Bahaya Feminisme Islam bagi Umat dan Generasi

 


Oleh: Farabella Safitri, Aktivis Muslimah di Depok


Gagasan feminisme sesungguhnya tak boleh disikapi secara abai oleh kaum Muslimin di manapun. Mengingat, kehadiran feminisme nyatanya membawa perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat, yang justru lebih menguatkan proses sekularisasi di dunia Islam.   Persoalannya, jargon ‘kesetaraan jender’ dan ‘pembebasan perempuan’ yang menjadi spirit gerakan feminisme, telah memberikan efek yang luar biasa, termasuk ke dunia  Islam.  Tidak sedikit kaum Muslimin yang  ikut mengadopsi,  bahkan mengusung ide-ide feminisme tersebut dan beberapa kalangan menganggapnya ada di dalam Islam dan menyebutnya  dengan istilah feminisme Islam.


Antusiasme sebagian masyarakat Muslim terhadap kehadiran ide ini tampak ketika mereka berupaya menghubungkan antara ide feminisme dengan Islam. Bahkan para ‘pemikir’ di antara mereka dengan bangga menyebut diri sebagai feminis Muslim.  Mereka memahami apa yang menjadi visi feminisme—seperti konsep kesetaraan gender, HAM, keadilan—sesungguhnya juga merupakan spirit ajaran Islam.  Padahal jika kita mau jeli menilai, kita akan menemukan pertentangan yang sangat jauh  antara spirit feminisme dan Islam, dari sisi manapun. 


Feminisme Meracuni Perempuan dan  Generasi Muslim


Jika kita telaah perkembangan ide ini di manapun, kita akan dapati kenyataan bahwa feminisme tidak membawa kebaikan apa pun. Bahkan yang terjadi makin rusaknya tatanan masyarakat akibat rancunya relasi dan pembagian peran di antara mereka. Feminismelah yang bertanggung jawab atas guncangnya struktur keluarga. Masalahnya, ide ini telah meracuni para perempuan untuk melepaskan diri dari ikatan dan tanggung jawab kekeluargaan yang pada akhirnya menghilangkan peran lembaga keluarga itu sendiri. Padahal kita tahu, bahwa lembaga keluarga adalah tonggak dan asas yang  pokok bagi sebuah masyarakat. 


Tidak aneh jika kemudian muncul berbagai permasalahan keluarga, seperti merebaknya kasus perceraian, generasi narkoba, fenomena single parent, free sex dan pelecehan seksual sebagai bukti  kuat rusaknya ide feminisme ini. Pada perkembangannya muncul sikap penentangan dari sebagian masyarakat yang masih sadar atas berbagai ide yang diperjuangkan oleh feminisme.  Di antaranya, tuntutan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan (kesetaraan jender) dan bahwa sifat keperempuanan bukan bentukan alami tetapi dibentuk oleh kebudayaan. Selanjutnya dari ide ini melahirkan seruan  kebebasan perempuan berdasarkan konsep individualisme dan tuntutan adanya standar persamaan hak menurut undang-undang.


Kemudian, ide feminisme ini dijadikan alat oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan umat dari pemahaman Islam, bahkan lebih kejam dari itu --disadari atau tidak-- mereka  berupaya menjauhkan perempuan Muslim dari posisi strategisnya sebagai pendidik generasi. Artinya, upaya merusak kaum Muslimah memiliki target ideologis, yakni demi mempertahankan hegemoni kapitalisme.  Salah satu caranya adalah dengan mengekspor feminisme ke dunia Islam. Dengan feminisme, mereka memprovokasi Muslimah untuk keluar dari rumah-rumah mereka, memprovokasi Muslimah  untuk menanggalkan kebanggaan menjadi ibu dan pengatur rumah suaminya, memprovokasinya untuk membenci Islam yang ditampilkan sebagai penghambat kemajuan dan mendiskriminasi mereka.  


Tidak hanya keluarga, ide feminisme juga meracuni generasi Muslim.  Remaja perempuan pun saat ini telah menjadi incaran ide ini.  UN Women menjelaskan bahwa pemberdayaan remaja perempuan merupakan salah satu bentuk investasi untuk masa depan. Selain itu, hal ini dianggap sebagai langkah yang benar dan cerdas dalam berinvestasi.  UN Women menjelaskan bahwa investasi yang dilakukan dalam pendidikan dan kesehatan remaja perempuan akan memiliki dampak positif terhadap perekonomian. Disebutkan juga bahwa ketika remaja perempuan mampu menghasilkan pendapatan sendiri, berarti dia telah melakukan investasi terhadap keluarganya sebesar 90% (beijing20.unwomen.org).     


Selain melalui berbagai agenda yang digawangi oleh UN Women, kegiatan pengarusutamaan gender di kalangan remaja perempuan dilakukan secara massif melalui lembaga pendidikan. Baik pendidikan tingkat dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi.  Pusat Studi Gender (PSG)-LPPM UNAIR (2015) menjelaskan bahwa pengarusutamaan gender di dunia pendidikan dilakukan melalui pembuatan kurikulum berbasis gender. Buku pelajaran, metode pengajaran dikembangkan dengan memperhatikan aspek kesetaraan gender. Selain itu juga mengintegrasikan gender ke dalam mata pelajaran/kuliah, misalnya sosiologi gender, antropologi gender, gender dan psikologi, dan lain-lain.


Tampak jelas bahwa ide ini tidak hanya membahayakan umat Islam, tapi juga generasi Muslim, karena saat ini sudah menyasar remaja perempuan.  Tragisnya, ide ini diterima oleh sebagian kalangan kaum Muslimin dan berupaya merealisasikannya, bahkan mengkait-kaitkannya dengan Islam, menukil beberapa nas agar bisa diterima oleh kaum Muslimin.  Padahal sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mencocok-cocokan nas dengan apa yang mereka kehendaki.  Mereka menamakan dirinya sebagai feminis Muslim.


Lalu bagaimana dengan feminisme Islam ini ? Akankah membawa kebaikan bagi umat?  Atau malah lebih besar bahayanya bagi umat Islam, sehingga tidak layak diperjuangkan ? 


Feminisme Islam 


Islam dituding sebagai agama yang tidak berpihak kepada perempuan karena sebagian aturan-aturannya dianggap terlalu maskulin, mengekang perempuan dan menempatkan perempuan pada posisi nomor dua. Akhirnya aturan Islam dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini karena bertentangan dengan konsep kesetaraan, seperti  hukum  waris, poligami, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, nafkah, pakaian Muslimah, terlebih kepemimpinan laki-laki dalam negara yang memang diharamkan bagi perempuan.  


Untuk itu mereka menuntut dilakukannya upaya reinterpretasi atau bahkan rekonstruksi nas-nas fikih perempuan, agar bisa lebih memberi rasa keadilan gender.  Semangat ini telah mendorong lahirnya feminisme Islam,  dan pada akhirnya lahir pula para feminis Muslim yang berupaya  melakukan penafsiran ulang atau lebih tepatnya penakwilan terhadap ayat-ayat  al-Qur’an. Mereka menilai ahli tafsir klasik lebih memihak kaum laki-laki.


Amina Wadud Muhsin, dalam buku Perempuan di dalam al Qur’an secara tegas menolak penafsiran yang hanya meniru mentah-mentah masyarakat Muslim awal. Karena dalam pandanganya, tidak akan pernah ada masyarakat yang persis sama dengan masyarakat lainnya. Ia mencontohkan tafsir QS an-Nisaa: 34, Arrijaalu qawwamuuna ‘alannisaa’ (Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan), sudah tidak relevan dengan kondisi  sekarang, karena pendapatan tunggal sang ayah tidak cukup bagi kelangsungan hidup yang nyaman.  Intinya, Amina menginginkan penafsiran baru yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat Muslim sekarang. 


Dalam buku Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Masdar F. Mas’udi menyoroti QS surah an-Nisaa ayat 11-12 yang berbunyi, ...bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan... Berkenaan dengan ayat ini, Masdar menyatakan bahwa sesuai dengan kondisi dan stuktur ekonomi keluarga yang real waktu itu, hak waris dipandang adil dengan rumusan 2 : 1. Namun rumusan tersebut adalah minimal. Artinya dalam kasus-kasus tertentu, tuntutan keadilan bisa saja menghendaki pembagian laki-laki dan perempuan bisa sama banyak atau bahkan perempuan lebih banyak.  


Tidak hanya itu, para feminis Muslim sadar atau tidak, sesungguhnya mereka telah menyerang syariat Islam, tapi dibungkus dengan seruan yang nampak manis dan  islami. Setidaknya  itu tampak nyata dalam  konsep keluarga bahagia yang mereka  propagandakan dengan mengangkat  slogan ’ keluarga ideal adalah keluarga feminis’. (ibtimes.id/Nopember2020).   


Poster ini mengungkapkan narasi, yang ringkasnya: keluarga feminis mendorong suami dan istri bebas memilih peran terbaiknya, pilihan bebas tanpa paksaan. Keluarga feminis menganggap suami atau istri  memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri, anak-anak, dan masyarakat. Dalam keluarga feminis, suami dan istri harus saling menghormati, menyayangi, dan mendukung perkembangan diri dan membantu kesulitan masing-masing, dengan sepadan. Dalam keluarga feminis, jika terjadi bentrok kepentingan, maka suami dan  istri menyelesaikannya dengan cara kompromi dan negosiasi, bukan siapa yang lebih mendominasi. Kesimpulan mereka, hakikat keluarga feminis yaitu hubungan kesalingan (mubadalah) dan keluarga sakinah yang membahagiakan orang lain dan diri sendiri.  


Konsep kesalingan atau mubadalah ini dalam penerapannya menafikan berbagai dalil yang menjadi pengkhususan bagi perempuan, tidak hanya berkaitan dengan keluarga.  Sebagai contoh ketika membahas hadits “Sesungguhnya perempuan itu adalah saudara sekandung laki-laki.”(HR Abu Daud), dikatakan bahwa hadis ini adalah referensi dasar bagi prinsip kesederajatan laki-laki dan perempuan.  Sehingga hak mereka adalah sama, hak untuk hidup bermartabat, beragama, berpolitik, berkeluarga, beraktivitas dalam ruang lingkup sosial, ekonomi dan pendidikan. 


Tampak jelas, dalil-dalil yang digunakan untuk melegalisasi feminisme Islam salah tempat.  Artinya dalil-dalil yang mereka gunakan tidak layak untuk membuktikan keberadaan feminisme dalam Islam.  Konsep kesetaraan inilah sesungguhnya  yang menjadi tujuan mereka agar bisa terlihat logis dan dapat diterima oleh kaum Muslimin, karenanya tidak aneh jika  pada akhirnya konsep feminisme Islam ini dijadikan kendaraan oleh musuh-musuh Islam untuk bisa menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang lurus.


Telah sangat jelas bahwa justru ide dan konsep feminisme Islam sangat berbahaya bahkan bisa dikatakan lebih berbahaya bagi umat Islam, terlebih bagi generasi Muslim kita. Mengapa ?  Karena para feminis Muslim justru semakin menjauhkan umat Islam dan diri mereka sendiri dari hukum-hukum Islam, bahkan lebih dari itu mereka aktif mempropagandakan pemikiran yang bertentangan dengan Islam ini ke tengah-tengah umat tanpa rasa bersalah.  Bagaimana nasib generasi kita mendatang?


Feminisme Islam Tidak Memberikan Kebaikan bagi Umat dan Generasi


Dari pembahasan sebelumnya, maka jelaslah bahwa secara fakta, ide-ide feminisme Islam tidak memberikan kebaikan sedikit pun, bahkan sangat  berbahaya bagi umat dan generasi Muslim. Karena mereka menggunakan nas-nas baik dari Al-Qur’an maupun hadis-hadis Rasul sebagai dalil, kemudian mereka menakwilkannya sesuai dengan keinginan mereka padahal pendapat mereka ini  bertentangan dengan Islam.   Sedangkan umat Islam yang sebagian besarnya tidak paham akan mengira hal tersebut sesuai dengan Islam karena ada landasan dalilnya.  Padahal yang demikian itu semakin menjauhkan umat islam dari pemahaman Islam yang benar.


Setidaknya hal ini tampak nyata dalam  konsep keluarga yang mereka  propagandakan dengan  slogan ’ keluarga ideal adalah keluarga feminis’. Mereka  mempromosikan bahwa keluarga feminis  adalah keluarga sakinah. Sepintas lalu seolah benar, pada hal hakikatnya  konsep keluarga feminis sungguh sangat bertentangan dengan konsep keluarga sakinah dalam Islam. Keluarga sakinah adalah keluarga taat syariat Islam, sementara keluarga feminis hakikatnya adalah keluarga liberal yang menentang Islam.


Keluarga feminis juga menetapkan jika  ada bentrok kepentingan maka suami istri menyelesaikan dengan cara kompromi dan negosiasi, bukan siapa yang lebih mendominasi dan siapa yang harus mengalah. Ini  jelas konsep yang meniadakan kepemimpinan suami  dalam keluarga  yang berarti juga serangan terhadap  syariat  Allah SWT sebagaimana firmanNya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).....” (QS an Nisa: 34). 


Tidak hanya keluarga, ide feminisme juga menyasar kalangan generasi Muslim.  Remaja perempuan pun saat ini telah menjadi incaran ide ini.  Seruan perempuan mandiri dan berdaya terus digaungkan ke semua kalangan termasuk remaja, targetnya jelas Barat memang sangat bernafsu mengeluarkan perempuan dari habitat ternyamannya dalam rumah, merusak potensi keibuan dan pengabdiannya dalam rumah tangga dan umat, dan menggantinya dengan peran ekonomi saja.  Kondisi inilah yang dimanfaatkan musuh Islam, memakmurkan perempuan secara materi namun menjauhkan mereka dari tatanan syari’at. 


Sejatinya, ketika perempuan didorong untuk mandiri, tidak membutuhkan siapapun bahkan suaminya sekalipun, ternyata ini melawan fitrah. Perempuan tetap ingin dan butuh dilindungi, ingin dijaga, mau tidak mau harus bergantung kepada laki laki, apakah suami atau walinya. Apakah kebebasan perempuan, menjadikan ia sebagai ujung tombak ekonomi keluarga membawa kebahagiaan?  Sama sekali tidak. 


Hal ini senada dengan apa yang dilontarkan para feminis Muslim, bahwa perempuan bekerja lebih utama atau dianjurkan daripada tidak bekerja.   Hal ini didasarkan kepada hadits, dari Miqdam ra., bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri” (Sahih Bukhari).  Kita bisa melihat semakin jelas  targetnya adalah mengarahkan perempuan untuk mandiri secara ekonomi dan tragisnya lagi, konsep kemandirian perempuan versi feminis ini mampu ‘menyeret’ generasi Muslimah untuk mengadopsinya. Tidak sedikit kaum muda Muslimah meramaikan bursa kerja perempuan.


Jika dicermati, ide feminisme Islam ini pada dasarnya tidak lepas dari pemikiran induknya yang merupakan bagian dari rangkaian upaya sekularisasi pemikiran Islam ke tengah-tengah umat. Ide ini menyerukan kesetaraan perempuan dan laki-laki serta mendorong perempuan mandiri dan berdaya secara materi.  Selanjutnya  ide ini meracuni para perempuan, terlebih kaum mudanya untuk melepaskan diri dari ikatan dan tanggung jawab kekeluargaan.


Ketika kaum remaja kita, generasi muda dicekoki dengan paham kesetaraan ini terlebih lagi ada penguatan dalil yang sesungguhnya itu hanya mencocok-cocokan saja agar sesuai dengan keinginan mereka, wajar jika akhirnya generasi Muslim tergiur dan terbawa arus propaganda mereka.  Kondisi ini semakin menjauhkan generasi kita dari pemahaman Islam yang lurus.


Jelaslah ide-ide feminisme dan turunannya termasuk feminisme Islam harus diwaspadai, bahkan ditolak. Masalahnya, di balik mulut manisnya, jargon-jargonnya yang menggiurkan terselip racun-racun ideologis yang sangat mematikan dan bertentangan dengan Islam.  Tidak hanya akan mengikis akidah Islam umat dan generasi Muslim, juga berpotensi terjadinya pengabaian sebagian dari ajaran Islam yang bersifat qath’i. Memang kita semua harus berupaya memajukan perempuan dan generasi Muslim, tapi tidak dengan mengabaikan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.  Justru sebaliknya dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena hanya dengan Islamlah, umat Islam seluruhnya akan berjaya.[]

Posting Komentar

0 Komentar