Aroma Sekularisme di Balik Kebijakan Seragam Sekolah

 




Ada aturan baru untuk seragam sekolah anak-anak SD hingga SMA/SMK. Yaitu ada seragam khas dan pakaian adat, di luar seragam nasional dan seragam pramuka. Mengutip cnbcindonesia.com, 12/10/2022 disebutkan bahwa, seragam khas sekolah ditetapkan sekolah dan untuk baju adat ditetapkan Pemerintah Daerah. Keduanya dengan memperhatikan hak setiap peserta didik untuk menjalankan agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai keyakinannya. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 50 tahun 2022 yang ditandatangani Mendikbud Nadiem Makarim pada 7 September 2022.


Kebijakan ini menimbulkan pro kontra. Muncul keluhan aturan ini akan menambah beban pengeluaran di tengah kondisi ekonomi rakyat yang terengah-engah. Aturan ini juga dinilai tidak krusial, mengingat masih kompleksnya permasalahan pendidikan hari ini. Diantaranya pendidikan yang belum merata, baik dari segi kuantitas, kualitas maupun kelengkapan sarana prasana. Kemudian masalah tenaga pendidik, mulai dari skill hingga kesejahteraan. Juga kualitas output yang jauh dari harapan.


Sementara itu disebutkan tujuan dari kebijakan ini katanya untuk menanamkan nasionalisme, kebersamaan, persaudaraan, persatuan, kesatuan, kesetaraan, meningkatkan disiplin dan tanggung jawab peserta didik. Bukankah perilaku seseorang, misalnya tentang bagaimana caranya memandang dan menghargai orang lain dan sebagainya, itu tergantung dari pemikiran dan pemahamannya.? Apakah dengan kebijakan seragam ini, tujuan tersebut akan terwujud? 


Kemudian seragam sekolah yang tercantum dalam peraturan menteri ini bentuknya adalah atasan kemeja dan bawahan celana atau rok. Di sisi lain, mengutip dari suara.com, 12/10/2022, ada aturan khusus untuk siswa beragama Islam di Provinsi Aceh, yaitu wajib mengenakan pakaian seragam nasional sesuai kekhususan Aceh serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah tersebut.


Jika memang ada jaminan peserta didik untuk menjalankan agama dan kepercayaannya, maka rujukan seorang muslim dalam hal menutup aurat adalah Al Quran Surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31. Dijelaskan bahwa pakaian bagi muslimah ada dua, yaitu jilbab dan khimar. Jilbab bukan kerudung. Melainkan baju kurung terusan (tanpa potongan) yang longgar, menutupi tubuh hingga kaki, dan dikenakan diluar baju dalam yang biasa dikenakan di rumah. Sementara khimar adalah kerudung atau penutup kepala yang menutupi hingga dada. Tidak boleh dadanya terlihat apalagi dililit ke leher. Sementara untuk laki-laki, Rasulullah bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lututnya”. 


Faktanya, seragam sekolah yang ada tidak berupa baju terusan, tapi potongan atas bawah. Bahkan, tidak ada aturan untuk menutup kepala. Padahal aurat seorang muslimah itu sama, yaitu seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Belum lagi nanti ada seragam khas sekolah dan pakaian adat yang bisa jadi ada pelanggaran hukum syarak di dalamnya. Misalnya auratnya terbuka, atau bajunya terlalu tipis, atau membentuk lekuk tubuh, atau tabaruj (berlebihan) dan lain-lain. Dan setiap muslim di manapun berada, mulai dari Aceh hingga Papua, bahkan di seluruh belahan bumi manapun, punya kewajiban yang sama di hadapan Allah dalam hal menutup aurat. Jika demikian, di manakah letak kesesuaiannya dengan aturan agama?


Kondisi yang serba kabur ini adalah konsekuensi logis dari diterapkannya ideologi sekularisme. Di mana agama memang dipisahkan dari kehidupan. Aturan agama bebas dipilih dan dipilah, diatur ulang dan diubah. Aturan yang menyangkut ibadah ritual diambil, selebihnya ditinggalkan. Hingga batasan antara yang hak dan yang batil menjadi tersamarkan, tercampur bahkan tertukar.  


Berbeda dengan sistem Islam yang semuanya diatur jelas, rinci dan tegas. Mengumbar aurat dilarang dalam Islam karena akan merangsang syahwat biologis yang dapat merusak akhlak. Syahwat ini berasal dari naluri yang Allah berikan, agar manusia dapat terus melestarikan jenisnya. Namun, Allah memerintakan untuk memenuhinya dengan mengikuti aturan Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu. Ketika aturan ini dilanggar, jelas dampaknya adalah kerusakan. Marak pelecehan dan kekerasan seksual, perzinahan hingga pembunuhan (aborsi).


Allah berfirman “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun”. (QS Al Qashshash/28: 50). Juga dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Tidak beriman seseorang sampai hawa nafsunya ia tundukkan demi mengikuti apa yang aku bawa”.


Betapa sempurnanya Islam mengatur sistem kehidupan, termasuk cara berpakaian dan pergaulan. Baik laki-laki maupun perempuan saling menjaga pandangan sekaligus saling menjaga diri dengan menutup aurat secara sempurna. Namun syariat ini tidak dapat tegak sempurna tanpa sinergi antara indivisu, masyarakat dan negara.


Keimanan dan ketakwaan individu ditanamkan sejak dini, melalui pendidikan dalam keluarga dan lembaga pendidikan yang disediakan negara. Masyarakatnya menjalankan peran sebagai kontrol sosial yang tidak akan diam ketika melihat ada yang mengumbar aurat. Karena orang yang mengumbar aurat tidak hanya berdosa untuk dirinya tapi juga menjadi jalan orang lain ikut mendapatkan dosa. Kemudian negara tegas menegakkan peraturan dan sanksi sesuai syariat Islam. 


Oleh Anita Rachman



Jelas penjagaan Islam terhadap manusia sangat komprehensif dari segala sisi. Allah Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Syariat-Nya diturunkan demi kebaikan manusia di dunia dan keselamatannya di akhirat. Sementara sekularisme terbukti menimbulkan banyak kerusakan dan keterpurukan. Sekularisme memungkinkan manusia membuat aturan sendiri, bakan berani menyelisihi syariat Allah Swt. Maka, sistem manakah yang lebih baik? 



Posting Komentar

0 Komentar