Banjir, Butuh Solusi Sistemis, Bukan Pragmatis!

 


 

Muslimah News, EDITORIAL — Memasuki bulan Oktober, bencana banjir kembali melanda berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan di beberapa tempat terjadi banjir bandang yang diikuti bencana longsor dan gempa.


Di Aceh utara, hari ini pemerintah daerah menetapkan status darurat banjir. Lebih dari 41.000 penduduk terpaksa mengungsi dari rumahnya beberapa hari terakhir ini. Sebagian korban dilaporkan mulai terserang penyakit. Ribuan hektar sawah mereka pun terancam puso. Sementara itu, beberapa tanggul jebol, jembatan dan berbagai fasum rusak berat.


Kondisi seperti ini juga terjadi di wilayah Aceh lainnya, mulai dari Sabang, Lhokseumawe hingga Aceh Timur. Sementara itu, di Jawa, banjir terjadi di banyak titik. Yang terbesar terjadi di Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Tangerang di Provinsi Banten. Banjir juga terjadi di Jawa Timur, Jakarta, Sukabumi, Bogor, dan Bandung.


Beberapa tempat di Bali, Maluku, Sulawesi, dan Papua juga tidak luput dari bencana banjir. Sementara di Kalimantan, banjir terjadi nyaris di seluruh wilayah. Padahal pada bulan lalu, wilayah ini sudah terendam air selama beberapa pekan.


Tidak hanya kerugian materiel, banjir kali ini juga memakan korban jiwa. Di Bali tercatat 5 orang tewas. Di Jakarta Selatan, 4 siswa MTSN 19 Pondok Labu, Jakarta Selatan tewas tertimpa tembok sekolah yang diterjang banjir dan beberapa siswa luka-luka. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan lain-lain juga tercatat ada beberapa korban jiwa.


-

Bencana Berulang, Antisipasi Lamban

-


Di laman resminya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa potensi cuaca ekstrem telah terjadi sejak 2 hingga 8 Oktober 2022. Namun, dinamika atmosfer ini diprediksi akan berlanjut hingga sepekan ke depan, yaitu mulai 9-15 Oktober 2022. Bahkan menurut Kepala BMKG, puncak cuaca ekstrem akan terjadi pada Desember nanti.


Indonesia memang termasuk wilayah potensial bencana, terutama banjir. Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang periode 1 Januari hingga 9 Oktober ini saja, sudah terjadi 2.718 kali bencana alam di Indonesia. Di antaranya, bencana banjir terjadi 1.083 kali, tanah longsor 483 kali, dan cuaca ekstrem 867 kali. Sisanya, bencana berupa kebakaran hutan, gempa bumi, gelombang pasang, dan abrasi.


Faktor cuaca, seperti adanya fenomena La Nina, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan pola angin, dan lain-lain sering disebut-sebut sebagai penyebab utama banjir. Dalam hal ini, intensitas hujan yang tinggi, durasi lama, dan frekuensi yang sering berpeluang besar menimbulkan bencana hidrometeorologi.


Masalahnya, bencana banjir ini bukan perkara baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan. Risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan pun sudah tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam.


Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam. Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Begitupun dengan dampak yang ditimbulkan. Seringkali negara gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi sebaik-baiknya.


Para penguasa sejauh ini malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi. Alih-alih mencari solusi, masing-masing sibuk mencari kambing hitam, bahkan menjadikannya sebagai bahan untuk saling serang. Wajar jika PR soal banjir tidak pernah kelar. Bahkan eksesnya makin besar dan sulit diselesaikan.


-

Problem Sistemis

-


Sebetulnya, mudah untuk memahami bahwa bencana banjir, bahkan bencana lainnya bersifat sistemis dan harus diberi solusi sistemis. Faktor cuaca ekstrem misalnya, ternyata terkait dengan isu perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang kian niradab terhadap alam, termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.


Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Bukankah Allah Swt. telah menciptakan sistem hidup yang penuh keseimbangan dan harmoni? Kehadiran hujan pun sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi laknat.


Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai. Volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran kali.


Wajar jika Global Footprint Network menyebut bahwa tahun 2020 Indonesia mengalami defisit ekologi sebanyak 42%. Artinya, konsumsi terhadap sumber daya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia dan berdampak pada berkurangnya daya dukung alam. (ipb.ac.id, 08/02/2022)


Mirisnya, semua terjadi di hadapan mata para penguasa. Bahkan, sebagian besarnya terjadi secara legal atas nama pembangunan yang abai terhadap tata ruang dan tata wilayah, sangat profit oriented, cenderung pragmatis, dan mengedepankan ego sektoral.


Hal ini niscaya karena negara dan para penguasa merepresentasikan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan, bukan urusan!


Kalaupun mitigasi bencana dilakukan, tampak semuanya sekadar upaya cuci tangan. Artinya, tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. Terlebih soal mitigasi ternyata sangat multisektoral, mulai soal pendidikan, litbang, teknologi, infrastruktur, regulasi atau kebijakan, dan tentunya butuh dana besar. Padahal semuanya masih menjadi problem besar bagi negara yang sudah tenggelam dalam utang. Sementara para kapitalis, pasti punya hitung-hitungan.


-

Kembalikan Harmoni dengan Islam

-


Sejatinya, dunia ini butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan secara diametral dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Zat Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam.


Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman. Fungsi kekhalifahan adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.


Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Syariat inilah yang mengatur halal haram, alias yang boleh dan terlarang hingga kerahmatan bisa dirasakan oleh seluruh alam.


Islam misalnya, menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. Lalu memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat, seraya dengan tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi secara serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem sekarang.


Itulah kenapa saat sistem Islam ditegakkan, tidak pernah terjadi bencana yang penyebabnya di luar faktor alam. Oleh karena itu, seluruh bencana yang terjadi pada masa itu statusnya benar-benar sebagai musibah dan ujian, bukan dampak dari kerakusan dan niradab manusia terhadap lingkungan.


Wajar jika musibah seperti ini justru memberi hikmah yang banyak, terutama membuat umat manusia makin dekat kepada Allah Taala. Bukan malah menambah jauh umat manusia dari syariat Rabbnya. Juga membuat penguasa lebih bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencegah terjadinya bencana, dan melakukan mitigasi sebaik-baiknya saat bencana tidak terhindarkan. Sebagaimana tampak ketika Sayyidina Umar ra. begitu khawatir akan Allah tanya ketika ada kambing yang terperosok akibat jalan berlubang sedikit saja.


Sungguh umat Islam hari ini harus segera bertobat kepada Allah Swt.. Kedurhakaan mereka sudah sedemikian parah hingga Allah Swt. tidak henti menurunkan bencana sebagai peringatan dalam berbagai bentuknya.


Adapun cara tobatnya adalah dengan serius berjuang mengembalikan sistem kepemimpinan Islam. Yakni dengan jalan dakwah membangun kesadaran di tengah umat tentang rusaknya sistem kapitalisme sekuler neoliberal sekaligus tentang urgensi hidup di bawah naungan syariat Islam.


Keterlibatan kita dalam dakwah insyaallah akan menjadi penggugur dosa jemaah akibat hidup di bawah naungan sistem kapitalisme sekuler neoliberal. Juga insyaallah akan menyelamatkan kita dari besarnya azab yang akan Allah timpakan kepada mereka yang durhaka.


Allah Swt. berfirman,


وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ


“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS Al-Anfal : 25) [MNews/SNA]


#Editorial

Posting Komentar

0 Komentar