Kehidupan sekuler memang akan terus melahirkan aneka rupa penyakit sosial yang bisa jadi pengundang azab. Berbagai penyimpangan khususnya aktivitas seksual telah memunculkan endemi mematikan seperti HIV/AIDS yang akhir-akhir ini kembali ramai diperbincangkan. Kebebasan yang menjadi kiblat kehidupan modern nyatanya menjadi tsunami bagi kelangsungan hidup manusia. Lantas, apakah solusi yang ditawarkan bisa betul-betul menyelesaikan persoalan?
Mengerikan, bersumber pada data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat pada Januari hingga Juni 2022, tercatat ada sebanyak 3.744 kasus HIV/AIDS di Jawa Barat. Lima daerah penyumbang kasus tertinggi yakni Kota Bandung (410 kasus), Kabupaten Bogor (365 kasus), Kota Bekasi (365 kasus), Kabupaten Indramayu (352 kasus), dan Kabupaten Bekasi (217 kasus). Dari data di atas terlihat bahwa wilayah Bekasi baik kota maupun kabupaten menjadi salah satu wilayah dengan gelombang kasus tertinggi. Masih berdasarkan data di atas sebagian besar korban adalah mereka dengan usia produktif, sebanyak 69,2 persen berusia 29-45 tahun dan 18,4 persen berusia 20-24 tahun.
Menurut Ketua Tim Pencegahan Penyakit Menular dan Tidak Menular Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Yudi Koharudin hubungan heteroseksual, homoseksual, biseksual, pengguna Napza suntik, dan penularan dari ibu kepada bayinya merupakan faktor penularan terbanyak. Dia juga menjelaskan ada kecenderungan peningkatan kasus HIV/AIDS setiap tahunnya di Jabar. (Kompas.com, 25/08/2022)
Hal ini segaris dengan data terbaru untuk kota Bekasi seperti dilansir dari Liputan6.com (16/09/2022), bahwa tercatat sebanyak 554 kasus HIV selama periode Januari-Agustus 2022. Sedangkan rincian kasusnya adalah sebagai berikut, Januari sebanyak 65 kasus, Februari 69 kasus, Maret 67 kasus, April 62 kasus, Mei turun menjadi 45 kasus, Juni naik 71 kasus, Juli 55 kasus, dan Agustus melonjak hingga 120 kasus. Ini merupakan angka yang dihasilkan dari tes kepada penderita yang berdomisili di Kota Bekasi. Sedangkan ada kemungkinan banyak kasus yang belum terdata, karena banyak juga penderita yang enggan untuk melakukan tes.
Pemerintah tentu saja tak berdiam diri begitu saja. Berbagai macam aktivitas dilakukan dalam rangka pencegahan HIV. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jabar dr. Ryan Bayusantika Ristandi menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan penyuluhan, sosialisasi, informasi, edukasi kepada masyarakat luas baik pelajar maupun mahasiswa terkait pencegahan HIV AIDS dan IMS dengan melibatkan berbagai pihak. Dia juga menyatakan bahwa Kemenkes telah menyiapkan kondom sebanyak 425.808 buah ke Jawa Barat (Pikiran-rakyat.com, 02/09/2022). Sedangkan untuk wilayah kota Bekasi ada sejumlah 16.560 buah kondom yang dialokasikan untuk pencegahan pelunaran HIV/AIDS (Liputan6.com, 16/09/2022).
Sebenarnya maraknya seks bebas, penyimpangan seksual, berbagai macam konten pornografi dan pornoaksi di Bekasi sebagai pintu suburnya endemi mematikan merupakan buah diterapkannya sistem demokrasi di negeri ini. Dari sinilah lahir paham kebebasan yang menganggap bahwa setiap orang boleh berpikir, berpendapat, dan bertingkah laku termasuk berpakaian dan bergaul secara bebas sesuai dengan keinginannya masing-masing. Jadi tak heran jika banyak laki-laki dan perempuan berinteraksi sesuka hati, menjalin hubungan seks di luar nikah bahkan mereka juga biasa melakukan aktivitas seks sesama jenis. Nauzubillah min zalik.
Dalam sistem demokrasi, pengaturan urusan publik diserahkan kepada manusia. Maka tak mengherankan pula ketika kebijakan-kebijakan yang lahir justru menjamin perlindungan bagi nilai-nilai kebebasan. Skema ABCDE yang merupakan singkatan dari A untuk Abstinent (tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah), B untuk Be faithful (setia), C untuk Condom use (menggunakan kondom) dan D untuk no Drug (tidak menggunakan narkoba), serta E untuk Education (pendidikan) nyatanya tak pernah bisa menjadi solusi untuk mencegah tumbuhnya penyakit yang
menyerang sistem imun ini. Justru berbagai penyuluhan dan pembagian kondom seolah menjadi kampanye tersembunyi bagi pergaulan bebas itu sendiri.
Komersialisasi terhadap naluri seks ini pun dilakukan karena dilihat berpeluang bagi kacamata kapitalis. Isu seksual dijadikan industri yang memiliki peluang besar untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Berbagai mavam konten pornografi dan pornoaksi tersebar bebas di film-film bahkan sosial media yang dikonsumsi masyarakat setiap hari. Kondom juga menjadi salah satu produknya. Segala macam bentuk borok tersebut menjadi hal lumrah dalam kehidupan masyarakat penganut sistem sekuler kapitalis liberal. Ketiganya menjadi diri khas dari sistem demokrasi yang dianut negeri ini.
Tentu hal ini tak bisa terus dibiarkan. Bagaimana bisa endemi mematikan seperti HIV/AIDS ini berakhir jika solusi yang ditawarkan tak pernah nyambung. Justru malah menyuburkan kebebasan di kalangan masyarakat.
Bencana HIV/AIDS tak akan pernah bisa diselesaikan dengan paradigma sistem yang mengagungkan kebebasan. Kita harus mencoba beralih pada sistem yang memandang bahwa setiap perbuatan manusia itu terikat dengan syariat Sang Pencipta. Inilah sistem Islam yang memiliki seperangkat konsep kehidupan yang akan menjadi solusi bagi seluruh problematika kehidupan. Di dalam Islam, Allah mengatur tidak hanya perkara individu tapi juga perkara interaksi yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini dilakukan agar terhindar dari perbuatan-perbuatan terlarang. Allah menciptakan manusia baik laki-laki dan perempuan memiliki naluri, perasaan, kecenderungan, dan akal.
Naluri seksual merupakan kecenderungan manusia untuk melestarikan jenis, sehingga di dalam Islam jelas batasan-batasan interaksi yang diperbolehkan antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seks hanya boleh dilakukan ketika sudah ada ikatan suci pernikahan. Allah Swt berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum: 21).
Islam jelas melarang khalwat, ikhtilat, zina bahkan berbagai bentuk penyimpangan seperti liwath (hubungan sesama jenis) yang menjadi penyumbang terbesar gelombang tsunami penyakit mematikan seperti HIV/AIDS. Sanksi atas pelanggaran hukum-hukum tersebut juga jelas, seperti campuk bagi pezina belum menikah, rajam bagi pezina yang telah menikah dan hukuman mati dengan dijatuhkan dari bangunan yang tinggi bagi pelaku LGBT. Sanksi ini tak hanya membuat efek jera bagi para pelaku tapi juga sebagai pencegah bagi masyarakat secara keseluruhan.
Lebih dari itu sistem Islam yang diterapkan oleh negara akan memastikan bahwa masyarakat memiliki ketakwaan yang sebenar-benarnya. Sistem ini akan mampu menumbuhkan individu-individu bertakwa yang hidupnya senantiasa terikat dengan hukum-hukum Allah. Individu takwa yang dihasilkan secara sistemis akan dominan jumlahnya. Dengan begitu, masyarakat juga akan terbiasa dengan atmosfer amar makruf nahi mungkar. Dengan begitu berbagai macam pelanggaran terhadap hukum syara' dengan mudah bisa dicegah. Oleh karena itu, berbagai macam maksiat seperti penyimpangan seksual tidak akan pernah sampai pada level darurat, bahkan habis dibabat.
Oleh: Ummu Zhafira
0 Komentar