Bogor dan kemacetan, dua kawan akrab yang tak terpisahkan. Setidaknya itulah wajah Kota Bogor saat ini. Macet sana-sini. Terutama ketika jam-jam berangkat serta pulang pada hari biasa. Untuk hari libur, kemacetan bisa berlangsung lebih lama lagi.
Salah satu penyebab kemacetan dipicu pesatnya pertambahan jumlah kendaraan di Kota Hujan. Jumlah kendaraan meningkat sangat tajam dan tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Pada tahun 2016 saja terjadi pertambahan 40.478 kendaraan. Jika dirata-ratakan setiap bulan kendaraan di Bogor bertambah 3.373 kendaraan. Ini belum ditambah dengan kendaraan luar Bogor yang masuk ke wilayah Kota Bogor. Menurut Kasatlantas Polesta Bogor, setiap akhir pekan ada 27.000 kendaraan masuk ke Kota Bogor. Padahal, setiap bulan atau bahkan setiap tahun, di Kota Bogor belum tentu bertambah jalan baru. (www.bogor.pojoksatu.id) Belum lagi, kalau kita lihat kondisi jalan yang ada apakah baik atau rusak. Jalan rusak tentu akan menyumbang kemacetan juga.
Menjadi wajar, jika ada tuntutan masyarakat Bogor yang diwakili oleh anggota DPRD untuk menambah jumlah jalan. Komisi III DPRD Kota Bogor bahkan merekomendasikan pembahasan pembangunan infrastruktur jalan dalam sidang paripurna penetapan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun 2023. Karena menurut Ketua Komisi III DPRD Kota Bogor, Iwan Iswanto di Kota Bogor tidak ada lagi penambahan ruas jalan sejak 2015. (www.wartakota.tribunnews.com)
Namun, Pemkot memilih untuk memprioritaskan hal lain untuk 2023. Walikota Bogor, Bima Arya, mengaku saat ini Pemkot Bogor tengah fokus menggarap sejumlah pembangunan di delapan titik. Di antaranya, lanjutan pembangunan Masjid Agung, pembangunan Sekolah Terpadu Kencana, penuntasan reduksi angkot di tengah kota, dan pembangunan pedestrian Jalan Dewi Sartika. Kemudian, pedestrian Jalan Ahmad Yani dari mulai Gang Dadali sampai Air Mancur, Kampung Wisata Santri Pagentongan dan Mulyaharja ‘Ubud of Bogor’, serta melanjutkan pembangunan GOR Kecamatan Bogor Utara dan Kecamatan Bogor Selatan. (www.jabarekspress.com)
Jalan Panjang Birokrasi
Birokrasi pengajuan infrastuktur penunjang kegiatan masyarakat dalam sistem kapitalisme demokrasi memang sangat panjang dan memakan waktu. Untuk membuat perencanaan pembangunan setidaknya ada beberapa tahapan. Mulai dari membuat perencanaan tingkat desa sampai tingkat pusat, intinya sama hanya berbeda ruang lingkup wilayah, waktu dan sebutan saja.
Bentuk perencanaannya adalah sebagai berikut, Perencanaan Jangka Menengah (RPJM). Perencanaan Jangka Menengah di desa berlaku untuk 6 (enam tahun), sedangkan bagi daerah dan Pemerintah Pusat berlaku untuk 5 (lima) tahun. Untuk penetapan RPJM ini prosesnya panjang juga hingga diberi toleransi keterlambatan hingga 6 bulan setelah pemimpin suatu wilayah terpilih. Prosesnya mulai dari dibuat Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) yang berjenjang dari desa hingga pusat. Setelah itu harus disetujui oleh DPR/DPRD.
Untuk penjabaran RPJM di tiap level pemerintahan dibuat RKP (Rencana Kerja Pemerintah) tiap tahunnya. RKP ini dibuat satu tahun sebelum ia digulirkan. Setelah itu baru dibuat rencana anggarannya. Untuk daerah Kota disebut Kebijakan Umum Anggaran – Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS). Setelah dianggarkan baru semua kegiatan yang disetujui untuk direalisasikan akan menjadi program kerja SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).
Untuk pembangunan jalan akan dilihat tipe jalannya seperti apa. Kalau jalan perumahan akan menjadi program kerja Dinas Perumkin. Untuk jalan kota maka akan diamanahkan kepada Dinas PUPR. Tetapi jika jalan melewati sungai maka akan menjadi amanah provinsi untuk membangunnya. Pemkot akan mengajukannya ke provinsi.
Hanya saja yang perlu digarisbawahi, tidak setiap program yang masuk lewat Musrembang atau aspirasi anggota dewan akan masuk ke dalam prioritas pembangunan. Karena memang ada keterbatasan anggaran. Pada faktanya, ada saja yang tidak bisa masuk walaupun sudah masuk ke RPJMPD seperti pembangunan jalan baru di kota Bogor. Yang sudah masuk RKP pun kadang mengalami pemotongan anggaran bahkan sampai 50% sehingga harus melakukan perencanaan ulang.
Perlu Sistem Hidup Baru
Sistem pengaturan mekanisme pelayanan kemaslahatan umat di dalam sistem hidup kapitalisme demokrasi yang diterapkan saat ini memang rumit. Perlu ada perubahan radikal untuk itu. Karena sistem itu memang sudah dilegalkan oleh undang-undang. Berarti itu memang perkara sistemik. Baku. Bukan lagi sekedar cara saja.
Pemilihan prioritas pembangunan yang bercorak materialistis komersil juga menjadi ciri khas paradigma kapitalis. Jika penguasa mengemban paradigma ini, proyek-proyek pembangunan yang tidak mendatangkan pemasukan seperti pembangunan jalan yang tidak berbayar agak susah untuk dilirik. Untuk prioritas pembangunan tahun 2023 saja kita lihat titik beratnya pada sektor pariwisata yang bisa mendatangkan kontribusi materi untuk pemkot.
Jika ingin membenahi berbelitnya sistem penyediaan sarana prasarana kebutuhan rakyat, memang harus diubah dari akarnya. Paradigma pelayanannya harus diubah. Yang awalnya bercorak kapitalistik, dengan mekanisme penetapan kebijakan ribet demokratis, harus diganti dengan sistem lain. Sistem yang memandang bahwa pelayanan rakyat adalah amanah bagi penguasa. Penguasa dipilih oleh rakyat untuk menjadi pelayan rakyat dalam rangka memenuhi hajat hidup rakyat, tidak peduli akan mendatangkan pemasukan atau tidak buat negara. Lalu mekanisme pelaksanaannya harus diserahkan kepada mekanisme syariat anugerah Allah Sang Mahasegalanya.
Dalam Islam, mekanisme pengajuan kebutuhan masyarakat cukup sederhana. Dalam sistem pemerintahan Islam ada struktur negara yang tugasnya menampung aspirasi rakyat. Struktur itu bernama Majelis Umat (di tingkat pusat), sedangkan di daerah disebut dengan Majelis Wilayah. Jika persoalan kebutuhan jalan itu merupakan jalan yang diampu daerah, maka rakyat bisa menghubungi Majelis Wilayah. Lalu, Majelis Wilayah meneruskan tuntutan itu ke Wali (Kepala Daerah Tingkat I) untuk jalan provinsi, atau ke Amil (Kepala Daerah Tingkat II) untuk jalan kota/kabupaten. Tuntutan rakyat lewat Majlis Wilayah ini sifatnya mengikat Wali dan Amil. Jadi Wali atau Amil harus mengabulkannya. Setelah Wali atau Amil mengabulkan, maka dana akan segera turun dari Baitulmal dan langsung dieksekusi oleh Departemen Kemaslahatan Umum yang terkait.
Sedangkan pengadaan jalan di tingkat pusat, maka aspirasi rakyat bisa disampaikan kepada Majelis Umat. Majelis Umat akan meneruskannya kepada Khalifah. Tuntutan dan pendapat Majelis Umat ini sifatnya mengikat Khalifah. Khalifah harus mengabulkannya. Untuk pendanaan bisa diajukan kepada Baitulmal hanya dengan penetapan dari Khalifah tanpa perlu sidang Majelis Umat untuk melakukan penyusunan atau perubahan anggaran yang tentunya akan memakan waktu.
Untuk pembiayaan pembangunan jalan umum itu sendiri, syariat Islam mengatur dengan pengalokasian dana dari pos penerimaan harta milik umum seperti hasil pengelolaan barang tambang, perairan, dan hutan. Jika penyediaan jalan umum ini sangat penting dan jika tidak dibangun akan menimbulkan bahaya bagi rakyat setempat, infrastruktur kategori ini tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana Baitulmal, harus tetap dibangun. Jika ada dana Baitulmal maka wajib dibiayai dari dana tersebut. Akan tetapi, jika tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharîbah) dari rakyat. Dharîbah hanya dipungut kepada laki-laki muslim yang aghniya (kaya). Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka negara boleh meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari masyarakat. Pinjaman yang diperoleh tidak boleh ada bunga/riba atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman. (www.al-waie.id)
Inilah mekanisme sistem Islam dalam mengurus urusan kemaslahatan umat. Sistemnya tidak berbelit dan profesional. Sistem ini merupakan bagian dari sistem Islam yang lain. Sehingga untuk penerapannya tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Dalam hal ini perlu adanya penerapan secara kafah bagi ideologi Islam dengan metodenya yaitu khilafah. Inilah sistem hidup baru yang dibutuhkan Bogor dan seluruh dunia. Jadi, Bogor bukan sekedar butuh jalan baru, tapi lebih jauhnya Bogor juga butuh sistem hidup baru.
Oleh Rini Sarah
0 Komentar