Rebranding: Signal Ketidakseriusan Penguasa Menjamin Kesehatan di Alam Kapitalisme





Pemerintah DKI Jakarta melalui Gubernur Anies Baswedan mengubah nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) menjadi Rumah Sehat untuk Jakarta. Menurut Wakil Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati pergantian nama rumah sakit menjadi rumah sehat bertujuan untuk menyadarkan lebih banyak warga Ibu Kota menjalankan konsep hidup sehat (tempo.co, 6/8/2022).



Masih dilansir dari laman tempo.co, seremonial branding yang berlangsung di RSUD Cengkareng, Jakarta Barat pada Rabu, 3 Agustus 2022 itu menuai pro kontra. Anggota DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, menganggap perubahan nama RSUD tidak menyentuh permasalahan substantif warga. Sementara itu, Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany menilai, membuat warga sadar untuk memiliki pola hidup lebih sehat tidak bisa hanya dengan rebranding rumah sakit. Pemerintah DKI seharusnya melakukan langkah yang lebih agresif.



Di tingkat pemerintah pusat, anggaran sektor kesehatan hanya dianggarkan sebesar 5% sesuai amanat UU 36/2009. Sedangkan, di level pemerintah provinsi, pemprov DKI Jakarta menggelontorkan anggaran Rp2,1 triliun untuk subsidi kesehatan warga Jakarta yang berobat menggunakan jaminan BPJS Kesehatan sejak 2017 lalu. Meski Anies Baswedan mengklaim sebanyak 11.038.892 jiwa atau 98% penduduk DKI Jakarta telah dilindungi BPJS Kesehatan. Nyatanya, hingga kini dalam penyelenggaraannya BPJS atau program kesehatan pemerintah lainnya masih ditemukan ketidaksesuaian regulasi dan birokrasi yang berbelit. Lalu, bagaimana nasib warga yang tidak memiliki BPJS?



Lagipula, program tersebut justru menambah beban rumah sakit. Karena menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta, anggaran penggantian logo jenama “Rumah Sehat untuk Jakarta” dibebankan kepada masing-masing RSUD di Ibu Kota secara bertahap. Anggaran untuk penggantian logo terbaru itu tidak dibebankan kepada APBD DKI (bpk.go.id, 9/8/2022).



Padahal, banyak RSUD yang kewalahan mengelola biaya operasional saat pandemi lalu. Hingga Februari 2022, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan memiliki tunggakan pembayaran klaim Rumah Sakit yang belum dibayarkan mencapai Rp25,10 triliun termasuk rumah sakit di Jakarta (suara.com, 13/2/2022).



Bukankah hal tersebut merupakan pemborosan. Sejalan dengan itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa perubahan istilah tersebut hanya untuk keperluan branding atau pemasaran, sedangkan secara legal tetap menggunakan nomenklatur rumah sakit. Strategi tersebut seperti pembodohan publik.



Apalagi rebranding digadang-gadang sebagai langkah melakukan tindakan preventif bagi masyarakat. Faktanya, keluhan terbanyak peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah waktu tunggu yang lama, serta adanya diskriminasi termasuk di ibu kota.



Menurut Sumiyati, Komalawati, & Rosma, 2019, dalam ilmu komunikasi yakni public relations, perusahaan atau dalam hal ini Rumah Sakit melakukan rebranding untuk tujuan di antaranya, Memulihkan brand image setelah terjadinya krisis di perusahaan tersebut. Selain itu, hal yang mendasar dari tujuan rebranding adalah menyegarkan kembali atau memperbaiki brand 


image dari produk tersebut. Kemudian yang paling utama adalah tentu untuk mendukung strategi bagi perusahaan untuk bisa survive dan berkembang ditengah gempuran persaingan bisnis yang semakin ketat. 



Tidak heran, hantaman pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu mengubah perilaku masyarakat yang mengakibatkan berbagai macam bisnis menjadi anjlok, tidak terkecuali rumah sakit. Kegaduhan saat lonjakan kasus meninggi, fasilitas yang minim, serta pelayanan yang buruk membuat masyarakat takut dan ogah ke rumah sakit. Hal ini berpengaruh pada biaya pemasukan penerimaan dan operasional rumah sakit.



Dalam sistem demokrasi kapitalisme, masyarakat dianggap sebagai konsumen. Jadi wajar, ketika kinerja rumah sakit dan pendapatannya menurun, serta kepercayaan masyarakat menipis terhadap kualitas pelayanan rumah sakit. Maka, mereka akan berupaya sekuat tenaga mengembalikan pamornya. Apalagi persaingan bisnis antar rumah sakit di Indonesia semakin ketat. Sungguh memilukan, di tengah berbagai kesulitan hidup yang dialami masyarakat ibu kota. Pemprov masih sempat melakukan rebranding ruma sakit menjadi rumah sehat. 



Bukan lagi merupakan isapan jempol, kesehatan di sistem kapitalisme sangat mahal. Maka wajar jika terdapat istilah "orang miskin dilarang sakit". Paradigma sistem kapitalisme menjadikan sistem kesehatan hanya berorientasi pada bisnis. Kalaupun ada program kesehatan semisal BPJS atau JKN, tidak sepenuhnya ditanggung negara. Masyarakat diharuskan membayar iuran setiap bulannya. Beberapa fasilitas kesehatan dan obat juga tetap menjadi beban peserta, negara tidak menanggungnya.



Jadi, daripada menghabiskan waktu, energi dan biaya untuk rebranding rumah sakit menjadi rumah sehat. Walau rebranding memiliki filosofi nama adalah doa. Namun, perbaikan sistem dan kebijakan secara komprehensif dan menyeluruh seharusnya menjadi prioritas. Karena faktanya, hingga saat ini negara belum mampu memberikan jaminan kesehatan yang pasti bagi rakyat. Mulai dari sistem penganggaran hingga operasional teknisnya masih karut marut.



Selain itu, baik pemprov maupun pemerintah pusat harusnya memperbaiki regulasi dan meningkatkan pelayanan fasilitas kesehatan tanpa memandang status. Apakah pasien merupakan pasien umum, asuransi swasta atau peserta jaminan kesehatan nasional.



Apalagi tujuan rebranding konon lebih mengedepankan tindakan preventif. Bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud, karena nyatanya banyak pasien sekarat yang tidak bisa langsung mendapat penanganan karena rumitnya birokrasi. Sama seperti gonta-ganti dan banyaknya istilah Jamkesmas, JKN, KIS, BPJS, dll. Rebranding jelas memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah mengatasi permasalahan kesehatan di negeri zamrud khatulistiwa ini.



Parahnya, menurut Anggota DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, para program rebranding rumah sakit ada indikasi hanya untuk mendapatkan legacy menjelang berakhirnya periode jabatan Gubernur DKI Jakarta (tempo.co, 6/8/2022).



Berbeda jauh dengan sistem kesehatan ala Islam.  Sistem Islam menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat tanpa melihat status ekonomi, sosial, maupun agama. Semua kalangan dilayani dengan baik. Pelayanan di bidang kesehatan tidak hanya terbatas di kota-kota besar, tetapi di seluruh wilayah negeri, sampai ke pelosok.



Sistem Islam mewajibkan penguasa menjamin pelayanan kesehatan masyarakat. Sehingga tidak ada unsur bisnis untuk meraup keuntungan. Jadi kalau pun ada program perbaikan sistem pelayanannya, pastinya hanya untuk meningkatkan pelayanan semata. Bukan untuk motif ekonomi apalagi untuk mendongkrak daya saing.



Oleh Anggun Permatasari


Mewujudkan ekosistem kesehatan yang kuat dan tangguh membutuhkan perbaikan sistem yang menyeluruh. Warga ibu kota dan masyarakat Indonesia secara umum beragama Islam. Maka sudah sepatutnya kembali pada aturan Islam. Aturan Islam sudah teruji selama 13 abad. Dalam penerapannya, Islam telah berhasil mewujudkan ekosistem kesehatan terbaik. Maka, masihkah kita berharap pada sistem demokrasi kapitalisme yang terbukti tidak serius dan tidak becus mengelola sistem kesehatan rakyat? Wallahu A'lam bishawab. 


Posting Komentar

0 Komentar