Akhir-akhir ini kita kembali diperlihatkan antrian panjang kendaraan baik roda dua maupun roda empat di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Antrian di SPBU bukan kali pertama terjadi, bahkan sudah menjadi pemandangan yang lazim di kala harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik ataupun langka. Saat ini, harga BBM yang bisa dijangkau oleh masyarakat adalah pertalite. Pertalite seakan menjadi primadona karena harganya yang murah dibandingkan harga BBM yang lainnya.
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba pertalite di Kota Bogor menghilang alias langka di pasaran. Apa benar stok pertalite habis? Dilansir pada Tribunnews.com 9 Agustus 2022, Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Barat, menyampaikan adanya peningkatan permintaan masyarakat terhadap BBM jenis pertalite, sehingga mengalami kekosongan pasokan di beberapa SPBU di wilayah Bogor.
Irto Ginting selaku Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga mengungkapkan, kekosongan stok pertalite terjadi akibat keterlambatan pengiriman di tengah konsumsi bahan bakar yang meningkat beberapa bulan terakhir. Stok pertalite secara nasional aman untuk 18 hari kedepan, untuk mencukupi kebutuhan stok di SPBU.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan memprediksi bahwa kelangkaan bahkan kekosongan BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi pada Oktober mendatang. Sebelumnya Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengungkapkan konsumsi BBM jenis pertalite tahun ini akan diproyeksikan mencapai 28 juta kiloliter (kl). Sementara kuota yang sudah ditetapkan pemerintah hanya 23,05 juta kl, sehingga diperkirakan hanya bertahan hingga September 2022. PT Pertamina mencatat sampai Juli 2022, kuota oertalite tersisa 6,2 juta kl dan solar bersubsidi tersisa 5,1 juta kl.
Situasi ini akan terjadi jika pemerintah tidak melakukan penambahan kuota terhadap pertalite dan solar bersubsidi. Sudah banyak antrian panjang dan ramai di media sosial dan hal ini akan sangat mengguncang dari sisi sosial dan politik. Pasalnya sebagian besar masyarakat terutama yang menggunakan kendaraan bermotor dan angkutan umum menggunakan pertalite dan solar bersubsidi. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian dan tetap melaksanakan aktivitas ekonomi. (sindonews.com, 15/08/2022)
Sebagai langkah antisipasi, Presiden Jokowi menyatakan telah mengucurkan subsidi energi sebesar Rp 502 triliun, untuk menahan harga BBM jenis pertalite dan solar bersubsidi di masyarakat agar tidak melambung tinggi. Pemberian subsidi tersebut dilakukan di tengah surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 106 triliun. (sindonews.com, 16/08/2022)
Kelangkaan ini tentu akan menuai berbagai persoalan baru di tengah masyarakat. Salah satunya masyarakat harus membeli BBM jenis lain yang harganya tentu lebih mahal dari pertalite. Pertalite baru diluncurkan pada tahun 2015 dan mengalami kenaikan pesat pada periode Januari-Juni 2016. Menurut Pertamina penggunaan pertalite sebagai upaya mengalihkan pengguna premium yang dibuat secara bertahap untuk menghapus premium dan solar dari pasaran. (detikfinance, 28/06/2016)
Kelangkaan BBM ini akan terus berlanjut, menjadi bagian dari babak kehidupan di negeri yang memiliki sumber energi terbesar di dunia. Aneh tapi nyata, namun inilah fakta yang terjadi saat ini. Solusi yang diambil untuk mengantisipasi kelangkaan BBM pun tak menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Solusi tambal sulam senantiasa menjadi senjata ampuh yang seakan menjadi “pil penghilang rasa sakit” yang bersifat sementara.
Kelangkaan atau kekosongan BBM ini akan berimbas pada kenaikan harga atau pengalihan BBM ke jenis lain yang harganya lebih mahal. Agar masyarakat mau memaklumi kebijakan ini, pemerintah mengungkapkan berbagai dalih, seperti anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan harga minyak dunia yang mengalami kenaikan. Namun anehnya jika harga minyak dunia sedang turun, tidak berpengaruh pada harga BBM yang tetap saja mahal. Tidak ada dalam kamus di negeri ini, harga BBM mengalami penurunan.
Pemberian BBM bersubsidi juga menjadi sogokan pemerintah kepada rakyat yang tidak mampu. Tentu kita masih ingat kebijakan my pertamina, pemberian BBM bersubsidi kepada masyarakat agar tepat sasaran. Tetapi justru keberadaan my pertamina sulit untuk diakses oleh masyarakat yang tidak memiliki fasilitas yang menunjang untuk mendapatkan BBM bersubsidi tersebut.
Siapakah pihak yang paling diuntungkan dengan kondisi kelangkaan atau kekosongan BBM ini? Tentu saja, para korporasi menjadi pihak yang paling diuntungkan. Pasalnya, pertamina dan bisnis migas tanah air sesungguhnya tak lepas dari adanya upaya intervensi asing yang masuk melalui regulasi yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bahkan regulasi ini berlangsung mulai dari sektor hulu (eksplorasi) hingga sektor hilir yakni dengan diizinkannya perusahaan asing mendirikan SPBU.
Selama ini, pertamina merupakan pemain tunggal dalam penjualan BBM. Melalui UU Migas, pemerintah menghadirkan kompetitor baru dalam bisnis migas dengan syarat yang relatif mudah. Keberadaan UU Migas yang kental dengan aroma liberalisasi telah mengundang para investor untuk masuk dan ikut menentukan harga BBM. Walhasil, lagi-lagi rakyatlah yang mendapatkan imbas dari adanya liberalisasi migas.
Sementara itu, negara sebagai institusi berwenang dengan sukarela menyerahkan pengelolaan sumber migas dan pendistribusiannya kepada korporasi. Negara hanya memosisikan diri sebagai regulator. Inilah bukti nyata negara yang tunduk di bawah sistem kapitalis liberal. Negara berlepas tangan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk kebutuhan akan BBM. Inilah kebatilan sistem yang mendewakan materi di atas segalanya.
Paradigma kapitalisme ini sangat bertolak belakang dengan sistem Islam yang diterapkan secara komprehensif dalam negara khilafah. Dalam Islam, BBM termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara secara mandiri dan independen. Negara pun mendistribusikan hasilnya secara adil dan merata kepada seluruh individu rakyat tanpa melihat status sosialnya. Sehingga dalam sistem Islam tidak dikenal jenis BBM bersubsidi dan nonsubsidi. Karena semua jenis BBM hakikatnya bersumber dari kepemilikan umum yang artinya seluruh rakyat mendapatkan hak yang sama.
Kesempurnaan Islam dengan seperangkat aturannya telah membuktikan rakyat hidup makmur dan sejahtera hingga berabad-abad lamanya. Tak ada celah sedikit pun bagi pihak swasta untuk intervensi dan mengambil keuntungan terhadap hajat rakyat, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis liberal.
Dalam pengelolaan dan pendistribusian kepemilikan umum, khilafah hadir untuk melindungi kepentingan umat dan tidak terbersit sedikit pun untuk mengambil keuntungan kecuali biaya produksi yang memang dibutuhkan. Rasulullah Saw. bersabda, "Tidaklah seseorang diserahi oleh Allah untuk mengurus rakyat lalu dia mati dan di hari saat kematiannya dia menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga untuknya” (HR Muslim).
Kepemimpinan yang berbekal keimanan dan ketakwaan inilah, yang menjadikan penguasa dalam Islam dengan sepenuh hati mengurusi urusan rakyatnya, dan sangat memahami kosekuensi apabila mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pelayan bagi umat. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat menjadi fokus dalam periayahan rakyat. Rakyat tidak akan dibiarkan hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan di tengah melimpahruahnya harta milik umum (rakyat).
Sosok pemimpin sebagai pelindung dan pelayan rakyat inilah yang seharusnya hadir di tengah-tengah rakyat saat ini. Namun, sangat mustahil apabila sistem batil nan rusak (sistem kapitalis liberal) masih berdiri kokoh mencengkeram dan menguasai kekayaan negeri-negeri muslim. Hanya ada satu solusi untuk keluar dari kemelut persoalan akibat sistem yang bersumber dari lemahnya akal manusia, yaitu mengembalikan Islam dalam naungan khilafah dan membabat habis sistem kapitalis hingga ke akar-akarnya. Agar rakyat bisa kembali merasakan hakikat kehidupan sesungguhnya. Kehidupan yang bahagia, makmur dan sejahtera. Wallahua’lam.
Oleh :Siti Rima Sarinah
0 Komentar