Komisi III DPRD Kota Bogor menyimpulkan bahwa perlu ada evaluasi dan monitoring bagi penanggulangan bencana di Kota Bogor. Berdasarkan hasil rapat dengan mitra kerja, Iwan Iswanto, Ketua Komisi III DPRD Kota Bogor, secara tegas meminta Pemerintah Kota Bogor untuk segera melakukan pembaruan pemetaan daerah rawan bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana yang terpadu serta penyelesaian pasca bencana.
Iwan menambahkan bahwa penanganan bencana di Kota Bogor juga harus cepat dan tepat, sesuai dengan amanat Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, sambung Iwan, maka kehadiran BPBD dan organisasi lainnya yang bergerak dibidang kebencanaan perlu lebih ditingkatkan lagi.
Sedangkan untuk penanggulangan pasca bencana, Iwan berharap birokrasi penggunaan anggaran Bantuan Sosial Tidak Terduga (BSTT) bisa dipermudah lagi. Sebab, warga yang terdampak bencana tentunya perlu bantuan yang cepat untuk menutupi kebutuhannya.
Penanggulangan bencana memang harus tanggap, sigap, cepat dan tepat. Karena ini menyangkut nyawa manusia dan hajat hidupnya. Jika tidak, pasti banyak nyawa tak terselamatkan, banyak hajat hidup yang terlantar dan berdampak buruk bagi kesehatan baik fisik maupun psikis.
Sebagai kota dengan banyak ulama terkenal hingga mancanegara seperti KH Abdullah bin Nuh, Mama Falaq dan KH Sholeh Iskandar, maka sudah menjadi suatu kewajaran bagi Kota Bogor jika merujuk kepada Islam dalam menangani penanggulangan bencana. Standar penanganan yang tanggap, sigap, cepat dan tepat ini bisa kita standardisasi dengan Islam.
Dalam Islam, institusi yang menangani penanggulangan bencana masuk ke dalam struktur pemerintahan Departemen Kemashalahatan Umum. Departemen ini bergerak dalam paradigma pelayanan: cepat dalam merespon dan bertindak, sederhana dalam birokrasi, serta pekerjaan itu ditangani oleh orang yang mampu dan profesional.
Paradigma ini menjadi landasan strategi Departemen Kemaslahatan Umum ketika melaksanakan tugas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, Departemen ini berada dalam pengayoman kebijakan yang diterapkan Khalifah. Dalam hal ini, Khalifah sadar betul akan posisinya sebagai imam yang bertanggung jawab mengurus seluruh urusan rakyatnya. Selain itu, Khalifah juga sadar betul bahwa amanahnya ini akan diaudit langsung oleh Allah Swt. di hari akhir nanti.
Penanganan bencana memang bukan hanya penanganan korban saja. Seperti evakuasi, pemberian bantuan sosial dan pelayanan trauma healing. Tapi harus dipastikan sebuah strategi hingga bencana bisa dihindari. Untuk penanggulanganbencana, khilafah memiliki kebijakan yang canggih dan efisien. Kebijakan itu setidaknya bisa disajikan dalam 3 level.
Pertama, level teknis mekanis dengan memanfaatkan canggihnya teknologi. Misal untuk penanganan banjir. Jika ia disebabkan oleh rendahnya daya tampung air, maka Khilafah akan membuat bendungan-bendungan yang canggih. Bayangkan, Pada tahun 370 H/960 M, Buwayyah Amir Adud al-Daulah membuat bendungan hidrolik raksasa di sungai Kur, Iran. Insinyur-insinyur yang bekerja saat itu, menutup sungai antara Shiraz dan Istakhir, dengan tembok besar (bendungan) sehingga membentuk danau raksasa. Di kedua sisi danau itu dibangun 10 noria (mesin kincir yang di sisinya terdapat timba yang bisa menaikkan air). Dan setiap noria terdapat sebuah penggilingan. Dari bendungan itu air dialirkan melalui kanal-kanal dan mengairi 300 desa. Di daerah sekitar 100 km dari kota Qayrawan, Tunisia, dibangun dua waduk yang menampung air dari wadi Mari al-Lil. Waduk kecil difungsikan sebagai tangki penunjang serta tempat pengendapan lumpur. Sedangkan waduk besar memiliki 48 sisi dengan beton penyangga bulat di setiap sudutnya berdiameter dalam 130 meter, kedalaman 8 meter.
Selain itu khilafah akan melakukan pemetaan daerah rawan bencana dengan mengerahkan ilmuwan yang ahli geospatial guna meminimalisir penyebab bencana yang berkaitan dengan perusakan lingkungan. Lalu mengembangkan teknologi early warning seperti halnya negara Jepang guna menghadapi bencana gempa dan tsunami. Selain membangun sarana dan prasarana lain seperti pembuatan kanal dan memperbanyak daerah resapan air.
Kedua, dalam level kebijakan. Khilafah akan menerapkan kebijakan yang tepat mengenai tata ruang. Khilafah harus memiliki master plan dalam pembangunan pemukiman dan bangunan lain dengan menyertakan variabel tanggap bencana. Misal, pembukaan pemukiman atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase.
Khilafah tak akan memberikan izin pendirian bangunan jika itu membahayakan. Ketetapan ini merupakan implementasi kaidah ushul fikih al-dlararu yuzaalu (bahaya itu harus dihilangkan). Khilafah juga akan memberi sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pernah pandang bulu.
Namun, sebaliknya jika dikaji pendirian bangunan itu tidak terdapat indikasi membahayakan. Khilafah akan memberikan kemudahan birokrasi bagi siapa saja yang akan mendirikan bangunan. Bahkan, biaya birokrasinya pun bisa gratis.
Dalam kebijakan penanganan bencana, khilafah pun bisa membentuk suatu badan khusus yang menangani bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Selain dilengkapi dengan peralatan canggih, petugas-petugas lapangan juga dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (search dan rescue), serta keterampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat, dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
Khilafah bisa memproteksi daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu.
Yang tidak kalah penting, Khilafah akan senantiasa menanamkan pola hidup bersih dan ramah lingkungan bagi warganya. Ketetapan bukan semata ditanamkan karena manfaatnya saja. Tapi dipastikan bahwa masyarakat terutama yang muslim menyadari bahwa pola hidup bersih dan memelihara lingkungan adalah ketetapan syariat.
Untuk tanah-tanah yang mati pun digalakkan oleh Khilafah untuk dihidupkan dan dikelola agar produktif. Sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh.
Terakhir, ketika bencana terjadi, Khilafah akan bergerak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan lokasi bencana, juga tim khusus yang selalu siap sedia setiap terjadi khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, ataupun tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan nasihat-nasihat menggugah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt.
Untuk pendanaan, tak perlu juga proses berbelit hingga harus menadahkan tangan kepada luar negeri. Atau malah mengandalkan donasi rakyat yang kadang bergerak lebih cepat dibanding negara seperti saat ini. Dalam sistem khilafah, semua pendanaan diatur dalam Baitulmal. Dan proses birokrasinya pun mudah, hanya ada legislasi dari Khalifah saja. Tak perlu rapat panjang atau menunggu tahun anggaran tahun depan.
Inilah penanggulangan bencana dalam sistem Islam yakni khilafah. Sebuah formulasi tanggap bencana yang komprehensif dan mengakar. Karena tidak hanya mengandalkan pada langkah-langkah rasional, tapi juga dilandasi akidah serta dibimbing hukum syarak. Insyaallah, inilah cara penanggulangan bencana yang efektif, tanggap, sigap, cepat dan tepat yang hanya mampu diwujudkan dalam sistem khilafah. Oleh karena itu penegakan khilafah merupakan hal yang urgen.
Oleh : Rini Sarah
0 Komentar