Oleh : Siti Rima Sarinah
Hujan merupakan salah satu keberkahan dari Allah Swt. yang bukan hanya dibutuhkan oleh manusia saja, melainkan juga oleh tumbuh-tumbuhan dan hewan. Hujan senantiasa mengguyur Kota Bogor, kota yang dikenal dengan sebutan Kota Hujan, karena tingginya intensitas curah hujan. Secara geografis Kota Bogor terletak di ketinggian 190 sampai 330 meter dari permukaan laut dan diapit oleh beberapa gunung, yaitu Gunung Gede, Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Akibat diapit beberapa pegunungan inilah, kawasan Bogor sering dilanda hujan orografi yaitu hujan yang terjadi di daerah pegunungan. (detikjabar,19/09/2022)
Walikota Bogor Bima Arya menetapkan status tanggap darurat bencana untuk Kota Bogor, status ini berlaku hingga 31 Desember. Bima meminta seluruh aparat bersiaga terhadap segala kemungkinan terburuk imbas cuaca ekstrem yang sedang terjadi. Selama masa tanggap darurat, Pemkot Bogor akan melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap drainase-drainase di Kota Bogor untuk mengantisipasi banjir akibat aliran air tersumbat. Ia juga meminta kesediaan warga yang tinggal di lokasi rawan bencana longsor untuk direlokasi ke rusunawa. (detiknews, 13/10/2022)
Bima Arya juga melakukan patroli mitigasi bencana ke tiga titik untuk memastikan normalisasi sungai dan membersihkan sampah yang ada di bantaran aliran sungai. Banjir dan longsor di Kota Bogor terjadi di beberapa titik secara bersamaan, hingga memakan korban jiwa dan rusaknya rumah warga serta berbagai infrastruktur. Tagar pray for Bogor menjadi trending di media sosial beberapa hari ini. Berbagai upaya dilakukan pemkot Bogor agar tidak terus-menerus mengalami bencana banjir dan longsor.
Banjir dan longsor yang melanda Kota Bogor dikarenakan beberapa faktor. Hujan bukanlah satu-satunya faktor penyebab banjir dan longsor, sebab hujan sudah menjadi ciri khas Kota Bogor sejak puluhan tahun yang lalu, namun baru kali ini musibah banjir dan longsor hampir merata terjadi di wilayah Kota Bogor. Artinya penyebab terjadinya banjir dan longsor bukanlah karena hujan semata, namun lebih dari itu adalah karena kesalahan manusia dalam mengatur tata kelola kota, hingga menyebabkan rusaknya keseimbangan alam dan lingkungan.
Pengamat lingkungan, Eman Rustiadi menuturkan fenomena yang terjadi diakibatkan oleh berbagai faktor, di antaranya faktor alam dan juga kesiapan mitigasi bencana. Alam Kota Bogor yang semakin berkurang ruang terbuka hijau menyebabkan penyerapan air hujan semakin berkurang. Air hujan justru menjadi aliran permukaan yang mengarah ke sungai sehingga aliran sungai pun semakin besar. “Kondisi ini tidak sebanding dengan kesiapan mitigasi Kota Bogor. Perlu perbaikan infrastruktur, yang dulunya saluran air yang kecil cukup, namun karena kondisi lingkungan yang rusak sehingga gelombang air semakin deras. Sedangkan di sisi lain drainase tidak siap”, terangnya. Selain itu, bencana yang menimbulkan korban dikarenakan kebanyakan warga tinggal di lereng dan pinggiran sungai, yang tidak sesuai peruntukkannya. Karena masyarakat menengah ke bawah tidak bisa memilih dan hanya sanggup membeli tanah di tempat seperti itu. (RadarBogor, 12/10/2022)
Kota Bogor bukanlah satu-satunya wilayah yang sering mengalami bencana banjir dan longsor. Masih banyak wilayah lain di negeri ini yang mengalami hal serupa. Hal ini menunjukkan bahwa ada kesalahan manusia dalam mengatur tata kelola yang akhirnya menjadi penyebab rusaknya keseimbangan alam. Bahkan kesalahan ini merupakan kesalahan yang bersifat sistemik karena terjadi di berbagai wilayah secara merata.
Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah mendorong manusia untuk giat membangun, baik infrastruktur, industri, maupun bangunan pemukiman dan gedung-gedung. Sistem kapitalisme dijadikan asas kebijakan tata kelola kota dan lingkungan. Sistem ini telah banyak membuat kerusakan alam dan lingkungan. Dosen IPB dari Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Omo Rusdiana memberikan komentar terkait kualitas tutupan lahan akibat deforestasi. Wilayah resapan air yang telah banyak dijadikan lahan terbangun yang tidak mendukung fungsi resapan, berdampak terhadap tingginya aliran permukaan dan resiko banjir. Selain itu, adanya pelanggaran hukum terkait tata ruang dan lingkungan telah diatur dalam UU Tata Ruang, UU Cipta Kerja, UU Kehutanan, peraturan Presiden serta peraturan tiap daerah. (kompas.com, 21/01/2021)
Keberadaan sistem kapitalisme yang digawangi oleh para korporasi telah berhasil merusak alam dan lingkungan, yang akhirnya menyebabkan banjir dan bencana lainnya. UU yang mengatur tata kelola lingkungan dan menjaga keseimbangan alam dengan mudahnya dilanggar. Sudah tak terhitung berapa banyak lahan resapan air seperti hutan yang dibabat habis demi kepentingan segelintir orang, meskipun merugikan dan mengorbankan kepentingan rakyat.
Upaya apapun yang dilakukan untuk mengatasi berbagai bencana akan sia-sia jika upaya itu tak menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya. Selama sistem kapitalisme yang rusak dan merusak masih bertahta di negeri ini, selama itu pulalah bencana akan terus menghantui negeri ini.
Di sinilah letak perbedaan paradigma antara sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Sistem Islam sangat concern terhadap penjagaan keseimbangan alam dan lingkungan serta menjaga dari hal-hal yang berpotensi dapat merusaknya. Allah Swt. berfirman, ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (TQS Al-A’raf : 56).
Dalam sistem Islam, pengaturan tata kelola lahan harus sesuai dengan syariat Islam. Ada pemetaan wilayah untuk menentukan mana wilayah resapan air, wilayah pemukiman dan wilayah untuk pembangunan infrastruktur, dan tidak boleh merusak alam dan lingkungan. Tidak dibenarkan membabat hutan hanya untuk kepentingan segelintir orang yang menyebabkan timbulnya bencana alam. Atau mengalihfungsikannya untuk perkebunan, walaupun hal tersebut dapat mendatangkan pemasukan bagi negara.
Hutan memiliki fungsi penting bagi manusia. Dalam Islam, hutan merupakan kepemilikan umum dan hanya negara yang berhak untuk mengelolanya dan mengembalikan kemanfaatannya demi kesejahteraan rakyat. Rasulullah saw bersabda, ”Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Hutan sebagai paru-paru dunia dan sebagai daerah resapan air, tidak akan pernah berubah fungsinya ketika sistem Islam diterapkan. Negara Islam (khilafah) akan mengelola hutan sesuai dengan fungsinya, dan menutup rapat-rapat bagi individu maupun swasta yang akan menguasai atau memiliki hutan. Khilafah tidak akan mengomersilkan hasil hutan, karena untuk membiayai segala urusannya, masih ada pos-pos pemasukan lain yang berasal dari kepemilikan negara seperti fai', kharaj, usyur, dan pos kepemilikan umum, seperti batu bara, tambang mineral dan minyak bumi, dan lain-lain, tanpa harus mengalihfungsikan hutan.
Pengelolaan alam dan lingkungan yang bersumber dari zat yang menciptakannya, akan mampu melindungi dan mencegah terjadinya banjir, tanah longsor dan bencana lainnya. Ini adalah keniscayaan, karena Allah Swt. menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan dengan seperangkat aturan yang sempurna. Allah Swt. paling mengetahui aturan yang terbaik untuk setiap makhluk ciptaan-Nya. Namun, jika aturan ini diabaikan maka bencana akan terus dan terus terjadi. Wallahua’lam.
0 Komentar