga berbagai jenis BBM, juga ketersediaan BBM jenis solar ini makin langka. Di Muaragembong tidak ada SPBU, selama ini para nelayan membeli BBM bersubsidi dan pertalite dari daerah Batujaya Karawang. Sedang di sisi lain ditemukan adanya timbunan solar bersubsidi di Muara gembong yang dibeli oleh oknum di SPBU Batujaya, Kabupaten Karawang untuk diselewengkan rantai distribusi ke wilayah lain seperti Cilincing Jakarta. Sangat miris sekali. Kesusahan warga justru dijadikan peluang bagi oknum-oknum tidak bertanggungjawab untuk tetap mengeruk keuntungan.

Di Desa Pantai Bahagia saja, ada 1.500 nelayan yang pendapatannya menurun drastis lantaran tidak bisa melaut pasca terjadinya kelangkaan BBM bersubsidi ini . Pihak Sekretaris Desa Pantai Bahagia Ahmad Qurtubi sudah mengajukan surat permohonan pembangunan SPBU khusus untuk nelayan kepada Dinas Pertanian, Pemkab Bekasi, dan BP Migas yang rencananya berlokasi di Desa Pantai Bahagia atau Desa Pantai Mekar namun hingga kini belum terealisasi. Lambannya tindakan yang diambil Pemerintah dikarenakan sudut pandang yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan di atas adalah azaz manfaat, wilayah Muaragembong dianggap kurang “marketable” untuk dibangun insfrastruktur meskipun sebenarnya  masyarakat, terutama para nelayan disana sangat membutuhkan.

Pembangunan infrastruktur masih sebatas menopang akses jalan yang menopang roda ekonomi industri. Sementara melupakan keamanan dan kenyamanan masyarakat pesisir.

Pemikiran Asas Manfaat yang dijalankan Pemerintah tersebut  lahir dari ide sekuler-kapitalis.
Selain itu pemikiran yang berdasarkan asas manfaat ini telah meresap dalam pemahaman para penguasa sehingga  mempengaruhi dalam sistem pelayanan kepada mereka. Warga yang memiliki potensi ekonomi tinggi, kaum pengusaha, pemilik modal akan lebih diprioritaskan dalam pelayanan. Setiap pelayanan jasa, infra struktur dikaitkan dengan untung rugi. Tanggung jawab menangani masalah sosial dan memberikan jaminan sosial diserahkan kepada masyarakat/swasta. Peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya bukan sebagai pelayan rakyat, tetapi sekadar sebagai regulator semata.

Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang menyeluruh, sistemik  bukan solusi secara parsial.

Solusi yang menyeluruh adalah yang berasal dari sistem Islam, Islam sudah mengatur dengan jelas tanggung jawab Penguasa. Sistem Politik Ekonomi Islam bukan wacana semata tapi sudah pernah terbukti mengentaskan kemiskinan.

Oleh karena itu yang sangat dibutuhkan saat ini adalah kepemimpinan Islam. Yang akan menyelesaikan persoalan-persoalan umat, yang akan menyelesaikan kesejahteraan umat.

Sistem pemerintahan Islam menjadikan penguasa bertugas melakukan pengurusan (ri’ayah) seluruh urusan rakyat. Artinya, penguasa dengan segala kewenangan yang ada padanya harus berusaha sekuat tenaga untuk mensejahterakan kehidupan rakyat. Karena semua itu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

Abdullah bin Umar pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Imam (penguasa) adalah pelayan rakyat; dia bertanggungjawab atas rakyat yang dilayaninya.” (HR al-Bukhari).

Oleh karena itu, negara berkewajiban menjamin tercapainya semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat secara keseluruhan. Selain itu juga jaminan yang memungkinkan bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Wallahu a'lam bish showwab


Penulis : Sari Chanifatun


Posting Komentar

0 Komentar