Tolak Kenaikan Harga BBM, Tepis Liberalisasi Minyak Bumi





Pengumuman pemerintah mengenai kenaikan harga BBM jenis pertalite, pertamax, dan solar dibayar kontan. Tak lama dari diumumkan pada tanggal 3 September 2022 pukul 14.30, aksi demonstrasi dari berbagai lapisan masyarakat susul-menyusul menyambutnya. Mulai dari aksi mahasiswa, parpol, kalangan umat Islam, ulama, bahkan pelajar STM pun dikabarkan turun ke jalan. Dan, tidak hanya di ibukota, daerah pun tak ingin ketinggalan.


Kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah memang harus ditolak. Karena kebijakan ini merupakan kebijakan zalim. Setidaknya ada 8 alasan yang mendasari kebijakan ini disebut zalim. Pertama, mayoritas rakyat jadi korban. Jumlah rakyat kalangan menengah ke bawah di Indonesia jumlahnya ratusan juta. Merekalah sejatinya yang pertama terdampak. Mereka pengguna kendaraan roda dua, angkutan umum, dan angkutan niaga. 


Kedua, kondisi ekonomi kita belum benar-benar bangkit. Setelah jatuh dihadang Covid-19, sekarang ditimpakan tangga kenaikan harga BBM. Rasanya, slogan HUT Kemerdekaan RI “Bangkit Lebih Kuat, Pulih Lebih Cepat” yang dicanangkan pemerintah itu basa basi saja. 


Ketiga, harga BBM di luar negeri justru turun karena ada penurunan harga minyak dunia. Keempat, kenaikan harga BBM ini otomatis menambah beban hidup rakyat akibat efek dominonya. Kenaikan harga BBM tentu menyebabkan kenaikan ongkos transportasi. Hal ini mengerek naik biaya operasional seluruh kegiatan ekonomi masyarakat.


Kelima, pemerintah ngotot untuk tetap menjalankan proyek-proyek yang tidak perlu dan membebani APBN. Proyek IKN dan Kereta Cepat dipastikan tetap jalan. Padahal tidak ada hal genting untuk itu. Kalau pemerintah merasa subsidi energi ini membebani APBN, mengapa anggaran untuk proyek itu tetap jalan? Tidak bisakah dialihkan?


Keenam, kompensasi BLT yang diberikan pemerintah tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan, juga tidak mengcover seluruh rakyat. Ketujuh, pemerintah tidak berupaya serius untuk melakukan efisiensi anggaran. Kedelapan, ini yang paling krusial, ada upaya liberalisasi migas. Ini bertentangan dengan hukum Islam. Dalam pandangan Islam, BBM dan energi lainnya hakikatnya milik rakyat. Rakyatlah pemilik BBM, juga energi dan segala sumberdaya alam yang depositnya melimpah. Bukan Pemerintah. Pemerintah hanya berwenang mengelola semua milik rakyat tersebut. Hasilnya, tentu seluruhnya dikembalikan kepada rakyat. Di antaranya dalam bentuk BBM dan energi yang murah harganya. Negara tidak boleh berdagang dengan rakyat dengan mencari untung yang sebesar-besarnya. Apalagi dengan memperdagangkan barang-barang yang sejatinya milik rakyat seperti BBM, listrik, gas, dll.



Tepis Liberalisasi, Rengkuh Kesejahteraan dengan Islam


Liberalisasi merupakan nafas kapitalisme. Dengan proses inilah para kapitalis memenuhi keserakahannya akan harta. Itu merupakan keharusan dalam sistem ekonomi ciptaan Adam Smith ini. Menurut Adam Smith, jika setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingan sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka seakan ia dibimbing oleh kekuatan tangan yang tak tampak (the invisible hand) untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat. Kebebasan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang ditanya oleh Menteri Keuangan Francis pada masa pemerintahaan Lois XIV pada akhir abad ke 17, yakni Jean Bapti Coulbert. “Bagaimana kiranya Pemerintah dapat membantu dunia usaha?” Legendre menjawab, “Leisez nous faire” (Jangan mengganggu kita [Leave us alone]).” Kalimat ini kemudian dikenal dengan istilah laessez faire. Dewasa ini leissez faire diartikan sebagai tidak adanya intervensi Pemerintah sehingga timbullah individualisme ekonomi dan kebebasan ekonomi.  Akibatnya, para kapitalis semakin merajalela menguasai berbagai sektor ekonomi dari hulu ke hilir. Dan, mereka tidak akan puas walau bumi berhasil ditelan sekalipun.


Dalam konteks minyak dan gas Indonesia, menurut Ustad Ismail Yusanto dalam sebuah program acara di Youtube Channel PKAD, Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan dan konsumsi migas yang besar. Hal ini tentu saja menarik para kapitalis asing untuk bermain di sektor hulu berupa eksplorasi dan produksi, maupun hilirnya berupa niaga, distribusi, hingga retailnya.  Pundi-pundi keuntungan kapitalis makin membengkak. Sementara rakyat makin sesak karena himpitan beban hidup.


Dalam liberalisasi migas di Indonesia, peningkatan peran asing dalam industri migas di Indonesia tidak terlepas dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 yang menjadi dasar privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di Indonesia. Dengan diberlakukannya UU ini Indonesia tidak bisa menegaskan kepentingan nasionalnya di hadapan kontraktor asing. Karena asing sudah menguasai mayoritas kekayaan energi kita dan diberikan kebebasan berekspansi untuk usaha retailnya.


Untuk sektor hilir khususnya, SPBU-SPBU asing pun tumbuh di Indonesia bagai jamur di musim penghujan. Seiring dengan pengurangan subsidi yang membuat disparitas harga antara SPBU plat merah dengan asing, SPBU asing akan semakin agresif mengincar peluang pasar Indonesia dan mendominasinya. Karena mereka bisa menawarkan harga yang lebih kompetitif, kualitas barang yang lebih baik, serta pelayanan yang lebih optimal. Lama-lama, SPBU plat merah bisa terkalahkan dan tamatlah semua. Tak ada yang didapat lagi oleh bangsa ini, kecuali keterjajahan.


Oleh karena itu, selain menolak kenaikan harga BBM kita pun harus menepis bonggol persoalannya yaitu liberalisasi yang lahir dari sistem ekonomi kapitalisme dengan asas sekulerisme. Lalu, ramai-ramai menuntut diterapkannya sistem ekonomi Islam dengan metode negara Khilafah. Karena dengan itulah, kekayaan umat akan kembali pada pemiliknya. Dalam Islam, harta milik umum atau milik rakyat wajib dikelola oleh negara. Rasulullah saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Nabi saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).


Dalam penuturan Anas ra. hadis tersebut ditambah dengan redaksi: wa tsamanuhu haram (harganya haram). Artinya, dilarang untuk diperjualbelikan. Artinya, haram mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi. Jika negara menjual dengan menambahkan keuntungan dari biaya produksi, semua keuntungan dari harta milik umat termasuk di dalamnya minyak dan gas harus dikembalikan lagi ke umat dalam bentuk pelayanan maupun fasilitas-fasilitas kehidupan. Atau, bisa saja negara menggratiskan konsumsi BBM. Atau, bisa pula negara hanya menjual kepada rakyat dengan harga sesuai biaya produksi. Inilah sebuah sistem yang membuat negara mempunyai kedaulatan energi, bisa menyejahterakan rakyat, dan mewujudkan keadilan ekonomi. Wallahualambisowab.


Oleh Rini Sarah

Posting Komentar

0 Komentar