Oleh Karina Fitriani Fatimah
(Alumnus of master degree of applied computer science, Albert-Ludwigs- Universität Freiburg, Germany)
#TelaahUtama- Menyikapi kasus tawuran remaja di ibukota yang tidak ada habisnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Selatan (Jaksel) berinisiatif menggelar festival tawuran yang dimaksudkan untuk mencegah tawuran yang membludak khususnya di Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan. Plt wakil walikota Jaksel, Ali Murtadho mengungkapkan, nantinya festival tawuran tersebut menggunakan tomat ataupun roti sebagai media pengganti batu atau benda-benda berbahaya lainnya yang biasa dipakai dalam aksi tawuran. Dari sini diharapkan aksi tawuran warga yang menjadi persoalan menahun di kawasan Manggarai khususnya dan di wilayah ibukota pada umumnya dapat diminimalkan.
Rencana gelaran festival tawuran dengan lempar tomat dan roti rupanya mendapat sambutan baik dari pihak kepolisian yang kemudian menyebut kegiatan itu layaknya festival perang tomat “La Tomatina” di Spanyol. Lebih lanjut festival tawuran rencananya akan dikemas seperti layaknya pertunjukan budaya. Dimana festival tersebut bertujuan tidak hanya untuk “memfasilitasi” ruang gerak berekspresi para pemuda dengan aksi lempar tomat tetapi juga sebagai destinasi wisata yang mampu menarik pundi-pundi cuan.
Aksi perundungan tampaknya memang sulit dilepaskan dari identitas remaja di tanah air. Pasalnya kenakalan remaja semacam ini terjadi secara berulang sekalipun beresiko besar menyebabkan cacat fisik para pelaku hingga kematian. Padahal tidak jarang pemicu terjadinya tawuran adalah hal sepele seperti perilaku olok-olok, unjuk kekuatan antar teman sebaya hingga perebutan cabe-cabean. Dimana konflik kecil di antara para pemuda justru tidak jarang berakhir dengan adu jotos yang menggiring mereka pada aksi kriminalitas.
Sepanjang 2021 saja, 188 desa/kelurahan di seluruh Indonesia menjadi arena perkelahian massal antarpelajar atau mahasiswa (pikiran-rakyat.com, 29/12/2021). Rupanya pandemi COVID-19 tidak menghalangi terjadinya aksi perundungan di berbagai wilayah, bahkan jumlah tawuran pelajar meningkat di wilayah Bogor misalnya sepanjang tahun lalu. Sedangkan secara global, data World Health Organization (WHO) pada 2020 menunjukkan setiap tahunnya terjadi 200 ribu pembunuhan di kalangan anak-anak muda usia 12-29 tahun (voi.com, 19/04/2020).
Kondisi mengenaskan para pemuda semacam ini memang benar-benar memprihatinkan dan membutuhkan perhatian besar dari berbagai pihak untuk mencari solusinya dengan segera. Hanya saja bukan berarti aksi tawuran bisa diselesaikan begitu saja dengan festival tawuran semata. Terlebih lagi festival budaya semacam ini tidak menyentuh akar masalah kenakalan remaja, dan justru terkesan menghambur-hamburkan dana rakyat dengan aksi lempar makanan yang mirisnya terjadi di negeri yang masih harus bertarung dengan kasus malnutrisi, kemiskinan serta kelaparan.
Hingga detik ini, negeri Indonesia yang dikenal kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) justru memiliki indeks kelaparan kedua tertinggi di kawasan Asia Tenggara setelah Laos. Proporsi penduduk kurang gizi negeri ini mencapai angka 6,5% dengan prevalensi balita stunting berkisar 30,8% dan angka kematian balita berada di angka 2,4% pada 2021 (databoks.katadata.co.id, 15/08/2022).
Apalagi dengan adanya pandemi COVID-19, angka masalah gizi pada anak meningkat tajam dan membutuhkan tindakan segera. Bahkan sekalipun Indonesia telah merdeka 77 tahun lamanya, negeri zamrud khatulistiwa ini masih tercatat mengimpor komoditas pangan seperti keledai, beras, gula, hingga kopi. Lalu apakah pantas jajaran pemerintahan menggelar festival tawuran yang notabene-nya menyia-nyiakan bahan pangan yang begitu berharga bagi keberlangsungan hidup rakyat?
Padahal festival “La Tomatina” pernah diberhentikan beberapa kali di negeri asalnya, Spanyol, karena mendapat protes keras dari kalangan rakyat jelata. Bahkan sekalipun beberapa negara lain seperti India dan Nigeria sempat meniru perayaan serupa, festival tersebut dibubarkan karena mendapat respon negatif masyarakat. Festival tahunan Spanyol tersebut pun tidak jarang mendapat kritikan pedas dari kalangan aktivis yang mempertanyakan betapa tidak etisnya pemborosan bahan makanan yang dihasilkan, yakni berkisar 150.000 tomat atau setara dengan 40 metrik ton tomat di tiap tahunnya.
Jika kita perhatikan, aksi kenakalan remaja semisal tawuran sesungguhnya tidak terlepas dari sistem kehidupan kapitalis yang mengagungkan ide-ide kebebasan pada individu tanpa adanya batasan yang jelas dalam ruang lingkup masyarakat dan negara. Dan tidak akan bisa dibendung hanya dengan perayaan sembrono semisal festival tomat semata.
Diperlukan adanya upaya keras dari tiap individu hingga taraf negara guna secara totalitas mencabut akar masalah tawuran. Bobroknya moral pemuda kita ketahui tidak hanya berasal dari faktor internal pribadi mereka tetapi juga faktor eksternal yang melingkupinya. Para remaja tanggung yang tengah mengalami krisis identitas, jika tidak disertai dengan pengarahan yang tepat tentulah dapat dipastikan akan berakhir menjadi pribadi yang bertujuan hidup meraih kebahagian materi melalui gaya hidup hedonis serta permisif-materialistis. Dari sini kita melihat bagaimana peran individu, orang tua, masyarakat dan negara menjadi hal yang tidak terpisahkan dalam upaya struktural mengentaskan kenakalan remaja.
Karakteristik lingkungan kapitalistik sekularistik pun menciptakan lingkungan egoistis yang membuat remaja merasa “bebas” melakukan tindakan apapun bahkan yang tidak manusiawi sekalipun. Tidak adanya bekal akidah bagi remaja muslim baik di lingkungan rumah, sekolah maupun negara pada akhirnya menjadikan generasi umat saat ini kehilangan arah dan membiarkan diri mereka terhanyut dalam lingkaran kepuasan dunia semata. Rapuhnya akidah umat ini tidak hanya terjadi karena individu remaja itu sendiri, melainkan sangat kurangnya peran orang tua terutama ibu yang semestinya menjadi madrasah utama dan pertama anak justru digantikan oleh babysitter, asisten rumah tangga, les-les tambahan sepulang sekolah atau bahkan ironisnya oleh gadget.
Selain daripada itu lingkungan masyarakat yang hedonis dan menstandarkan dirinya dengan nilai-nilai materi, menjadikan generasi muda menjadi “generasi strawberry”. Dimana mereka mudah putus asa dan tidak memiliki pendirian yang teguh. Apalagi dengan minimnya bekal akidah pada tiap-tiap anak remaja membuat mereka semakin jauh dari gelar generasi cemerlang.
Di samping itu negara yang semestinya menjadi benteng terkuat generasi muda, justru di dalam alam kapitalis menjadikan para pemuda sebagai bahan “sapi perah” para pemilik modal. Alih-alih membangun sistem pendidikan yang berfokus pada pengembangan kepribadian kuat serta beriman, sistem pendidikan negeri ini justru sibuk mencetak generasi pembebek dan pekerja. Fasilitas pendidikan yang dibangun pun tidak jauh dari upaya untuk memenuhi kebutuhan industri, yang berarti negeri ini benar-benar menganggap generasi penerus bangsa hanya sebatas aset ekonomi negara.
Besarnya jumlah pemuda dan bonus demografi yang luar biasa hanya dihitung sebagai potensi andalan untuk menggerakan perekonomian rakyat khususnya pasca pandemi. Maka dari itu tidak mengherankan jika pada akhirnya program-program pemberdayaan pemuda didominasi dengan upaya negara meningkatkan peran serta mereka dalam aspek perekonomian melalui pendidikan vokasional dan pelatihan kewirausahaan. Bahkan konsep merdeka belajar hanya ditujukan untuk menciptakan generasi produktif dan punya daya saing serta kemandirian di aspek ekonomi, tanpa memerhatikan nilai moral dan agama para generasi muda.
Akibatnya, tatkala muncul masalah remaja seperti halnya masalah tawuran, penguasa hanya fokus untuk menyelesaikan masalah cabang saja. Tidak jarang solusi yang diberikan hanyalah solusi tambal sulam yang sama sekali tidak menyentuh akar masalah generasi umat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada akhirnya masalah tawuran yang berpotensi menghilangkan nyawa manusia hanya diselesaikan dengan perayaan picisan semacam festival tomat.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
0 Komentar