Harga Pertalite Kian Menjulang, Kualitasnya Terjun Bebas?





#Telaah Utama- Usai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di awal September lalu, keluhan perihal dugaan penurunan kualitas bahan bakar minyak (BBM) RON 90 bersubsidi atau Pertalite ramai di media sosial. Menurut warganet, Pertalite saat ini dirasa lebih boros dibandingkan sebelumnya dengan pemakaian yang sama. Borosnya penggunaan Pertalite yang dirasakan masyarakat, ternyata didukung pula dengan kondisi antrean di SPBU Pertamina yang meningkat tajam. Bahkan beberapa dari pengguna kendaraan bermotor rela pindah ke SPBU swasta untuk menghindari antrean panjang, meski dengan harga sedikit lebih mahal. 


Isu turunnya kualitas Pertalite pun kian mencuat tatkala banyak warganet yang membagikan unggahan foto yang menggambarkan perbedaan warna antara Pertalite lama dan baru, yang diklaim oleh sebagian masyarakat sebagai penyebab borosnya Pertalite. Beberapa netizen ada pula yang melaporkan terjadinya kerusakan ringan pada kendaraan sejak menggunakan Pertalite harga baru, semisal kendaraan menjadi “mbrebet”, busi yang cepat menghitam hingga menyebabkan kendaraan mogok. 


Menanggapi isu tak sedap tersebut Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, menyatakan bahwa produk BBM yang dipasarkan saat ini sudah sesuai dengan spesifikasi dan melewati setidaknya tujuh proses quality control. Irto menambahkan proses quality control dimulai sejak produk BBM masuk ke tangki timbun di Fuel Terminal (TBBM) hingga tepat sebelum disalurkan ke SPBU. Bahkan setelah disimpan di tangki timbun, pihak Pertamina mengklaim pihaknya tetap melakukan quality control secara periodik. Namun nyatanya tetap saja keluhan di masyarakat masih belum mereda. 


Sekalipun memang benar bahwa perubahan warna pada Pertalite baru tidak serta-merta menyebabkan penurunan kualitas produk BBM yang dimaksud, banyaknya keluhan masyarakat terkait Pertalite baru seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya BBM bersubsidi tersebut menjadi komoditas energi yang benar-benar dibutuhkan masyarakat umum terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah.  


Pihak PT. Pertamina (persero) seharusnya mengecek penyaluran Pertalite secara langsung di lapangan, tidak cukup menutup isu hanya dengan klaim pelaksanaan quality control saja. Pengecekan dan pemeriksaan secara menyeluruh penting dilakukan seiring dengan banyaknya keluhan yang dilontarkan banyak masyarakat. Bahkan jika perlu, Pertamina melakukan engine test bed di laboratorium untuk benar-benar memastikan tidak terjadi distorsi kualitas pada produk BBM bersubsidi. 


Beberapa pakar menyatakan bahwa penurunan kualitas Pertalite bisa dimungkinkan karena massa jenis yang berubah. Dimana faktor density atau massa jenis ini mencerminkan energi per liter bahan bakar. Jika benar terjadi penurunan massa jenis pada produk maka pengguna akan mendapat energi yang lebih sedikit per liternya dari yang mereka bayar. Penurunan massa jenis BBM ini pun bisa diakibatkan oleh kondisi crude oil yang menurun secara alami ataupun adanya kemungkinan kesalahan saat proses pengolahan. 


Kasus penurunan kualitas produk energi sesungguhnya bukan kali ini saja dikeluhkan masyarakat luas. Pada 2010 lalu misalnya, terjadi distorsi kualitas bahan pompa bahan bakar kendaraan dari produsen yang merugikan konsumen. Dimana “lubricity” BBM turun yang kemudian menyebabkan banyak pompa bahan bakar yang rusak. Begitu pula dengan kasus BBM solar di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Masalah lainnya ialah kasus impor BBM Premium yang sempat menimbulkan kerusakan busi dan klep untuk mobil dan sepeda motor di wilayah Bali, Makasar dan Jember. Setelah diinvestigasi ternyata BBM impor yang dipasarkan Pertamina memakai aditif peningkat oktan berbasis mangaan (Manganese). 


Pada kasus-kasus sebelumnya Pertamina melakukan investigasi bersama dengan asosiasi kendaraan bermotor di Indonesia. Beberapa tim akademisi pun ikut terlibat. Investigasi yang dilakukan pada saat itu difokuskan untuk mencari tahu masalah dan sumbernya sehingga dapat merespon dengan tepat keluhan masyarakat serta memperbaiki kualitas komoditas energi. 


Sayangnya keluhan masyarakat yang beredar luas di kalangan pengguna kendaraan bermotor saat ini tampak diabaikan oleh pemerintah. Bukannya fokus mencari akar masalah atas dugaan penurunan kualitas Pertalite baru, rezim justru menawarkan solusi pengalihan penggunaan Pertalite ke Pertamax. Dimana Pertamax secara umum memiliki nilai kalor dan oktan yang lebih tinggi dibanding BBM bersubsidi, yang di atas kertas tentu akan menghasilkan power lebih besar dan terkesan lebih irit dibanding Pertalite. Terlebih pada 1 Oktober silam Pertamax Turbo (RON 98) mengalami penyesuaian harga menjadi Rp 14.950 dan untuk Pertamax (RON 92) menjadi Rp 13.900.  


Tawaran rezim kepada masyarakat untuk beralih menggunakan Pertamax tentu saja tidak menyelesaikan masalah pemenuhan kebutuhan energi rakyat yang carut-marut. Pasalnya harga Pertamax masih jauh di atas Pertalite. Jangankan untuk membeli Pertamax yang selisih harganya mencapai setidaknya Rp 3.900/liter, kenaikan harga BBM bersubsidi sejak awal September lalu saja sudah sangat menyulitkan perekonomian rakyat Indonesia.  


Pasalnya kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 dan harga Solar menjadi Rp8.500 telah menyulut inflasi dalam negeri. Kontribusi inflasi kenaikkan harga Pertalite diperkirakan sebesar 0,93% sedangkan kenaikkan harga Solar diperkirakan sebesar 1,04%, sehingga sumbangan inflasi kenaikan BBM bersubsidi sejak awal bulan lalu diperkirakan bisa mencapai 1,97%. Padahal inflasi pada Juli 2022 saja, salah satunya disebabkan oleh pandemi COVID-19 sudah mencapai 5,2%. Artinya, total inflasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kenaikan harga BBM bersubsidi bisa mencapai 7,17%. 


Dari sini jelas sudah bahwa yang seharusnya dilakukan oleh rezim guna menyelesaikan isu dugaan distorsi kualitas Pertalite adalah dengan mencari sumber masalah yang disinyalir telah menyebabkan kerugian di kalangan masyarakat luas. Dan bukan dengan kemudian menjajakan Pertamax sebagai solusi alternatif atas buruknya kualitas Pertalite. Begitu pun pemerintah tidak sepatutnya menaikkan harga BBM bersubsidi yang pada faktanya justru dibutuhkan oleh masyarakat menengah ke bawah. Karena sesungguhnya penguasa bukanlah “pengusaha” yang berorientasi keuntungan ketika berhadapan dengan rakyat, melainkan pengayom dan pengatur urusan umat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hari pembalasan kelak. 


Wallahu a’lam bi ash-shawab.


Oleh Karina Fitriani Fatimah

Posting Komentar

0 Komentar