Siapa yang tak kenal sosok Salahuddin al Ayyubi yang di Barat dikenal dengan Saladin? Pemuda Irak kebanggaan suku Kurdi. Pembebas Baitul Maqdis dari pasukan Salib pada 583 H/2 Oktober 1187 M. Dalam sejarah dikatakan bahwa Baitul Maqdis telah dua kali dibebaskan, yang keduanya oleh pemimpin Islam, yaitu Khalifah Umar (637 M) dan Salahuddin Al Ayubi (1187 M).
Salahuddin dilahirkan dari kalangan ‘ajam (nonArab) pada tahun 1138 M di Kota Tikrit, Irak, yang terletak antara Baghdad dan Mosul. Ayahnya bernama Najmuddin Ayyub. Salahuddin saat hidupnya dikelilingi oleh orang hebat dan dari generasi yang juga hebat.
Sebelum Salahuddin Lahir
Menurut sejarahnya, keberadaan Daulah Khilafah memang mengalami pasang surut. Dalam kurun waktu cukup lama, kaum muslimin hidup dalam keadaan aman, tenteram dan maju dalam hal ilmu pengetahuan di bawah bani Abbasiyah. Namun kenyamanan ini justru membuat mereka lalai, termasuk dari perhatiannya terhadap daerah perbatasan Daulah. Padahal posisi daerah perbatasan sangatlah rawan.
Pada masa Salahuddin, Daulah Khilafah sedang dalam keadaan lemah. Perhatian Daulah pada daerah perbatasan sangat kurang, termasuk terhadap Tirkit, tempat kelahiran Salahuddin. Daerah Syam juga mengalami hal yang sama, kurang mendapat perhatian dari penguasa. Sementara itu, di Mesir sedang dikuasai Syiah yang justru memberikan fasilitas kepada tentara Salib hingga akhirnya bisa menguasai Baitul Maqdis.
Berbeda sekali saat kaum muslimin di bawah kekuasaan Harun Al Rasyid pada abad ke-8. Sang Khalifah memberikan sumber daya dan perhatian terbaiknya. Mulai dari pusat Daulah hingga wilayah perbatasan semua mendapat intensitas perhatian yang sama. Termasuk perhatian sang khalifah terhadap daerah perbatasan di pantai Suriah.
Jarak antara Harun Al Rasyid dan Salahuddin hanya selisih tiga abad, namun terjadi kemunduran kondisi kaum Muslimin yang sangat jauh. Hal ini juga terjadi karena saat itu ulama sibuk dengan isu-isu furu’ (cabang), bentrok antar mazhab hingga saling bunuh hanya karena masalah khilafiyah. Namun jauh terhadap isu-isu penting juga krusial, seperti penjagaan tanah ribath (perbatasan) terutama daerah Syam yang saat itu sangat rentan.
Dapat dikatakan sebelum Salahuddin lahir, kondisi kaum Muslimin sedang lemah. DR Majid Al Kilani, seorang ulama dan sejarawan abad 20 menyimpulkan, ulama-ulama yang lahir sebelum Nuruddin dan Salahuddin lahir, tidak mengumandangkan seruan jihad. Hal ini karena ulama-ulama tersebut tau persis kaum Muslimin saat itu tidak siap berjihad, karena masih berpecah belah. Bisa dikatakan ulama-ulama pada masa Nuruddin dan Salahudddin adalah ulama-ulama yang menyuarakan ukhuwah.
Lahirnya Generasi Salahuddin
Baitul Maqdis dikepung Pasukan Salib sejak sekitar 1090an dan berlangsung selama puluhan tahun. Upaya kuat untuk membebaskannya kembali terus dilakukan oleh kaum Muslimin. Hingga akhirnya setelah sekitar 80an tahun kemudian Salahuddin lah yang berhasil merebut kembali kiblat kedua kaum muslimin tersebut.
Tokoh besar Salahudin al Ayubi muncul setelah mengalami proses panjang dan perencanaan yang matang dari generasi sebelumnya. Ulama-ulama memang telah mempersiapkan lahirnya generasi pembebas Al Quds, diantaranya Nuruddin Zanki ataupun ayahnya Nuruddin Zanki yaitu Imaduddin Zanki, hingga lahir lah generasi Salahudin al Ayubi.
Menurut Fika Komara, pengamat geopilitik, Salahuddin merupakan generasi ketiga setelah perang Salib dan membutuhkan waktu sekitar lima puluh tahun untuk melahirkan generasi sehebat Salahuddin. Bila dijabarkan, generasi pertama adalah mereka yang berproses menyadari kesalahan umat, mendiagnosa, mengevaluasi, kemudian merancang desain untuk memperbaiki keadaan. Generasi kedua disebut agen perubahan yang bertugas untuk menyebarluaskan secara masal, langkah yang harus diambil melalui madrasah-madrasah pembaharuan. Kemudian muncullah generasi ketiga yang lulus dari madrasah tersebut, lalu Al Quds dapat direbut kembali.
Kebangkitan dan Generasi Salahudin
Yang harus digaris bawahi adalah, kualitas manusia dimanapun berada harus merata, termasuk di daerah perbatasan. Fika mengatakan bahwa, kekuatan geopolitik yang dilakukan oleh generasi Salahudin dan perjuangan generasi sebelumnya didapatkan dengan cara menginvestasikan perjalanan panjang pembangunan manusia (human development). Butuh usaha kuat dan proses yang panjang untuk bisa melahirkan atau membangun manusia yang layak menjadi pemimpin peradaban.
Islam memerintahkan untuk memperhatikan daerah perbatasan. Bahkan bertahan dan mempersiapkan segalanya di daerah tersebut, sama nilainya dengan berjihad di jalan Allah. Maka, Islam menempatkan orang-orang hebat justru di tanah perbatasan bukan di kota besar. Tidak sebagaimana hari ini, perbatasan menjadi wilayah yang terkesan terpinggirkan, diabaikan, baik dari segi fasilitas pembangunan, pemberdayaan manusia maupun kualitas penjagaannya. Kondisi ini sangat mungkin berdampak pada kesatuan negeri yang kemudian mudah sekali digerogoti.
Dari Salahuddin kita belajar bahwa kebangkitan umat tidak mungkin diraih dengan waktu singkat. Namun usaha untuk meniti jalannya harus sudah dimulai dari sekarang. Agar ke depan saat generasi kesekian, kebangkitan bukan lagi menjadi angan-angan tapi kenyataan.
Wallahu’alam.
Oleh Ruruh Hapsari
0 Komentar