Khilafah, Soko Guru “Firewall” Anti Jebol




Keamanan merupakan komoditi langka bagi rakyat Indonesia. Ketersediaannya tidak dijamin oleh negara. Tidak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun sama adanya. Peretasan data warga Indonesia oleh Bjorka mengungkap semuanya. Bjorka yang keberadaannya masih misteri telah melakukan beberapa kali peretasan. Ia telah membocorkan data yang sangat besar. 


Data pelanggan Tokopedia, pembocoran data lebih dari 200 juta pengguna Wattpad, 17 juta pelanggan PLN, dan 26 juta data pelanggan internet IndiHome. Bjorka juga menggemparkan masyarakat dengan pembocoran 1,3 miliar data registrasi SIM card yang diklaim berasal dari Kemenkominfo. Juga pembocoran data 105 juta penduduk dari database Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kasus kebocoran ini meliputi data pribadi seperti NIK, user ID, password, nomor ponsel, dan lain-lain. 


Ada dugaan data yang bocor diperjualbelikan di forum hacker. Konsumen utamanya adalah para pebisnis dan pihak-pihak yang berkecimpung di dunia politik. Tentu saja hal ini berbahaya bagi rakyat. Dengan bocornya data berbagai kerugian bisa dialami oleh masyarakat. Dalam sektor keuangan misalnya. Bisa saja data seseorang digunakan orang lain untuk mengajukan pinjaman atau untuk transfer uang secara ilegal, penipuan pajak atau bahkan pemerasan. Penyalahgunaan data bisa berdampak secara psikologis. Mulai dari mengalami perundungan, pengucilan, stress atau tidak nyaman.


Sedihnya, kejahatan ini malah makin meningkat. Selama lima tahun terakhir, peningkatan laporan pencurian data meningkat 810% dari 20 laporan pada 2016. Untuk tahun 2020, Polisi siber mencatat sebanyak 182 kasus pencurian data dilaporkan oleh masyarakat. Angka ini meningkat 27,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebanyak 143 laporan. 


Lalu, bagaimana respon pemerintah? Pemerintah seolah tak bertaring menghadapi seorang Bjorka, dengan hanya memintanya untuk “tak menyerang” usai Bjorka berusaha menjual 1,3 miliar data registrasi SIM card masyarakat Indonesia. Padahal Kominfo adalah pihak yang paling berwenang sekaligus bertanggung jawab dalam hal ini. Namun seperti biasa, untuk menjaga wibawa, pemerintah reaktif, segera mengambil langkah menangkap pelaku dan mengeluarkan pernyataan yang menenangkan tapi terkesan menyelepekan dengan mengatakan motif Bjorka tidak terlalu membahayakan. 


Soko Guru bagi “Firewall” Anti Jebol


Heboh Bjorka membawa kesimpulan bahwa data warga +62 tidak aman. Parahnya, negara juga tidak hadir untuk menjamin keamanannya. Walaupun sudah memberikan perangkat peraturan tetapi tidak memadai. Mulai dari UU ITE no 11 tahun 2008, RUU Perlindungan Data, atau Peraturan Menteri (Permen) No 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) ditetapkan 7 November 2016. Semua aturan seperti tak punya taji. Karena tidak didukung dengan keseriusan dan sikap amanah dalam mengurus umat. Ini memang merupakan tabiat alami dari negara kapitalis-demokrasi.


Oleh karena itu, negara ini perlu  soko guru baru yang akan menyangga upaya membangun semacam “firewall” (baca : pelindung sistem komputer) anti jebol bagi keamanan data umat. Soko guru baru itu adalah khilafah. Sebuah negara yang menerapkan syariah Islam kafah. 


Khilafah berbeda dengan negara sekuler demokrasi. Ia berdiri dalam paradigma bahwa pemimpin negara adalah perisai pelindung dan pengurus rakyatnya. Sebagaimana amanah yang tertera dalam sabda  Rasulullah saw.,


إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ


”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.”


Khilafah akan menerapkan syariah Islam dalam mengurusi rakyatnya. Para penguasa dan perangkatnya akan senantiasa serius dalam menjalankan fungsi kepemimpinan dan riayah terhadap rakyat. Mereka akan senantiasa berhati-hati agar tak melanggar syariat dan tak akan mengkhianati apa yang diamanahkan kepadanya.  Karena, keimanan akan pertanggungjawaban atas semua amanah begitu lekat dalam benak-benaknya.


Penerapan syariah secara kafah oleh penguasa dan umat ini akan menjaga marwah negara. Keadilan dan kesejahteraan rakyat terjamin dengan sistem ekonomi dan moneter Islam. Harta, akal, kehormatan, nyawa, dan agama, terjaga dengan sempurna dengan penerapan sistem sosial, media massa, dan sanksi Islam. Sementara kemandirian dan kedaulatan negara dijaga penuh dengan sistem hankam dan politik luar negeri Islam.


Dalam hal keamanan, khilafah pun sadar bahwa itu merupakan kebutuhan pokok rakyat secara komunal. Kebutuhan ini wajib dijamin secara langsung oleh khalifah dengan menyediakan kebijakan, tata kelola, tata aturan administratif, instrumen, hingga infrastrukturnya. Ini berlaku untuk keamanan di dunia nyata maupun maya. 


Upaya Serius Menjaga Keamanan Data


Imam adalah perisai. Laksana firewall, ia akan melindungi rakyatnya dari serangan yang mencelakai kaum muslim. Imam juga akan mencegah manusia melakukan kezaliman dan menjaga kemurnian ajaran Islam. Untuk kasus keamanan data, khilafah tak akan bersikap reaktif. Hanya bergerak ketika terjadi serangan. Tetapi, khilafah akan senantiasa mengantisipasi agar data tetap aman, tidak terjadi kebocoran. Baik akibat lemahnya sistem pertahanan data, human error, atau serangan dari orang-orang jahat.


Pertama, khilafah akan membuat regulasi proteksi data. Dalam dunia digital, data adalah aset berharga. Bisa dikatakan data adalah dana (uang). Karena bagi orang-orang tertentu, data adalah informasi untuk mengambil berbagai keputusan baik itu bisnis, strategi politik, dsb. Hal ini mendorong orang untuk memperjualbelikan data. Dalam hukum Islam, boleh memperjualbelikan data yang sifatnya umum, seperti peta atau database demografi sebuah kawasan. 


Islam mengharamkan  menjual data pribadi dan data yang digunakan untuk informasi  intelejen yang akan merugikan user. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan ahli IT untuk menciptakan regulasi teknis dan sistem komputasi yang aman dari kebocoran data karena internal sistem ataupun hacking. Misal dengan membuat sistem basis data yang terintegrasi. Jadi setiap aplikasi tidak mengunduh data sendiri. Ini digunakan untuk meminimalisir jumlah pintu yang berpotensi terjadi kebocoran data akibat redudancy data. Sistem pun harus memberi warning kepada pemilik data jika ada yang berusaha mengakses data atau akunnya.  Jika ada yang membutuhkan data pun, bukan data asli yang diberikan. Tapi data aliasnya itupun dengan proses enkripsi.


Kedua, Khalifah akan menempatkan orang yang cakap bagi aparat yang mengurusi keamanan data ini. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat". Inilah yang dialami saat ini. 


Ketiga, Khilafah menerapkan sistem sanksi yang membuat efek jera bagi pelaku kejahatan siber. Untuk kasus peretasan data jika dilakukan pada warga dalam negeri maka itu terkatagori tajjasus (memata-matai). Tajjasus hukumnya haram. Sesuai dengan QS. Alhujirat:12. Sanksi bagi pelaku tajjasus berupa hukuman yang ditetapkan oleh hakim (takzir).


Keempat, Khilafah akan membangun infrastruktur jaringan internet yang handal. Agar tercipta kemandirian digital. Pembiayaannya bisa diambil dari pos penerimaan harta milik umum atau milik negara. 


Instrumen, infrastruktur, tata kelola keamanan data yang baik, dan ditunjang dengan SDM yang mumpuni ini membuat negara mampu memberikan jaminan keamanan total pada data masyarakat. Inilah sejatinya fungsi negara. Negara yang mampu menjadi soko guru bagi setiap kemaslahatan rakyatnya, tidak hanya keamanan data. Wallahualambisowab.


Oleh Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar