Ada Apa Dibalik Konversi Batubara Ke EBT




Indonesia menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sudah 23 persen di tahun 2025. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah berkolaborasi dalam membangun infrastruktur EBT pada Barang Milik Negara (BMN), sebagai bagian dari upaya melakukan transisi energi di Indonesia. Transisi energi ini untuk mengurangi penggunaan sumber energi dari fosil seperti batubara dan lainnya lebih banyak menggunakan EBT.


Kebijakan pemerintah untuk mengonversi batubara ke energi baru dan terbarukan (EBT) menuai polemik di tengah masyarakat. Padahal di sejumlah negara di Uni Eropa justru tengah menghidupkan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Sebaliknya, pemerintah Indonesia melarang pembangunan PLTU baru dan mempercepat pemensiunan PLTU yang masih beroperasi saat ini. 


Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan bahwa kebijakan Eropa dalam menghidupkan PLTU bersifat darurat, terutama karena pasokan minyak dan gas untuk negara di Uni Eropa terdampak akibat perang Rusia dan Ukraina (cnbcIndonesia,19/09/2022).


Disisi lain, Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor batu bara terbesar dan China adalah negara pengimpor batu bara terbesar dari Indonesia. Padahal negara tersebut memiliki cadangan emas hitam terbesar di dunia, bahkan melebihi RI. Negara tirai bambu ini memiliki cadangan batu bara sebesar 149,8 miliar atau sekitar 13 persen dari total cadangan dunia. Hal ini menjadikan China sebagai produsen sekaligus konsumen batu bara terbesar di dunia (CNN Indonesia,06/08/2022).


Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan kualitas batu bara RI yang memiliki kalori rendah dan mengandung sulfur menjadi alasan mengapa China impor dari Indonesia. Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Institute for Essensial Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan bahwa China masih mengimpor batu bara dari Indonesia karena produksi mereka belum mencukupi total kebutuhan domestik China. Selain China, India juga merupakan negara kedua tujuan ekspor batu bara Indonesia pada tahun 2020 tercatat 97,5 juta ton.


Fakta ini tentu menjadi tanda tanya besar, mengapa Indonesia kekeuh untuk melakukan konversi batu bara ke EBT, sedangkan batu bara yang ada justru dijual ke China dan India. Diduga kuat ekspor batu bara yang dilakukan Indonesia ke China sebagai kosekuensi logis dari dana pinjaman (utang) yang diberikan China ke Indonesia.


Pasalnya, Indonesia memiliki utang yang sangat banyak dengan negara tirai bambu ini. Berdasarkan data terbaru statistik utang luar negeri (SULN) yang dirilis Bank Indonesia, jumlah utang Indonesia kepada China mencapai 21,7 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 326,7 triliun. Jumlah ini menempati peringkat ke empat lebih kecil dari pinjaman Jepang, Amerika Serikat dan yang terbesar dari Singapura (BBC News,27/07/2022).


Sudah menjadi rahasia umum, bahwa negara yang berhutang tunduk dan patuh kepada negara pemberi utang. Utang menjadikannya kehilangan kedaulatan dan sangat mudah diintervensi. Bahkan negara tersebut harus merelakan kekayaan alam negaranya diambil paksa sebagai kompensasi dari utang kepada negara pemberi utang.


Hal ini membuktikan bahwa begitu banyak kepentingan yang tersembunyi di balik kebijakan konversi batu bara ke EBT yang dilakukan oleh pemerintah. Yang jelas bukan untuk kepentingan rakyat apalagi untuk menyejahterakan rakyat. Melainkan, untuk memuluskan kepentingan para korporasi yang berkolaborasi dengan penguasa yang bertahta pada saat ini.


Keberadaan sistem kapitalis liberal yang menjadi rujukan lahirnya berbagai kebijakan, telah memberikan keleluasaan bagi korporasi yang sangat berambisi untuk menguasai dan merampok habis kekayaan negeri-negeri kaum muslim, seperti halnya Indonesia. Dan akhirnya negeri-negeri muslim harus bertekuk lutut, tidak berdaya kala kekayaan alam yang menjadi miliknya dijarah tanpa sisa.


Penguasa yang seharusnya melindungi milik rakyat, justru menjadi fasilitator dengan menetapkan kebijakan yang pro korporasi. Dan untuk membungkam gejolak di tengah masyarakat dibuatlah berbagai macam dalih dan pembohongan publik agar rakyat mau menerima kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Padahal rakyatlah yang harus menjadi korban dari kebijakan zalim penguasa mereka.


Batu bara yang melimpah ruah yang seharusnya dikelola dan bisa dimanfaatkan oleh rakyat, justru dijual untuk kebutuhan negara lain. Padahal di dalam negeri saja masih sangat membutuhkan batu bara. Inilah paradigma kapitalis yang memposisikan rakyat sebagai pembeli dan negara sebagai penjual yang tentu saja menginginkan keuntungan besar dari hasil yang dijualnya. Tiada rasa iba dan peduli sedikitpun terhadap rakyat karena yang menjadi tujuannya hanya materi semata.


Berbeda halnya dengan paradigma Islam, yang memandang bahwa batu bara merupakan kepemilikan umum dan bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan kepada rakyat yang notabene itu hak mereka. Rasulullah saw bersabda, ”Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).


Berserikatnya manusia dalam ke tiga hal tersebut di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas). Karena sifatnya inilah maka Islam menetapkan pengelolaannya tidak boleh dikuasai individu, swasta apalagi negara asing.


Termasuk dalam hal ini adalah batu bara dan barang tambang lainnya yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat, karena membutuhkan keahlian dan teknologi tinggi serta biaya besar untuk mengelolanya. Negaralah yang mengelola sepenuhnya dan hasilnya akan dimasukkan ke baitul maal (kas negara) dan didistribusikan melalui pos-pos pengeluaran demi kemaslahatan rakyat.


Hasil pengelolaannya dikembalikan kepada seluruh rakyat secara adil dan merata dalam bentuk fasilitas-fasilitas. Diantaranya kesehatan, pendidikan, keamanan, jalan raya dan lain sebagainya. Negara tidak mengambil keuntungan atau memperjualbelikan kepada rakyat secara komersial. Rakyat hanya mengganti biaya produksi yang layak dan murah bahkan bisa gratis. 


Pengelolaan kekayaan milik umat ini dilakukan secara mandiri tanpa ada intervensi negara manapun. Khilafah pun dengan mudah mewujudkan swasembada energi yang hasilnya akan membawa kemakmuran bagi rakyat dan menjadi kekuatan bagi negara. Bukan hanya mewujudkan kemandirian energi, melainkan menjadikan energi sebagai kekuatan diplomasi.


Karena khilafah sejak pertama berdirinya segera melakukan pengembangan infrastruktur energi yang diperlukan untuk menjamin kebutuhan dan memastikan agar energi tidak keluar dari negara dan jatuh ke tangan negara-negara penjajah.


Sang Khalifah sebagai pemimpin, sadar perannya adalah melayani rakyat. Memfokuskan periayahannya kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat agar hidup sejahtera. Bertolak belakang dengan negara yang berlandaskan sistem batil kapitalis yang membuat rakyat miskin dan sengsara. Hanya khilafah satu-satunya solusi tuntas untuk menyelesaikan permasalahan umat dan mengembalikan kekayaan milik umat, sehingga hidup makmur dan sejahtera bukan sekedar mimpi tapi benar-benar dapat dinikmati seluruh rakyat. Wallahu’alam.



Oleh: Siti Rima Sarinah

Posting Komentar

0 Komentar