Harga BBM naik lagi. Bahkan, kenaikan ini telah rutin selama 77 tahun Indonesia merdeka. Padahal Indonesia merupakan negara penghasil minyak bumi ketiga di dunia. Ironisnya rakyat tidak pernah mendapatkan BBM dengan harga murah. Rakyat pun hanya bisa berteriak menolak, meskipun hasil akhirnya tak pernah memuaskan. Sebagaimana yang terjadi hari ini. Geliat penolakan datang dari berbagai kalangan ketika Presiden Joko Widodo untuk ke sekian kalinya menaikkan harga BBM.
Sementara itu, reaksi penolakan ditanggapi beragam oleh para pemangku kebijakan. Istana menanggapi dengan monitoring perkembangan unjuk rasa. Sedangkan Ketua dewan DPR RI memantau dana bantuan pemerintah agar tepat sasaran. Tanggapan berbeda muncul dari para Menteri, Gubernur dan para pakar yang mengarahkan rakyat untuk beralih pada kendaraan listrik sebagai solusi naiknya BBM.
Pendapat terakhir ini nampaknya yang akan dipilih sebagai solusi mengatasi ekskalasi biaya BBM dalam negeri. Sebagaimana amanat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Kemudian mulai masuknya pemodal asing untuk kendaraan listrik dan baterai ke dalam negeri. Percepatan elektrifikasi pun makin masif dilakukan. PLN menargetkan pembangunan 24 ribu SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) hingga 2030. Tahun ini saja, diklaim SPKLU mencapai 267 unit per Februari 2022 (otomotif.kompas.com, 28/03/2022).
Pertanyaannya, benarkah beralih ke kendaraan listrik saat harga BBM naik menjadi solusi yang tepat? Ataukah hanya bentuk lain persekongkolan investasi energi di bumi khatulistiwa? Sebab, jika menilik manajemen energi bangsa ini yang dilakukan dengan tender, bukan tidak mungkin tata kelolanya akan sama dengan pengelolaan BBM, yaitu dikuasai dan dikendalikan swasta atau asing. Sementara warga masih akan tetap menerima beban yang sama, karena harus membelinya dengan harga yang tidak murah.
Yang seharusnya dikritisi adalah, mengapa pemenuhan energi domestik tidak dikelola langsung oleh negara tetapi diserahkan kepada swasta bahkan asing. Pengeboran minyak mentah yang mahal, kilang-kilang minyak tua yang tidak mencukupi kebutuhan nasional menjadi alasan mengobral sumber daya minyak dalam negeri bebas dikeruk oleh swasta/asing. Padahal privatisasi inilah yang menjadikan BBM dan listrik sebagai komoditas yang diperjualbelikan kepada rakyat. Karena sejatinya orientasi swasta/asing adalah keuntungan.
Yang terjadi kemudian adalah persaingan pasar karena kebijakan distribusi sepenuhnya di tangan swasta. Sedangkan negara hanya sebagai fasilitator betemunya swasta sebagai produsen dan rakyat sebagai konsumen. Padahal jika energi nasional dari hulu ke hilir dikelola oleh negara, hasilnya bisa memenuhi seruan UUD dalam pasal 33 ayat 2 dan 3, bahwa segala bentuk sumberdaya alam negeri ini dikelola negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat.
Pemerintah akan lebih bisa mengawasi distribusi energi dengan lebih positif dan berdaya guna. Menolak swasta menentukan kebijakan energi baik eksplorasinya dan pemanfaatannya adalah langkah awal yang harus dilakukan. Hanya saja, hari ini kita terjebak pada sebuah sistem yang memaksa kita tidak bisa mandiri atau independen. Yaitu sistem kapitalisme. Negara terjerat utang luar negeri. Ada keharusan penyerahan kelola energi pada swasta dan distribusi berdasarkan mekanisme pasar. Adanya penjual (negara yang diwakili swasta) dan pembeli (masyarakat sebagai konsumen) membuat pola konsumsi energi masyarakat saat ini mengikuti putaran kapitalistik.
Sesungguhnya kemandirian energi hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam. Negara yang asas berdirinya kokoh karena aqidah ruhiyah dan siyasi yang dijalankan bersamaan. Memfungsikan negara sebagai pelayan dan rakyat sebagai komunitas yang diurusi. Sistem ekonomi Islam memperjelas sumberdaya alam adalah milik umat yang pengelolaannya diwajibkan pada negara, bukan proyek swasta. Hasilnya untuk kemudahan warga negara dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya wacana BBM murah dorong masyarakat manja dan konsumtif, tidak akan ada dalam kamus sistem ekonomi Islam (detikFinance.com, 19/05/2011).
Sistem ekonomi Islam mendorong pemanfaatan sumberdaya alam dalam konsumsi yang tepat guna. Mampu mensejahterakan juga menguatkan posisi negara di ranah dunia. Kebijakan penguasa akan jauh dari dikte-dikte kapitalis bahkan lepas dari kolusi pemanfaatan sumber daya energi baik di dalam dan luar negeri. Kebijakan seperti ini telah dicontohkan oleh negara yang dipimpin Rasulullah saw. dan para penguasa muslim setelahnya, yaitu para khalifah dalam sistem negara Islam kafah.
Walhasil, bukan pilih BBM atau listrik. Bukan pula mengganti BBM dan beralih pada kendaraan listrik. Melainkan, terpenuhinya kebutuhan energi, baik BBM, listrik, gas atau yang lain adalah tanggungjawab pemimpin negara, demi terpenuhinya hajat hidup warga negaranya. Pengurusan ini akan mengakhiri kolusi pasar energi di negeri ini.
Wallahu’alam bishshawwab.
Oleh N. Suci M.H
0 Komentar