Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik, semua panik. Rakyat menjerit. Ramai-ramai aksi protes di gelar. Kritik dari berbagai kalangan dilayangkan. Namun itu tidak lama, tak jauh berbeda dengan momen-momen kenaikan harga sebelumnya. Reaksi kepanikan, jeritan rakyat, aksi protes dan kritik keras, tak terdengar. Ibarat anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Karena pada akhirnya rakyat tetap pada posisi tidak punya pilihan kecuali menerima kenyataan. Mengapa dan sampai kapan?
Pertanyaan sederhananya, mengapa BBM mahal padahal negeri ini kaya akan minyak? Bahkan dikabarkan Indonesia mengimpor BBM dari Singapura yang membeli minyak mentahnya dari Indonesia. Bahkan impor BBM ini pula yang menjadikan Indonesia rutin mengalami defisit perdagangan dengan negara tetangga ini. Singapura adalah negeri mungil yang luasnya tidak lebih luas dari DKI Jakarta, yang nyaris tidak memiliki sumber daya alam sama sekali. (Kompas.com, 04/09/2022).
Masih dari Kompas.com, Singapura dikatakan lebih maju dalam hal kepemilikan kilang minyak besar hingga menjadi salah satu produsen BBM terbesar di dunia. Stok cadangan BBM pun terbilang sangat besar. Maka banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKSS) atau para perusahaan pengeboran minyak di Indonesia menjual minyaknya ke Singapura.
Disinilah akar masalahnya. Mengapa ada perusahaan pengeboran minyak yang notabene adalah milik swasta, bahkan mayoritas swasta asing yang mengambil minyak di negeri ini? Hal ini terjadi karena aturan yang ada membebaskan siapapun boleh memiliki apapun. Inilah prinsip kebebasan ala kapitalisme. Otomatis ini menjadi karpet merah bagi meraka yang punya modal atau kapital untuk bisa memiliki apapun lebih banyak dan lebih banyak lagi. Wajar perusahan swasta bahkan asing berbondong-bondong bebas mengeruk barang tambang negeri ini yang begitu melimpah.
Ketika swasta dan atau asing yang mengeksploitasi pasti tujuannya adalah keuntungan dan keuntungan. Nah, penguasa dalam paradigma kapitalisme menjadi regulator demi memuluskan jalan swasta/asing tadi meraup keuntungan dengan cara menjualnya kepada rakyat dengan harga mahal. Sungguh ironis.
Berbeda ketika menggunakan paradigma Islam. Barang-barang tambang dengan deposit melimpah salah satunya minyak adalah milik rakyat, milik bersama. Maka tidak boleh ada individu apalagi swasta dan atau asing yang menguasai dan mengeksploitasi. Minyak itu harus dikelola oleh negara. Tujuan pengelolaannya pun semata adalah ri’ayah atau melayani, bukan jual beli seperti hari ini.
Sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Khozinuddin, Koalisi Persaudaraan dan Advokat Umat dalam sebuah talkshow live di channel Yotube Rayah TV, 10 September 2022 lalu mengatakan, negara tidak akan mungkin perhitungan dengan rakyat. Maka ketika mengatur harga BBM dengan cara apapun, selama tidak mengikuti syariat Islam pasti akan zalim. Karena persoalan harga BBM sangat dipengaruhi oleh paradigma tata kelola energi nasional. Paradigma kapitalisme atau Islam.
Inilah buah dari kesombongan manusia yang mengatakan “jangan bawa-bawa agama”. Ketika aturan agama itu tidak dibawa, ditinggalkan, diabaikan, maka yang terjadi adalah kekacauan, kerusakan. Apakah agama disini berlaku untuk semua agama? Tentu agama yang memang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal tata kelola energi. Dan hanya Islam yang memiliki aturan bagaimana mengelola energi, mulai dari kepemilikan, ekplorasi, produksi hingga distribusi.
Rasulullah bersabda “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput dan api.” Api termasuk di dalamnya adalah energi. Inilah dalil yang menunjukkan bahwa minyak dan barang tambang sebagai bahan baku energi yang depositnya melimpah adalah milik umat seluruhnya. Tidak boleh diprivatisasi.
Sudah banyak pakar yang menghitung betapa besarnya potensi kekayaan alam negeri ini. Mulai dari barang tambang, emas, perak, batubara, minyak gas, dan lain-lain, hingga kekayaan hayati, juga yang diatas tanah. Yang jika itu dikelola dengan benar, dalam hal ini menggunakan syariat Islam, maka tidak akan ditemui rakyat miskin di negeri ini.
Islam telah lengkap memberikan rambu-rambu, tapi dianggap angin lalu. Maka Allah berfirman dalam Al Quran Surat Ar Rum 41; “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Munculnya narasi “jangan bawa-bawa agama” adalah narasi yang berasal dari Barat, terutama Eropa, ketika mereka mengalami masa kegelapan (dark age) pada abad pertengahan karena dominasi gereja. Disebutkan dalam buku-buku sejarah, para Kaisar dan Raja-rajanya memanfaatkan para pendeta untuk memeras rakyat dengan mengatasnamakan Tuhan. Kemudian semua harus mengikuti doktrin gereja. Jika ada yang bertentangan atau berbeda, maka akan ditindak bahkan dihilangkan nyawanya. Terjadilah yang disebut trauma atas agama. Muncul pergolakan sengit yang di prakarsasi oleh kaum filsuf dan ilmuwan. Hingga akhirnya didapatkan kesepatan untuk memisahkan agama dari aturan kehidupan (sekularisme).
Fatalnya, trauma atas agama tersebut digeneralisir kepada semua agama, termasuk Islam. Bahwa ketika menggunakan agama dalam seluruh aspek kehidupan akan menimbulkan dampak yang sama. Yang akhirnya paham ini diikuti termasuk oleh negeri-negeri kaum muslimin, hingga hari ini. Padahal sejarah membuktikan di bawah sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariatnya secara sempurna, umat manusia berhasil mencapai puncak kejayaan. Karena Islam satu-satunya agama yang mempunyai aturan rinci tentang seluruh aspek kehidupan. Mulai dari urusan mengatur keluarga hingga membangun negara.
Maka tidak nyambung ketika narasi “jangan bawa-bawa agama” itu juga ditujukan kepada Islam. Karena Islam datang dari Zat yang Maha Sempurna, Al Khaliq, Al Mudabbir, Maha Pencipta dan Maha pengatur. Allah Swt menciptakan manusia dan seluruh alam semesta sekaligus mengatur semua yang Dia ciptakan. Aturannya pasti benar, pasti sempurna. Jika ditaati pasti membawa kemaslahatan, keberkahan, keselamatan, dunia dan akhirat. Adakah yang meragukan kesempurnaan pengaturan Allah Swt hingga kekeh dan masih berbangga dengan narasi “jangan bawa-bawa agama”?
Oleh Anita Rachman
0 Komentar