Riuh Rendah Tahun politik 2024 Kian Memanas

 



Kontestasi pemilu seolah menjadi masalah terbesar negeri ini di tengah carut marutnya penanganan kesejahteraan rakyat. Walaupun masih dua tahun lagi perhelatan itu terjadi, namun para politisi sepetinya sudah tidak sabar dengan waktu yang masih relatif lama tersebut. Simak saja hajatan pernikahan putri gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kemarin yang menjadi tempat konsolidasi dan pertemuan para elit partai politik membentuk koalisi.


Selain itu, sinyalemen kebebasan HRS akan digadang-gadang memunculkan dikotomi antara umat Islam dan nasionalis. Memang benar Kuasa hukum eks pentolan FPI Rizieq Shihab, Aziz Yanuar mengatakan kecil kemungkinan kliennya bersikap netral pada Pilpres 2024 mendatang (CNNIndonesia,24/7/2022).


Jadi pasti nanti beliau akan menetapkan diri memilih yang mana, hanya sampai saat ini belum ada keputusan apa-apa. Dari sini bahasan politik identitas mencuat lagi dan sekali lagi politik identitas ini diarahkan kepada Islam. Hal ini tentu menjadikan identitas Islam menjadi sebuah aib yang tidak boleh terlibat dalam politik. Bahkan di beberapa media, Agus Harimurti Yudhoyono, politisi demokrat, mengingatkan bahwa ada 3 bahaya yang akan merusak proses demokrasi pada pemilu 2024 yakni politik uang, politik identitas dan hoax (black campaign).


Sebenarnya apa itu politik identitas? dikutip dari Wikipedia.org, politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.

Dikutip dari laman kuliahdimana.id, Istilah “politik identitas” pertama kali dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974.


Politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton daripada nilai strategis perbedaan. Kalau didefinisikan dalam kalimat sederhana, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin, atau agama tertentu ini membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka.


Gerakan feminis, gerakan hak-hak sipil merupakan contoh dari pengorganisasian politik semacam ini. Politik identitas diyakini sebagai “politik paling mendalam dan berpotensi paling radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain.”


Jadi jelas disini bahwa sejatinya kemunculan politik identitas itu bukan dari Islam dan tidak ada hubungannya dengan Islam. Kalau seandainya umat Islam dalam aktifitas politiknya lebih mendukung dan memilih calon dari kalangan umat Islam adalah hak asasinya dalam berpolitik, dan dia melakukan itu karena didorong satu kepentingan, satu pemahaman dan satu keyakinan yakni Islam. Jadi seharusnya tidak diperkarakan, bahkan dicap merusak demokrasi. Karena memilih dan dipilih itu hak warga negara.


Penyerangan isu politik identitas kepada umat Islam sejatinya muncul karena kontestasi politik saat dan menjelang pemilu, dan selalu muncul ketika pemilu dan pilkada. Fakta ini seolah menunjukkan ada pihak-pihak yang khawatir calon-calonnya terjegal hanya karena isu agama dan keyakinan padahal politik identitas itu tidak hanya terkait agama. Ada juga kesamaan ras, etnis dan jenis kelamin yang digunakan para caleg untuk mengambil hati rakyat.


Sangat wajar kiranya terjadi perbedaan pilihan sesuai standarisasi dan ukuran masing-masing orang. Lagipula, bukannya demokrasi seharusnya mengampu dan menghormati pilihan masing-masing orang. Dengan salah satu paham kebebasan berpendapat khas ala demokrasi harusnya apapun yang dipilih umat Islam di negeri Mayoritas Islam ini hal yang biasa, mengapa mesti diperkarakan? Jadi, akan berafiliasi kemana termasuk akan memilih dan dipilih di pemilu 2024 nanti semua tergantung kepada masing-masing individu rakyat.


Sayangnya, kondisi seperti ini tidak berlaku bagi umat Islam. Umat Islam selalu jadi bulan-bulanan opini dan isu penyulut perpecahan dalam aktivitas politik demokrasi, seolah sumber masalah itu dari Islam. Padahal Islam dengan syariatnya mengajarkan pengaturan hidup manusia secara menyeluruh dari masalah pribadi, masyarakat sampai negara semua lengkap diatur oleh Islam. Hal itu karena Islam bukan hanya agama ritual seperti agama-agama lainnya. Islam adalah way of life, jalan hidup bagi umat manusia yang memahami hari perhitungan di kehidupan akhirat nanti. Sehingga sangat wajar jika Islam menjadi prioritas dalam hidup seorang muslim, bukan hanya kepentingan politik sesaat saja.


Sementara demokrasi yang lahir dari asas hidup sekulerisme, yakni pemisahan agama dalam kehidupan akan cukup gerah dengan membawa-bawa Islam dalam urusan publik, karena agama menurutnya adalah urusan domestik. Maka, sejatinya demokrasi dan Islam sangat mustahil untuk disatukan karena memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Hal ini karena muncul dalam konsep hidup dan asas yang bertentangan, demokrasi merupakan muncul dari ideologi sekulerisme-kapitalistik (memisahkan agama dalam kehidupan) yang merupakan buatan manusia.


Sementara Islam berasal dari Allah SWT Sang Pencipta manusia, Sang Pencipta dan Pengatur manusia, Dzat yang Maha tahu kebutuhan manusia di dunia dan di akhirat. Allah SWT telah mengingatkan melalui firman-Nya dalam Al Quran yang artinya: “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Surah al-Maidah [5]: 50).


Wallahualam bishawab.


Oleh Hanin Syahidah 



Posting Komentar

0 Komentar