Pemerintah Indonesia dan Cina kembali menjalin kerjasama. Dengan dalih untuk meningkatkan pelayanan transportasi dan mendukung pembangunan di wilayah Jakarta-Bandung, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Pelpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung pada tanggal 6 Oktober 2021 (Jdih.maritim.go.id, 09/10/2021).
Presiden Jokowi menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) untuk memimpin Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Komite itu beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara dan Menteri Perhubungan sesuai dengan Pasal 3A ayat 1.
Program pemerintah ini, sudah menuai kontroversi sejak perencanaannya menyeruak di tahun 2015. Bahkan ketika teken kontrak dilakukan oleh Presiden Jokowi tahun 2021 lalu kritik dari berbagai pihak terus bermunculan.
Bukan tanpa alasan, proyek KCJB ini sebagaimana diberitakan Kompas.com (31/10/2021) mengalami pembengkakan biaya dan gagal memenuhi target awal penyelesaiannya. Pada awalnya, proyek ini diperhitungkan membutuhkan biaya Rp86,5 triliun lalu naik menjadi Rp114,24 triliun alias membengkak Rp27,09 triliun dari perkiraan anggaran awal.
Target penyelesaiannya pun molor dari tahun 2019 mundur ke tahun 2022. Agar tidak sampai membengkak, pemerintah berencana menambal kekurangan dana tersebut menggunakan dana APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat dalam proyek tersebut.
Benar saja, sebagaimana dilansir dari laman detik.com (02/09), unit KCJB baru tiba di Pelabuhan Tanjung Priok yang kemudian diangkut ke Tegalluar, Bandung Barat pada Senin 5 September 2022 lalu. KCJB ini ditargetkan mulai beroperasi pada Juni 2023. Unit berikutnya akan kembali tiba di Indonesia pada 25 Desember 2022, 25 Februari 2023 dan 15 Maret 2023.
Sementara itu, Tribunnews.com (07/09) juga mewartakan perihal uji coba KCJB ini akan dilakukan pada penyelenggaraan G20, yakni November 2022. Direncanakan pula Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Tiongkok Xi Jinping akan melakukan kunjungan kerja guna melihat progres pekerjaan sekaligus mencoba Kereta Inspeksi (EMU-CIT) dari DK 127 menuju Stasiun Tegalluar.
Proyek kerja sama KCJB ini disebut-sebut dibanggakan oleh Cina. Hal tersebut disebutkan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Mao Ning dalam konferensi pers pada Selasa (06/09). Ia juga menyebut bahwa KCJB ini adalah proyek unggulan (flagship) dari kerja sama Prakarsa Sabuk dan Jalan antara Indonesia dan China.
Termasuk yang menjadi pertanyaan besar di benak khalayak adalah mengapa harus China yang terlibat dalam kerja sama ini? Penting untuk diketahui, dalam blog 99.co (02/11/2021) disebutkan bahwa negara Cina dan Jepang sebelumnya telah bersaing untuk menggarap proyek KCJB milik Indonesia ini. Jepang menawarkan US$6,2 miliar, sedangkan Cina sendiri lebih rendah yaitu senilai US$5,5 miliar. Jepang menawarkan pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 0,1 persen sedang Cina dengan tenor yang sama dengan bunga 2 persen.
Namun akhirnya, proyek tersebut dimenangkan oleh Cina. Pemerintah memiliki setidaknya empat alasan mengapa memilih Cina dalam kerja sama proyek KCJB ini. Pertama, pemerintah Cina menjanjikan proyek ini tidak akan membebani APBN atau murni business to business.
Kedua, proyek ini tanpa jaminan pemerintah. Dengan kata lain, jika di kemudian hari proyek ini ada masalah maka semuanya akan diserahkan ke konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC). Ketiga, Cina berjanji akan transparansi berkenaan dengan teknologi kereta cepat tersebut. Keempat, pemerintah Indonesia mempertimbangkan pengalaman Cina sebagai negara yang paling banyak memiliki jalur kereta cepat dengan rute terpanjang di dunia yaitu 37.900 km.
Dengan skema business to business (B2B) tersebut, Sekretaris Perusahaan KCIC Rahadian Ratry menjelaskan sebagaimana dikutip dari detikfinance.com (05/03/2022) menjelaskan bahwa baik Indonesia maupun Cina masing-masing memiliki orientasi perolehan keuntungan dan manfaat jangka panjang.
BUMN Cina telah berinvestasi sebagai pemegang saham 40% di KCIC dan menanggung untung rugi dan resiko dari kerja sama yang terjalin. KCIC juga mengklaim dari sisi tenaga kerja, keberadaan proyek KCJB ini akan menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional yang berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja lokal dalam jumlah besar.
Tidak hanya dari sisi tenaga kerja, KCIC juga berpendapat pembelanjaan dalam negeri untuk proyek KCJB akan sangat tinggi. Berdasarkan kajian pre-assessment oleh Sucofindo, sebanyak 69% pembelanjaan (purchasing) dilakukan di dalam negeri (on share) sehingga memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.
Namun realita tidak seindah yang dijanjikan. Baru-baru ini, CNCBIndonesia.com (03/08/2022) pada lamannya mengabarkan bahwa pembengkakan anggaran pembiayaan proyek KCJB benar-benar terjadi, sebagaimana prediksi awal. Untuk menutupi kekurangan dana tersebut, Indonesia sebagai salah satu pemilik proyek berencana akan mengambil pinjaman.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, sebanyak 25% dari kebutuhan dana untuk penyelesaian tersebut akan ditanggung oleh konsorsium BUMN Indonesia, yakni PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dan konsorsium Cina, Beijing Yaman HSR Co Ltd sesuai dengan komposisi saham.
PSBI akan menalangi kebutuhan dana sebesar Rp4 triliun, sedangkan Cina diperkirakan sebesar Rp3 triliun. Sementara sisanya yaitu sebesar 75% dari pembengkakan akan ditutup melalui utang dan pinjaman tersebut atas nama KCJB. Jika akhirnya benar pemerintah harus menambal kekurangan biaya dengan berhutang berarti Cina melanggar janjinya untuk siap menanggung masalah dalam proyek ini. Maka mengherankan jika kerjasama ini masih terus dilanjutkan oleh pemerintah meski pada kenyataannya pemerintah Cina sudah tidak konsisten pada saat menerima proyek KCBJ ini.
Realitas di atas membenarkan pernyataan Kevin Genjar S.N dalam tulisan jurnalnya berjudul Pro Kontra Hutang dan Pembangunan Infrastruktur Indonesia di situs jurnal.unej.ac.id bahwa fokus kerja pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo adalah pembangunan infrastruktur. Hal itu nampak pada proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandar udara. Faktanya, sejauh ini proyek yang dibangun pemerintah di bawah rezim Jokowi sebatas “yang penting jadi” namun dampak negatif yang ditimbulkan seolah tidak dipertimbangkan.
Pembangunan infastruktur tentu sah-sah saja menjadi program kerja utama pemerintah. Bahkan Bertrand Badre seorang World Bank Managing Director and Chief Financial Officer menuliskan pendapatnya di situs resmi www.worldbank.org mengatakan bahwa adanya infrastruktur sangatlah penting bagi suatu negara sebab akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terbukanya lapangan pekerjaan, akses distribusi yang lebih muda, dan sebagainya. Namun jika program itu didanai dengan skema utang luar negeri, terlebih menyerahkan proyek infrastruktur kepada swasta bahkan negara asing bukankah itu justru hanya akan membahayakan negara?
Tak heran jika Aviliani selaku Ekonom Indef meminta pemerintah agar dalam membuat rencana pembangunan infrastruktur tidak secara politis saja, namun dengan mempertimbangkan kemampuan negara membayar utang sesuai masa jatuh temponya. Sebab pada faktanya, banyak proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah melebihi kemampuan APBN untuk membiayainya, lantas akhirnya ditutupi dengan utang (CNNIndonesia.com, (08/10/2021).
Bahaya tingginya utang negara sendiri menurut Tri Wahyu Cahyono seorang Mahasiswa S2 MEP-UGM dalam tulisannya di rubrik opini detiknews.com (10/08/2011) menjelaskan bahwa secara politik mendanai pengeluaran pemerintah dengan berutang akan membuat proses politik menjadi buruk. Termasuk menyebabkan menurunnya pengaruh politis negara dalam percaturan politik global.
Tak hanya itu, beban utang terlebih utang luar negeri akan menyebabkan kedaulatan negara tergadaikan kepada negara asing. Sebagai dampaknya, negara pemilik utang akan mudah didikte oleh negara pemberi utang bersadarkan syarat-syarat yang telah disepakati bersama dalam perjanjian utang-piutang.
Terlebih jika solusi yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara adalah dengan menaikkan biaya pemungutan pajak, maka sangat jelas yang akan merasakan dampak buruk dari sikap gegabah pemerintah dalam membuat kebijakan adalah rakyat lagi. Sementara yang mendapat keuntungan besar dari penderitaan rakyat dan terancamnya kedaulatan negara adalah sekelompok pemodal dari para oligarki dan negara-negara asing.
Beginilah wajah pemerintah buah dari sistem Demokrasi. Alih-alih membuahkan kesejahteraan, kebijakan yang hanya berorientasi pada tujuan politik dan keberpihakan pada elit kapital menjadi bukti gagalnya Demokrasi dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang adil dan amanah.
Fakta di atas sudah selayaknya menjadi maklumat bagi kaum muslimin bahwa berharap sejahtera pada Demokrasi dan penguasa yang lahir dari rahimnya adalah fatamorgana. Hanya aturan Islam sajalah satu-satunya yang layak mengatur manusia dengan sistem khilafahnya yang terbukti mampu mewujudkan pemerintahan Islam yang adil sekaligus berhasil menciptakan kesejahteraan bagi seluruh makhluk.
Oleh Suriani, S.Pd.I
0 Komentar