Oleh : Titin Kartini
Hampir satu pekan Kota Bogor didera hujan deras dan angin kencang. Kota dengan julukan "Kota Hujan" ini mengalami berbagai macam bencana, mulai dari banjir, longsor, hingga tumbangnya pohon-pohon besar di sekitar kota. Mendapat predikat sebagai kota dengan intensitas curah hujan yang tinggi, mungkin menjadi hal yang wajar bencana tersebut terjadi. Namun pada kenyataannya, baru saat ini bencana tersebut benar-benar merata. Hampir seluruh kelurahan maupun kecamatan mengalami bencana hingga tagar "Pray For Bogor" pun terpampang di semua media cetak maupun elektronik.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bogor mengimbau warga agar waspada dan menyiagakan diri menghadapi bencana angin kencang dan hujan deras yang terjadi pada Jumat (7/10/2022). "Seperti prakiraan BMKG di Kota Bogor sejak pagi memang sudah mendung, dan saat ini hujan deras dan angin kencang, warga Bogor diimbau waspada tidak bepergian ke luar rumah untuk keamanaan diri," kata Kepala Pelaksana BPBD Theofilo Patrocinio Freitas. (www.republika.co.id, 7/10/2022)
Ketika bencana selalu datang pada musim hujan, seharusnya pemerintah sudah dapat mengantisipasi dan mengatasi, sehingga meminimalisir adanya korban jiwa maupun harta benda. Namun upaya antisipasi sejak dini tidaklah terjadi. Semua baru 'bergerak' ketika sudah ada kejadian. Inilah ciri khas negara yang menganut sistem demokrasi kapitalisme, dimana negara berperan begitu minimalis jika menyangkut kepetingan rakyat. Akan tetapi tidak demikian jika menyangkut keuntungan materi, negara akan bergerak cepat melakukannya asalkan berujung menghasilkan cuan demi penguasa dan golongannya. Miris, semua dilakukan atas dasar manfaat semata. Masih pantaskah kita terus berharap adanya perubahan dalam sistem kapitalis ini?
Negeri ini berpenduduk mayoritas Muslim, bahkan Muslim terbesar di dunia. Namun sayang akibat paham sekularisme yang ditanamkan para kafir penjajah melalui berbagai sendi kehidupan, telah menyerang dan mengikis akidah bangsa dan negara. Penguasa telah meminggirkan aturan Islam hingga batas hanya ranah individu saja. Padahal Islam hadir bukan saja sebagai agama ritual (ibadah), namun juga sebagai ideologi yang mempunyai seperangkat aturan untuk individu, masyarakat bahkan negara. Sejarah gemilang peradaban Islam telah membuktikan hal ini.
Islam dengan sistemnya yaitu khilafah mempunyai metode khas berdasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunah sebagai pedoman dan aturan hidup. Seperti apa penanggulangan bencana dalam sistem khilafah, tercermin pada sikap dan tindakan seorang pemimpin. Pemimpin dalam Islam sangat memahami bahwa setiap tindakan dan keputusan dalam mengurus rakyat akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah Saw. bersabda, "Imam adalah raa'in (penggembala) dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya" (HR. Bukhari).
Pertanggungjawaban yang berat dalam Islam adalah manakala ia diangkat menjadi seorang pemimpin, maka ia dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, "Jika ada seekor keledai terperosok karena rusaknya jalan, maka itu menjadi tanggung jawabku di akhirat kelak". Bukan hanya manusia saja, namun semua makhluk hidup di dunia menjadi tanggung jawab seorang pemimpin, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Ketika bencana datang, khalifah akan bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya. Segala usaha dilakukan seoptimal mungkin untuk mencegah terjadinya bencana serta dampak yang menyertainya. Di kala musim penghujan, Khalifah akan memaksimalkan peran lembaga semisal BMKG untuk terus memantau dan menginformasikan kepada masyarakat. Khalifah juga memetakan ulang wilayah-wilayah potensi bencana, keterbatasan daya tampung tanah terhadap curah hujan hingga negara membangun bendungan serta infrastuktur lainnya.
Dilansir pada republika.co.id (geliat-pembangunan-bendungan-di-era-islam), Norman Smith dalam bukunya History of Dam menyatakan, di era keemasannya, peradaban Islam telah berhasil membangun sederet karya besar dalam bidang teknik sipil, salah satunya adalah bendungan. Smith mengungkapkan, peradaban Islam di zaman keemasannya telah berhasil membangun begitu banyak bendungan, dengan aneka bentuk dan struktur. Kebanyakan bendungan di awal-awal kejayaan Islam dibangun oleh umat Islam.
Menurut Josef Schnitter, seorang arsitek dan ahli teknik, Muslim telah membangun banyak bendungan dengan beragam struktur dan bentuk. Mayoritas bendungan paling awal dibangun di wilayah Arabia, yang menjadi awal pusat penyebaran Islam.
Schnitter mencontohkan keberadaan Qusaybah, sebuah bendungan yang ada di dekat Madinah, memiliki tinggi 30 meter dan panjang 205 meter. Berdasarkan penemuannya, sepertiga dari bendungan yang dibangun pada abad ke-7 dan ke-8 itu masih utuh hingga sekarang.
Menurut Schnitter, pada era kekuasaan Abbasiyah, peradaban Islam telah membangun sejumlah bendungan di Baghdad, Irak. Kebanyakan bendungan itu terletak di dekat Sungai Tigris. ''Pembangunannya sudah menggunakan kemampuan teknik sipil yang tinggi,'' ungkap Schnitter.
Peradaban Islam di Iran juga berhasil membangun bendungan Kebar pada abad ke-13 M. Inilah salah satu bendungan tua peninggalan kejayaan Islam yang hingga kini masih tetap ada. Selain untuk mengatasi banjir, pada masa itu bendungan dibangun untuk mengairi area pesawahan dan perkebunan.
Di wilayah Afghanistan, kini terdapat tiga bendungan yang dibangun oleh Raja Mahmoud Ghaznah (998-1030). Salah satu bendungan itu terdapat di wilayah yang berjarak 100 kilometer dari Kabul, ibu kota Afghanistan. Bendungan itu memiliki ketinggian 32 meter dan panjang 220 meter.
Peradaban Islam juga tercatat telah mampu membangun bendungan jembatan (bridge dam). Bendungan jembatan itu digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan pertama dibangun di Dezful, Iran. Bendungan jembatan itu mampu menggelontorkan 50 kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu.
Khalifah akan memetakan daerah dataran rendah yang rawan genangan air, agar masyarakat tidak membangun pemukiman di wilayah tersebut. Khalifah akan membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, pengerukan sungai agar tidak dangkal, jalan-jalan dibangun sesuai kontur alam, dan lain sebagainya. Khilafah juga akan memberikan kompensasi untuk masyarakat yang daerahnya memang tidak bisa dijadikan tempat tinggal. Atau memindahkan mereka ke daerah yang lebih aman untuk dijadikan tempat tinggal.
Jika terjadi bencana, Khalifah akan menurunkan divisi at-Thawalani kemaslahatan umat untuk membantu daerah yang terdampar banjir. Mereka adalah orang-orang ahli dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk penanganan bencana. Negara pun menyediakan tenda-tenda darurat, makanan, pakaian dan semua kebutuhan para korban bencana. Selain itu negara juga mendorong para ulama dan kyai untuk membimbing umat menguatkan keimanan mereka, sehingga mereka rida dan ikhlas menerima ujian dari Yang Maha Kuasa.
Begitulah gambaran hubungan antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin adalah pelayan rakyat sehingga para pemimpinlah yang berada di garda terdepan ketika musibah menimpa rakyatnya. Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan rakyatnya terus berduka. Tidak seperti saat ini dimana hubungan itu tak lebih dari hubungan kontrak kerja. Oleh karenanya, menegakkan dan menerapkan hukum Allah Swt. dalam sistemnya (khilafah) menjadi sesuatu yang amat urgen untuk segera dilakukan. Demi keselamatan umat, dan terwujudnya pemimpin yang baik, di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu a'lam.
0 Komentar