Euphoria menjelang pesta pemilu 2024 mendatang semakin terasa. Kader-kader partai bersiap-siap menyusun strategi demi meraih kemenangan menduduki kursi panas kekuasaan. Perempuan pun tak ketinggalan ikut terlibat dalam ajang pesta demokrasi lima tahun sekali ini. Bahkan, wacana Presiden perempuan kembali menyeruak setelah Puan Maharani, ketua DPR RI dari partai bergambar banteng merah itu menyinggung wacana ini.
Ia mengatakan 2024 Presiden perempuan harus dengan perjuangan. Partisipasi perempuan di bidang politik dinilai harus mendapat dukungan. Ini menunjukkan bahwa perempuan bisa, perempuan mampu, perempuan harus diberi kesempatan dan peluang dan perempuan bisa hebat ungkapnya. (detiknews.com, 25/08/2022).
Dengan perempuan ikut terlibat dalam bidang politik kemudian berhasil duduk di kursi pemerintahan dianggap sebagai kontribusi positif bagi bangsa sekaligus wujud emansipasi perempuan di ruang publik. Sehingga perempuan tidak hanya berjibaku dengan urusan domestik sebagai ibu, mengurus rumah anak dan suami. Padahal anggapan ini berangkat dari konsep feminisme yang sejatinya merusak fitrah seorang muslimah, keluar dari tuntutan yang telah ditetapkan Allah Swt.
Ide feminisme sengaja disebarkan secara masif untuk mempengaruhi pemikiran kaum perempuan, termasuk muslimah. Dalihnya, sebagai bentuk bargaining posision bahwa perempuan bisa menjalani peran di sektor publik dan domestik secara bersamaan. Juga ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam aktifitas politik.
Ide feminisme sendiri lahir dari sistem sekularisme yang memang memisahkan agama dari kehidupan. Aktifitas politik oleh orang-orang sekuler dianggap bukan bagian dari ibadah, maka tidak perlu menggunakan aturan agama. Hingga akhirnya memperbolehkan perempuan ikut berkompetisi dengan kaum pria untuk sama-sama duduk di kursi kekuasaan. Argumennya, dengan keterlibatan perempuan dalam perpolitikan dan pemerintahan akan dapat menuntaskan persoalan panjang yang dihadapi perempuan selama ini. “Hanya perempuan yang bisa mengatasi masalah perempuan”, ini ungkapan yang sering keluar dari para aktifis perempuan pejuang kesetaraangender.
Faktanya, keterwakilan perempuan dalam kancah perpolitikan baik di negeri ini maupun di Barat, tak lantas menyelesaikan persoalan perempuan seperti yang mereka sampaikan. Karena pada hakikatnya, munculnya diskriminasi terhadap perempuan bersumber dari sistem sekularisme yang mengabaikan aturan hidup yang telah ditetapkan Tuhan, yaitu Allah Swt.
Dalam Islam perempuan berkontribusi dalam aktifitas politik karena bentuk ketaatannya kepada Allah Swt dan RasulNya. Makna politik di dalam Islam pun bukan sebatas aktifitas meraih kursi kekuasaan. Politik dalam Islam diartikan sebagai ri’ayah suunil ummah (mengurusi urusan umat) dalam segala aspek kehidupan dan di seluruh ranah kehidupan, mulai dari keluarga, masyarakat hingga negara. Dan ini merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan. Dengan perannya masing-masing yang semuanya sudah di atur begitu jelas dan rinci di dalam Islam. Bahkan, aktifitas perempuan di ranah domestik di dalam Islam termasuk bagian dari aktifitas politik karena didalamnya ada aktifitas mengurusi urusan umat, dalam hal ini keluarga.
Dalam kitab Nidzam Ij’timai karangan Syaikh Taqiuddin An Nabhani dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan sesuai dengan syariat Islam. Kedudukan mereka di hadapan Allah sama, yang membedakan adalah dari sisi ketakwaan dan keimanannyanya.
Kebolehan perempuan terlibat dalam ruang publik bukan berarti semua serba boleh. Islam membolehkan wanita berpolitik dengan batasan dan ketentuan yang jelas. Untuk posisi pengambil kebijakan seperti khalifah (pemimpin negara), mu’awin (pembantu khalifah), wali (gubernur), qadhi qudhat (pemimpin para qadhi/hakim) atau qadhi madzalim, maka haram hukumnya bagi perempuan. Rasulullah saw bersabda,”Tidak beruntung suatu kaum apabila dipimpin oleh seorang wanita” (HR Al Bukhari).
Partisipasi perempuan dalam publik, termasuk bidang politik yang dibolehkan dalam Islam, diantaranya seperti kepala baitul maal, anggota majelis wilayah dan majelis umat, qadhi khusumat (hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat) atau qadhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat). Dan seluruh jabatan lain, selain urusan pemerintahan maka boleh dijabat oleh perempuan.
Termasuk kepala departemen kesehatan, pendidikan, perindustrian, perdagangan, rektor perguruan tinggi, kepala sekolah, kepala perusahaan, kepala rumah sakit dan lain sebagainya.
Terjunnya perempuan dalam ranah politik bukan sekedar demi status atau eksistensi agar diakui dan setara dengan laki-laki, sebagaimana yang diopinikan orang-orang sekuler. Melainkan keterlibatannya dalam kancah politik dilandasi dorongan keimanan dan bentuk kepatuhan seorang hamba terhadap aturan PenciptaNya. Ketika peran tersebut dijalankan sesuai dengan perintah dan larangan Allah, maka semuanya akan bernilai pahala.
Allah Swt berfirman, ”Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki ataupun perempuan, sementara ia seorang mukmin sesungguhnya Kami akan memberikan kepada mereka kehidupan yang baik, dan Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari pada amal yang telah mereka kerjakan” (Qs An Nahl : 97).
Perempuan juga memiliki hak untuk mengoreksi atau muhasabah kepada penguasa, apabila penguasa melakukan kesalahan dalam mengurusi urusan umat. Sebagaimana yang terjadi pada masa kekhilafahan Umar Bin Khattab, yang saat itu memberi batasan mahar dan kemudian ada seorang perempuan mengingatkan sang khalifah terkait hal ini dan beliau pun menerimanya.
Allah swt berfirman, ”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali Imron : 104). Ayat ini merupakan penegasan atas perintah Allah kepada setiap muslim, baik laki-laki dan perempuan untuk menjadi bagian dari jamaah atau partai politik untuk menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
Perempuan juga berkewajiban menjaga pemikiran umat dari pemikiran-pemikiran kufur, melalui aktifitas dakwah. Agar umat terjaga dari pemikiran asing dari orang-orang kafir Barat, termasuk tentang ide feminisme. Sementara di rumahnya, menjalankan peran sebagai ummu warabbatul bait (ibu pengurus rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu generasi) merupakan bagian dari peran politik perempuan demi melahirkan generasi terbaik, calon pembangun peradaban dimasa yang akan datang.
Memilih dan membaiat khalifah juga menjadi bagian dari aktifitas politik perempuan. Hal ini telah dilakukan perempuan-perempuan muslimah di masa Rasulullah ketika mereka melakukan baiat aqabah II (membaiat Rasulullah) di Kota Madinah.
Inilah hakikat aktifitas politik yang harus disadari oleh para muslimah. Ikut memperjuangkan kepentingan umat di bawah koridor syariat. Menjadi bagian dari pejuang dakwah, menyadarkan umat bahwa Islam satu-satunya way of life, bukan feminisma ataupun yang lain yang datangnya bukan dari Islam. Turut serta dalam memperjuangkan kembalinya institusi sistem pemerintahan Islam, khilafah, sebagai perisai atau junnah yang akan mengurus, melindungi dan menjaga umat.
Wallahua’lam
Oleh: Siti Rima Sarinah
0 Komentar