Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Menjelang perhelatan pesta demokrasi akbar 2024, dinamika perpolitikan Indonesia tampak kian memanas. Seiring dengan mulai bermunculannya nama-nama calon pemimpin yang diajukan disertai dengan kasak-kusuk koalisi antarpartai, rezim justru tengah gencar menarasikan isu radikalisme. Sebabnya Kepala Staf Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, belum lama ini memunculkan isu terkait radikalisme yang diduga akan menguat menjelang pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 dikarenakan maraknya kampanye politik identitas.
Pernyataan Moeldoko jelas saja memunculkan perdebatan. Pasalnya isu radikalisme tidak jarang dijadikan alat gebuk rezim untuk membungkam pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Bahkan dosen ilmu politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, misalnya mempertanyakan pengetahuan Moeldoko terkait politik identitas dan radikalisme serta standar baku dan sumber penyebaran paham radikalisme yang dimaksud. Banyak pihak pun kemudian menyoal keabsahan narasi radikalisme-politik identitas yang sesungguhnya hingga detik ini tidak memiliki data empirik. Terlebih lagi, baik definisi “politik identitas” maupun “radikalisme” secara terminologi rentan multitafsir.
Menyoal Bahaya Politik Identitas ala Rezim
Politik identitas bisa dikatakan sebagai upaya pemanfaatan manusia secara politis yang mengutamakan kepentingan sebuah kelompok tertentu atas persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama. Ahli filsafat Hungaria, Agnes Heller, mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang memfokuskan “perbedaan” dalam masyarakat sebagai suatu kategori politik yang utama. Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya “Geertz dan Masalah Kesukuan”, menyebutkan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa politik identitas kemudian dijadikan kendaraan politik baik oleh rezim maupun pihak oposisi guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya. Yang berarti wacana politik identitas sangat mungkin digunakan oleh para elit politik untuk menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politiknya yang notabene berbeda identitasnya. Hal ini pun dilakukan melalui berbagai serangkaian propaganda yang dikemas dalam komunikasi politik yang menembus alam bawah sadar pendukungnya. Seperti halnya rezim yang hingga kini berupaya melabeli rakyat yang mendukungnya sebagai kaum moderat dan pihak oposisi sebagai kaum radikal.
Strategi politik identitas ini memang kerap digunakan sejak masa lampau. Sebagai contoh, strategi ini pernah digunakan Adolf Hitler dengan cara meyakinkan rakyat Jerman bahwa sumber krisis ekonomi dan kekalahan perang dunia mereka adalah karena pengaruh etnis minoritas, yakni orang-orang Yahudi. Kemudian ia bersama dengan partainya menjanjikan pelenyapan etnis Yahudi yang menjadikan partainya berhasil memenangkan pemilu di tahun 1932. Begitu pula di Quebeck sempat merebak narasi pemisahan wilayah Kanada menjadi dua bagian yaitu wilayah (berbahasa dan berbudaya) Perancis dan Inggris.
Bahkan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS 2016 lalu tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (islamofobia) dan antiimigran. Oleh karenanya politik identitas banyak dimanfaatkan untuk kemudian memunculkan isu “perbedaan” di kalangan masyarakat yang notabene multibudaya, multiras ataupun multietnis dan multiagama.
Di Indonesia sendiri politik identitas lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55-100). Namun secara khusus paham politik identitas yang dianggap berbahaya oleh rezim tidak lain adalah paham yang disebut-sebut dibawa oleh kelompok-kelompok “radikal” yang diidentikkan dengan identitas keislaman, yang disebut-sebut tidak sejalan dengan visi misi bangsa. Lebih jauh keberadaan para kelompok “radikal” tersebut kemudian dinarasikan oleh penguasa sebagai penyebab utama diisintegrasi bangsa dan membahayakan keutuhan bangsa.
Parahnya lagi Bawaslu ikut menyuarakan “perang” terhadap kelompok “radikal islam” yang dianggap menebar isu SARA serta ujaran kebencian terhadap pemerintah di media sosial, media digital hingga rumah-rumah ibadah dan kajian-kajian keislaman (bawaslu.go.id, 30/06/2022). Pihaknya secara tersirat menyebut kelompok yang menginginkan tegaknya Islam seperti HTI misalnya sebagai biang kerok terciptanya iklim intoleransi di negeri ini. Hal ini tidak lain karena kelompok Islam tersebut senantiasa “memperjualbelikan” politik identitas Islam yang seringkali menyenggol kepentingan rezim.
Kewaspadaan Rezim akan Politik Keislaman
Tidak mengherankan memang jika rezim tampak ketar-ketir dengan dinamika politik Islam di negeri ini. Pasalnya penguasa yang selama ini tidak becus mengurusi rakyat senantiasa mengkambinghitamkan kegagalannya pada syariat dan dakwah Islam. Pihak rezim pun berilusi bahwa persatuan dan kesejahteraan bangsa dapat terwujud dengan mengenyampingkan hukum-hukum Allah dan mengedepankan nilai-nilai nasionalisme.
Rasa waspada rezim akan identitas politik Islam kemudian kian terasa seiring meleknya masyarakat Islam Indonesia akan identitas mereka sebagai bagian dari umat. Terlebih dengan semakin merebaknya keinginan masyarakat menegakkan syariat Islam secara formal dalam hukum positif Indonesia hingga kerinduan mereka mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai khilafah dengan manhaj kenabian, semakin menyulitkan para cuan dan penguasa untuk menancapkan hegemoni dan popularitas mereka. Inilah yang pada akhirnya menjadikan rezim senantiasa memberlakukan cocoklogi adanya disintegrasi bangsa serta terpuruknya kesejahteraan rakyat dengan ghirah (semangat) umat Islam dalam menegakkan Islam kafah.
Padahal sejatinya biang kerok kerusakan umat tidak lain terjadi sebagai akibat dari diterapkannya sistem rusak semacam kapitalisme, liberalisme ataupun demokrasi yang selalu dipaksakan oleh rezim dan Barat. Dimana standar kebebasan dan nilai-nilai manusia yang kental diagungkan dalam pusaran alam sekularisme menyebabkan rakyat Indonesia semakin kehilangan jati dirinya dan jauh dari fitrah mereka sebagai hamba Allah.
Dalih rezim yang menyatakan adanya kelompok “radikal” yang melakukan politisasi agama tentu saja merupakan fitnah besar tanpa dasar. Pasalnya aktivitas amar ma’ruf nahyi mungkar yang selalu gencar dilakukan oleh para aktivis Islam kafah terhadap penguasa tidak lain adalah upaya mereka menunaikan kewajibannya dalam melakukan muhasabah (koreksi) kepada rezim yang tengah memimpin bangsa. Pun keberadaan kelompok “radikal” nan “ektrim” semacam HTI ini yang melulu menyampaikan ide-ide Islam dalam setiap aktivitasnya tidak lain adalah upaya mereka mengingatkan umat agar tidak lupa akan identitasnya sebagai umat Islam yang akan dimintai pertanggungjawabannya di yaumul hisab kelak. Jika kemudian aktivitas para “ekstrimis” tersebut dianggap sebagai aktivitas politik identitas, tentulah ini merupakan aktivitas politik yang diwajibkan bagi seluruh kaum muslimin di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya.
Sedangkan kaum muslim Indonesia seluruhnya tidak terkecuali para pemimpin muslim negeri ini memiliki kewajiban yang sama, yakni menjadikan segala aktivitasnya senantiasa bersumber kepada hukum-hukum Islam yang bersumber pada Alquran dan assunnah. Islam pun mengharuskan para hamba Allah untuk senantiasa tunduk dan patuh pada syariat tidak hanya dalam ranah privat tetapi juga ranah publik dalam kehidupan bermasyarakat hingga bernegara. Artinya, segala aktivitas politik yang dijalankan di negeri berpopulasi muslim terbesar dunia ini sepatutnya bersandar pada sistem politik Islam yang tidak pernah lepas dari penerapan Islam kafah di segala ranah kehidupan.
Pada akhirnya, menjadi hal yang alami tatkala pergerakan politik Islam yang menjadikan Alquran dan assunnah sebagai sumber hukum dan standar aktivitasnya mengalami pergesekan dahsyat dengan kepentingan rezim yang memegang teguh kepentingan korporat dan golongan. Sistem kapitalis-sekular yang menjadi kiblat penguasa negeri ini yang mengutamakan kesejahteraan kaum borjuis tidak akan mungkin bisa beririsan dengan sistem Islam kafah yang mengedepankan kebangkitan hakiki umat tanpa memandang status sosial dan ekonomi rakyat. Oleh karenanya tuduhan keji Moeldoko yang sesungguhnya ditujukan kepada gerakan Islam kafah tidak lain adalah ungkapan ketakutan dan kekhawatiran rezim akan berpindahnya kekuasaan dari tangan mereka ke tangan umat dan Islam.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar