Toleransi dan moderasi beragama ibarat satu paket yang tak dapat dipisahkan. Atas nama toleransi, semua agama membaur menjadi satu dengan slogan saling menghormati dan menghargai sesama makhluk Tuhan. Atas nama moderasi, aturan agama yang sudah baku pun dapat disesuaikan dengan perubahan zaman dan tempat. Itulah moderasi beragama dimana agama yang kita yakini harus mengikuti apa kehendak hawa nafsu manusia, yakni menempatkan standar baik-buruk dan benar-salah berdasarkan pandangan manusia.
Toleransi berbalut moderasi beragama, bagaikan racun berbalut madu. Negeri ini memang sedang menggaungkan toleransi, namun mengaburkan dari makna toleransi yang hakiki. Seperti yang saat ini ramai diperbincangkan di Kota Bogor, sebuah wacana dari Yayasan Satu Keadilan (YSK) bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mendeklarasikan Rumah Ibadah Ramah Anak dan Ramah Disabilitas di Gereja Katedral Kota Bogor.
YSK dan FKUB Kota Bogor juga menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk mempromosikan toleransi dan keberagaman menuju Kota Bogor Ramah Hak Asasi Manusia. Menurut ketua YSK, Sugeng Teguh Santoso hak asasi manusia secara luas merupakan kebebasan berkeyakinan dan menjalankan HAM. (www.radarbogor.id 20/8/2022)
Benarkah toleransi yang saat ini digaungkan negara dan para penggiat HAM?
Makna toleransi yang hakiki telah terkaburkan dengan upaya-upaya kaum sekuler yang menyudutkan salah satu agama. Tentunya kita tahu, Islam adalah agama yang sering dianggap intoleran.
Toleransi dalam pandangan sistem sekuler liberal bermakna agama yang satu dengan agama yang lainnya dapat saling membantu dan bercampur-baur tanpa adanya sekat pemisah. Misalkan ketika umat Nasrani merayakan hari raya agama mereka, kita (umat Islam) dituntut untuk membantu, mengucapkan selamat dan ikut berbaur merayakannya bersama mereka. Atau menghormati mereka dengan memakai atribut-atribut yang sesungguhnya itu khas untuk agama mereka saja.
Tentu saja ini bertolak-belakang dengan makna toleransi dalam pandangan Islam. Toleransi dalam Islam adalah kita menghormati dan menghargai kepercayaan dan agama orang lain, dengan tidak ikut campur atau menganggu ketika mereka melakukan kegiatan keagamaannya.
Allah Swt. berfirman dalam surat Al Kafirun, "Katakanlah wahai (Muhammad), wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku".
Dengan tegas Allah Swt. melarang kita ikut campur urusan agama dan keyakinan orang lain. Namun hari ini atas nama toleransi dan hak asasi manusia, umat Islam dituntut untuk mengikuti agenda kaum kafir. Hal ini tentunya menyesatkan umat dari akidah Islam yang murni.
Toleransi berbalut moderasi beragama dengan program-progamnya yang memikat, bak racun berbalut madu. Masyarakat khususnya umat Islam dibuat samar-samar sehingga mereka mengikuti arahan para kaum sekuler. Hal ini tentu saja mengikis akidah masyarakat sedikit demi sedikit. Mereka beranggapan bahwa semua agama sama, tujuannya sama, yaitu ibadah kepada Tuhan meski dengan jalan yang berbeda.
Konsep ini sengaja digaungkan kafir Barat untuk menyesatkan umat Islam. Terlebih hal tersebut biasanya disampaikan oleh mereka para ulama su' atau ulama yang rela menjual agamanya demi setitik kenikmatan dunia. Ataupun oleh publik figur, bahkan penguasa pun memberikan arahan dan contoh toleransi yang kebablasan menurut arahan kaum kafir.
Mereka menyatakan, "Bangsa Indonesia adalah masyarakat majemuk, meskipun bukan negara agama, komitmen kebangsaannya menerapkan prinsip beragama ber-Indonesia, ber-Indonesia beragama.” Ataupun “Indonesia ada karena keragaman, baik agama, budaya, ras, dan suku. Menjaga tempat ibadah semua agama, bagian cinta kita kepada Indonesia.”
Juga beberapa isi deklarasi, di antaranya mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan, sosial, dan budaya demi terciptanya kerukunan; serta saling memahami, menghormati, dan menghargai realitas keragaman dan perbedaan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang rukun, damai, dan bersahabat. (https://muslimahnews.net/2022/08/23/10341/)
Apabila kita cermati, pernyataan-pernyataan ini sangat berbahaya bagi umat Islam. Ini karena di dalamnya terkandung banyak hal yang bertentangan dengan Islam.
Perkataan ‘menjaga tempat ibadah bersama dan menyelesaikan permasalahan keagamaan dengan musyawarah dan mufakat’ justru makin menguatkan pertentangannya dengan Islam. Urusan agama yang merupakan urusan hukum syarak bukanlah hal yang bisa diambil mufakat, tetapi harus berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw.
Islam sendiri tidak pernah memandang buruk adanya keberagaman di tengah masyarakat. Keberagaman merupakan suatu hal yang wajar, sunatullah yang kita terima sebagai suatu kenyataan. Bahkan, pada masa Rasulullah Saw., ketika negara Islam berdiri, masyarakatnya sangat beragam suku dan ada pula nonmuslim yang tinggal di negara Islam, yang kita kenal dengan kafir dzimmi.
Miris. Islam yang sering dituduh intoleran kadang justru memunculkan sikap yang salah. Hal ini harus segera diatasi agar umat mengerti makna toleransi yang sesungguhnya. Toleransi yang hakiki, dengan menjelaskan yang haq dan yang bathil sesuai pandangan Islam. Namun tentu saja hal ini tidak mungkin dapat dilakukan dalam sistem yang bukan berasal dari Sang Pencipta.
Penjagaan kemurnian akidah Islam satu paket dengan sistemnya, yakni sistem Islam (khilafah). Negara khilafah menjadi garda terdepan untuk melindungi akidah umat, menjelaskan makna apapun termasuk toleransi berdasarkan Islam. Islam dengan sistemnya akan menjelaskan secara murni, bahwa hitam adalah hitam, putih adalah putih, tidak menjadi abu-abu.
Oleh karenanya, mengganti sistem sekuler liberal adalah satu-satunya cara untuk memaknai toleransi yang hakiki. Telah banyak contoh di masa Rasulullah Saw. dan masa kekhalifahan, bagaimana toleransi antar umat beragama berlangsung dengan damai.
Di bawah naungan khilafah Islam pula, kaum muslim berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah umat manusia. Syariat Islam menata agar setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) mendapat jaminan kebutuhan pokok, semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah, gejolak sosial dan konflik di tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta. Wallahu a'lam.
Oleh : Titin Kartini
0 Komentar