Ilusi Perubahan via Demokrasi



Penulis: Luthfi Afandi, S.H., M.H. (Direktur Pusat Kajian Islam Kaffah)


Muslimah News, ANALISIS — Demokrasi memang ajaib. Walau lahir dari sejarah kelam Barat yang sekuler, sebagian muslim meyakini demokrasi sejalan dengan ajaran Islam. Walau terbukti hanya menyejahterakan elite yang sedikit, demokrasi masih dipercaya mampu menyejahterakan rakyat banyak. 


Walau terbukti banyak melahirkan politisi busuk, dalam demokrasi banyak rakyat yang tetap memilih parpol korup. Walaupun tidak pernah terbukti menjadi jalan perubahan yang benar, tidak pernah terbukti menjadi jalan penerapan syariat Islam kafah, demokrasi seperti mantra, mampu menyihir umat Islam sehingga masih ada yang percaya bahwa demokrasilah jalan satu-satunya.


Ya, “mantra” demokrasi itu masih sering kita dengar, terutama dalam momentum pilpres/pemilu. Kepada para aktivis dikatakan, “Kalau ingin mengubah sebuah bangsa, terjunlah dalam politik (baca: politik praktis). Rebutlah kursi parlemen, wali kota/bupati, gubernur, hingga presiden.” 


Kepada masyarakat awam dikatakan, “Kalau ingin bangsa ini berubah, mereka harus berpartisipasi dalam pilpres/pemilu. Dengan itu akan terjadi perubahan yang diharapkan.” Demikian seruannya.


-

Orientasi Perjuangan Umat Islam

-


Bagi seorang muslim, pelaksanaan syariat Islam secara kafah adalah kewajiban. Pelaksanaan syariat Islam kafah juga akan mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. 


Sejarah membuktikan, penerapan syariat Islam kafah dalam institusi Khilafah telah melahirkan peradaban gemilang selama berabad-abad lamanya. Sejarah Islam juga mencatat, peradaban Islam yang gemilang perlahan pudar dan sirna seiring runtuhnya Khilafah Islam sebagai institusi pelaksana syariat Islam pada 3 Maret 1924.


Oleh karena itu, orientasi perjuangan umat Islam saat ini seharusnya dalam rangka mewujudkan kembali kehidupan Islam dengan penerapan syariat Islam kafah.


-

Mungkinkah via Demokrasi?

-


Saat ini, banyak negeri kaum muslim yang menerapkan sistem politik demokrasi, Indonesia salah satunya. Pertanyaannya, mungkinkah menjadikan demokrasi sebagai jalan perjuangan umat Islam untuk menerapkan syariat Islam kafah?



Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu dijelaskan beberapa hal berikut:


Pertama, demokrasi memiliki bahaya ideologis. Pasalnya, sistem politik ini bukan berasal dari Islam, melainkan dari peradaban Barat sekuler yang jelas bertentangan dengan akidah Islam. 


Salah satu prinsip penting demokrasi adalah “kedaulatan di tangan rakyat”. Inti dari prinsip ini adalah memberi rakyat (baca: manusia) hak untuk membuat hukum dan perundangan. Prinsip ini jelas bertentangan dengan Islam. 


Menurut Islam, kedaulatan ada di tangan syariat. Yang memiliki kewenangan membuat hukum (Al-Hakim) di dalam Islam adalah Allah Taala, bukan manusia. Manusia bukanlah pembuat hukum, melainkan pelaksana hukum Islam.


Dalam sistem demokrasi, standar benar dan salah, atau baik dan buruk, bukan menurut syariat Islam, melainkan menurut akal manusia dan suara mayoritas di parlemen. Oleh karena itu, demokrasi membuka peluang yang sangat besar bagi perkara yang menurut syariat Islam diharamkan, menjadi diperbolehkan. Contohnya: riba, khamar (minuman keras), dan perzinaan yang jelas haram, di dalam sistem demokrasi ternyata dilegalkan. 


Sebaliknya, perkara yang menurut syariat Islam dibolehkan, bahkan diwajibkan, di dalam sistem demokrasi menjadi terlarang. Contohnya: hukum rajam bagi pelaku perzinaan, atau hukum kisas bagi pelaku pembunuhan. Semua itu dalam Islam wajib diterapkan, tetapi di dalam demokrasi menjadi terlarang. Inilah bahaya yang sangat serius dari sistem demokrasi.



Kedua, demokrasi menciptakan distorsi ideologi. 


Sikap yang hampir pasti akan menghinggapi para aktivis demokrasi adalah pragmatisme. Pragmatisme ini tidak bisa dihindari karena di dalam sistem demokrasi pasti terjadi kompromi, baik dengan partai politik sekuler, bahkan rezim zalim sekalipun. 


Oleh karena itu, idealisme para aktivis di dalam sistem demokrasi hanya akan menjadi cita-cita karena akan berbenturan dengan berbagai ide yang sering bertentangan dengan Islam. Sebagai contoh, UU Pornografi (UU 44/2008), dahulu sebelum disahkan, diusulkan dengan nama RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Semangatnya tentu menolak berbagai praktik pornografi dan pornoaksi di masyarakat. 


Ternyata, RUU itu mendapat berbagai penolakan dari politisi sekuler. Setelah melalui perdebatan panjang di ruang publik dan Parlemen, akhirnya RUU tersebut disahkan dengan nama UU Pornografi dengan menghilangkan kata Anti dan Pornoaksi, juga dengan substansi UU hasil kompromi berbagai pihak.



Ketiga, demokrasi hanya menawarkan sirkulasi elite di lingkaran kekuasaan, bukan perubahan sistem. 


Setiap sistem pasti memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan mengukuhkan sistemnya, tidak terkecuali sistem demokrasi. Mekanisme pertahanan dan pengukuhan sistem demokrasi dibingkai dengan aturan main yang wajib disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat, dalam hal ini oleh elite dan partai politik. 


Aturan main yang dianggap sakral dan fundamental sehingga tidak boleh diubah atau diganti oleh siapa pun mereka labeli dengan istilah “harga mati”. Maka dari itu, siapa pun yang terlibat dalam sistem demokrasi, tidak akan berani menyentuh apalagi mengubah perkara yang dianggap sebagai “harga mati”. Siapa saja yang melanggar akan dikenakan sanksi.


Demokrasi juga memiliki mekanisme agar sistemnya berjalan baik dan berkelanjutan. Untuk itu, mereka membuat event sirkulasi elite di lingkaran kekuasaan yang dilakukan secara berkala. Event sirkulasi elite ini dikemas dengan nama “pemilu”. Di Indonesia, event pemilu/pilpres hanyalah mekanisme untuk mengganti elite, mulai dari anggota dewan, kepala daerah, hingga presiden. Tidak lebih dari itu.


Oleh karena itu, sistem demokrasi memang sangat memungkinkan dijadikan jalan untuk menempatkan para aktivis dan tokoh muslim menjadi pejabat di berbagai level. Namun, sistem demokrasi tidak memberikan ruang sedikit pun bagi penerapan syariat Islam secara total atau perubahan fundamental.


-

Ilusi Demokrasi

-


Bukankah demokrasi itu pemerintahan rakyat sehingga apa pun keinginan rakyat, termasuk keinginan menerapkan syariat Islam, pasti bisa diwujudkan? Kita sering mendengar slogan indah demokrasi. Slogan yang hanya indah dalam pernyataan dan tulisan, tetapi menjadi ilusi karena tidak pernah hadir dalam kenyataan. 


Slogan tersebut dipropagandakan secara masif kepada publik dengan harapan agar masyarakat mau menerima dan meyakini demokrasi sebagai sistem politik yang layak, bahkan harus diterapkan. 


Di antara slogan palsu demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Slogan tersebut merupakan manifestasi dari inti sari demokrasi, yakni kedaulatan rakyat.


Melalui slogan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, para propagandis demokrasi terus meyakinkan publik bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik yang akan mampu mewujudkan harapan-harapan masyarakat. Mereka berdalih, kedaulatan rakyat artinya memberikan kuasa kepada rakyat untuk merumuskan hukum dan perundangan sehingga hukum yang dibuat pasti sesuai dengan harapan masyarakat.


Padahal, dalam hal merumuskan UU, realitasnya tidak mungkin seluruh rakyat terlibat. Lazimnya, pengesahan suatu UU merupakan hasil usulan dari presiden atau anggota DPR yang kemudian dibahas dan disahkan di parlemen. Artinya, yang berperan dalam menyusun dan mengesahkan UU hanyalah segelintir orang yang mengeklaim sebagai “wakil rakyat”. 


Anggota dewan di parlemen sejatinya bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai politik (parpol) karena mereka dicalonkan oleh parpol, kemudian rakyat “dipaksa” memilih calon yang ada. 


Proses pembuatan UU yang hanya melibatkan elite terbatas ini lumrah ditunggangi oleh berbagai kepentingan, terutama kepentingan para pemilik modal, jadi semacam simbiosis mutualisme. 


Elite politik membutuhkan modal (finansial), sedangkan pemilik modal memerlukan akses, perizinan, dan konsesi. Jadi, pernyataan bahwa “hukum dalam demokrasi pasti sesuai kehendak rakyat” adalah ilusi alias mitos yang sulit terealisasi dalam kenyataan. Ini karena faktanya, yang mengendalikan elite politik adalah kekuatan pemilik modal (para kapitalis).


-

Perubahan Rezim dan Sistem

-


Jika kita ingin mengetahui arah perjuangan umat Islam, tentu kita harus melihat cara Rasulullah saw. berjuang melakukan perubahan. Sebagai seorang muslim, tentu hanya Rasulullah saw. yang layak dijadikan teladan dalam segala hal, termasuk dalam hal perjuangan. 


Jika kita menelaah arah perjuangan Rasulullah saw., kita akan melihat beberapa hal penting yang bisa menjadi refleksi arah perjuangan kita saat ini.


Pertama, Rasulullah saw. melakukan dakwah secara berjemaah.


Ketika Rasulullah saw. melihat kondisi masyarakat jahiliah yang rusak, aktivitas utama yang beliau lakukan adalah dakwah. Aktivitas dakwah inilah yang mewarnai kehidupan Rasulullah saw., mulai dari dakwah kepada keluarganya, kepada orang-orang terdekatnya, kemudian lingkungan sekitarnya. Juga dari dakwah secara sembunyi-sembunyi, hingga datang perintah dakwah secara terbuka dan terang-terangan. 


Aktivitas dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. adalah aktivitas yang terorganisasi secara rapi. Beliau bukan hanya mengajak mereka memeluk agama Islam, mengajarkan mereka Al-Qur’an, tetapi juga menghimpun mereka dalam satu kutlah (kelompok) dakwah yang dipimpin oleh beliau sendiri.


Demikianlah seharusnya aktivitas dakwah. Dakwah yang memiliki target-target besar, seperti halnya mewujudkan masyarakat Islam dan menerapkan syariat Islam secara kafah, tidak bisa dilakukan sendirian, melainkan harus berjemaah agar dapat dilaksanakan dengan baik dan berkesinambungan.



Kedua, dakwah Rasulullah saw. tidak mengenal kompromi. 


Rasulullah saw. berdakwah dengan ajakan lugas, tidak bermanis muka, dan tanpa tedeng aling-aling di hadapan pimpinan Quraisy. Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara hak dan yang batil, yang benar dan yang salah. Dengan itu, benar-benar dapat dibedakan mana ajaran Islam dan mana tradisi jahiliah yang menyesatkan. 


Dalam konteks politik dan kekuasaan, Rasulullah saw. pernah ditawari tokoh Quraisy menjadi raja, dengan syarat Rasulullah saw. meninggalkan aktivitas dakwah. Tawaran tersebut pun ditolak Rasulullah saw.. Selain karena mereka tidak bersedia menerima Islam, kekuatan umat Islam masih belum solid dan kukuh, juga karena sangat kental nuansa kompromistis.


Demikianlah seharusnya para pengemban dakwah. Mereka harus tegak berdiri di atas metode dakwah yang lurus, menyampaikan kebenaran tanpa takut dengan berbagai tekanan, serta tidak tergoda oleh berbagai tawaran yang justru mengalihkan dan melalaikan dari fokus perjuangan. Apalagi hingga menggadaikan idealisme dan prinsip perjuangan.



Ketiga, orientasi perubahan yang dilakukan Rasulullah saw. adalah perubahan rezim dan sistem. 


Jika kita menelaah orientasi dakwah Rasulullah saw., akan terlihat jelas bahwa beliau melakukan dakwah bukan sekadar mengajak orang kafir memeluk agama Islam, melainkan untuk mewujudkan masyarakat Islam, yakni dengan mengganti sistem jahiliah dengan sistem Islam. 


Upaya Rasulullah saw. mendatangi berbagai kabilah yang memiliki kekuatan militer, di antaranya Bani Tsaqif, Bani Kindah, Bani Kilab, Bani Amir bin Sha’sha’ah, Bani Hanifah, Suku Aus, Khazraj, dan lain-lain, bukan sekadar mengajak mereka menerima Islam, melainkan meminta mereka menjadi penolong dakwah dan agar menjadikan wilayahnya sebagai Dar Islam.


Ketika pimpinan dan tokoh Suku Aus dan Khazraj di Yatsrib (Madinah) memeluk agama Islam, kemudian diikuti oleh para pengikutnya, Rasulullah saw. dan para sahabat hijrah ke Madinah dan menjadikan daerah tersebut sebagai Dar Islam, yakni wilayah yang diterapkan hukum-hukum Islam serta keamanannya dikontrol penuh oleh umat Islam. 


Oleh sebab itu, sesaat setelah Rasulullah saw. hijrah, beliau sendiri yang menjadi kepala negara di Madinah. Rasulullah saw. mengganti sistem dan tatanan kufur dengan Islam, mengangkat para aparat yang amanah dan memiliki kapabilitas memimpin masyarakat, serta mengurus berbagai urusan umat berdasarkan hukum Islam.


Di bidang pemerintahan, di wilayah yang sebelumnya dikuasai rezim jahiliah, Rasulullah saw. menempatkan orang yang beliau percaya menjadi wali, yakni kepala daerah setingkat gubernur. Di antaranya di Makkah, Yaman dan Shana’a, Thaif, Bahrain, Oman, Najran, Wadi al-Quro, Tayma, Yamamah, Murad dan Yaman. Rasulullah saw. juga mengangkat amil, yakni kepala daerah setingkat bupati atau wali kota di Yaman, Zabid, ‘Adn, Makkah, Thaif, Najran, Bani Hamdan, Hajar, Khaibar, Hadhramaut dan Janad.


Dalam bidang hukum, Rasulullah saw. mengangkat kadi (hakim) untuk memutuskan perkara hukum di tengah masyarakat. Beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai kadi di Yaman, Abdullah bin Naufal menjadi kadi di Madinah, Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari menjadi kadi di Yaman (Utara dan Selatan). Rasulullah saw. juga menjatuhkan sanksi kepada orang yang melanggar hukum Islam.


Apa pun yang dilakukan Rasulullah saw. setelah hijrah dari Makkah ke Madinah, sungguh bukan sekadar berpindah tempat. Beliau berhasil membalikkan keadaan, mengubah masyarakat secara fundamental, menempatkan aparat yang tepercaya, dan mengganti sistem kufur yang kemudian berubah total menjadi sistem Islam.


Oleh karenanya, menjadi jelas bagi kita bahwa orientasi dakwah Rasulullah saw. bukan sekadar mengajak orang untuk masuk Islam, mewujudkan individu yang bertakwa, melainkan juga membangun masyarakat Islam, yakni masyarakat yang diterapkan hukum-hukum Islam.


-

Khatimah

-


Sudah saatnya umat, gerakan, dan partai politik Islam mengevaluasi orientasi dan arah perjuangannya. Dakwah yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam saat ini semestinya bukan lagi untuk menempatkan tokoh-tokoh Islam menjadi anggota dewan, kepala daerah, ataupun presiden di dalam sistem demokrasi sekuler. 


Umat, gerakan, dan partai politik Islam seharusnya fokus mendakwahkan syariat Islam agar dapat diterima oleh berbagai kalangan sehingga mereka mendukung penerapan syariat Islam kafah dalam sistem Khilafah.


Jangan lagi menyatakan umat belum siap dengan dakwah syariat dan Khilafah. Justru saat ini, ketika mereka sudah muak dengan rezim zalim, sudah antipati dengan demokrasi sekuler; saatnya kita bicara, menyiapkan umat, mendakwahi elite, serta menjelaskan keagungan syariat dan Khilafah Islam. 


Insyaallah, jika semua elemen umat ini ikhlas dan fokus memperjuangkan tegaknya syariat dan Khilafah, pertolongan Allah Swt. akan hadir lebih cepat dari yang kita sangka. [MNews/Gz]


Sumber artikel: Media Al-Wa’ie tertanggal 16 Juni 2019.


#Analisis

Posting Komentar

0 Komentar