#Editorial — Negeri ini tampaknya makin tidak aman saja. Kekerasan dan tindak kejahatan terjadi di mana-mana. Korban dan pelakunya pun bisa siapa saja. Keduanya tidak kenal batas usia, level pendidikan, jabatan, kedudukan, laki-laki atau perempuan, nyatanya sama saja.
Ragamnya pun makin menggila hingga tindak kekerasan seakan sudah jadi bahasa bersama. Tidak berkenan sedikit saja, pukul tendang bisa jadi jawabannya. Bahkan, kalau perlu, hilangkan saja nyawanya.
Bayangkan saja, seorang bayi tidak berdaya bisa mati di tangan ibu bapaknya. Orang tua renta pun bisa dibunuh anak kesayangannya. Suami menganiaya istri lumrah-lumrah saja. Begitupun sebaliknya, istri menganiaya suami tampaknya makin biasa saja.
Di luar itu banyak pula terjadi kekerasan berbasis komunal. Tawuran pelajar, perundungan, pengeroyokan, dan konflik horizontal sudah jadi berita keseharian. Termasuk kasus terakhir yang terjadi di Kanjuruhan. Tidak jarang kekerasan ini menyebabkan nyawa hilang dalam kesia-siaan.
Negara, Antara Ada dan Tiada
Interaksi dalam masyarakat kita, dari hari ke hari, memang tampak makin tidak sehat. Stres sosial begitu kental terasa. Seseorang begitu mudah terpancing amarahnya. Bahkan hilang akal hingga rela melakukan perkara di luar nalar.
Penyebabnya jelas tidak sederhana. Kehidupan sekuler kapitalistik membuat individu jauh dari jalan takwa. Pendidikan yang mereka enyam nyatanya tidak mampu membuat akal mereka “jalan”.
Keluarga mandul dari fungsi mengasah kasih sayang. Sekolah pun hanya jadi ajang mengejar skill dan gelar. Sedangkan, masyarakat jadi rimba raya yang mengajarkan berbagai kerusakan, termasuk di antaranya melalui media sosial.
Peran negara justru antara ada dan tiada. Paradigma sekuler kapitalistik yang diembannya membuat fungsi strategis negara terkooptasi kepentingan pemilik modal. Alih-alih peduli dengan urusan rakyatnya, kebijakan negara justru menjadi biang munculnya berbagai penderitaan.
Lantas, bagaimana dengan urusan agama dan moral anak bangsa? Paradigma sekuler kapitalistik neoliberal justru mengharamkan keduanya masuk dalam berbagai ranah kehidupan.
Wajar jika aktivitas politik begitu sarat dengan intrik. Sementara itu, bidang ekonomi begitu timpang dan eksploitatif. Pun di bidang sosial, kehidupan masyarakat begitu sarat dengan spirit bebas dari aturan. Sedangkan bidang hukum dan hankam gagal menjamin rasa aman.
Bahkan bidang pendidikan, alih-alih menjadi sarana menyemai kebaikan, yang ada justru menjadi jalan menanamkan pola pikir yang jauh dari Islam. Bahkan penguasa membuat peta jalan yang berselisih dengan pendidikan Islam. Sampai-sampai, siapa pun yang terlalu dekat dengan agama, justru rentan distigma radikal.
Alhasil, individu dan keluarga hidup tanpa pegangan. Beban ekonomi yang makin berat, menjadi alasan mereka masuk dalam berbagai tindak amoral. Sementara itu, masyarakat kehilangan tradisi amar makruf nahi mungkar.
Semua ini tersebab nilai halal/haram makin tidak dikenal. Sementara tolok ukur perbuatan hanya nilai nisbi kemanfaatan. Kehidupan benar-benar jauh dari keberkahan. Fisik berkemajuan, tetapi aspek ruhiyah begitu kering kerontang.
Kembali pada Fitrah Islam
Kehidupan rusak seperti ini jelas bukan habitat asli umat Islam. Karena sejatinya kehidupan umat Islam penuh dengan kebaikan dan keberkahan. Peradaban mereka tegak di atas landasan iman. Pola pikir serta amal mereka bersandar pada halal/haram.
Negara dalam Islam benar-benar berfungsi sebagai pengurus dan penjaga. Peran kepemimpinan pun tidak dipahami sekadar dimensi dunia. Sebagai konsekuensinya, syariat Islam ditegakkan dengan sempurna hingga karenanya, jaminan rahmat dan kebaikan bisa mewujud di dunia nyata.
Dalam masyarakat Islam, berbagai kerusakan tidak mendapat tempat sebagaimana dalam sistem sekarang. Syariat Islam kafah yang diterapkan menjamin terjaganya jiwa, akal, akidah, harta, kehormatan, serta wibawa negara. Dengan kata lain, syariat Islam menutup celah bagi semua faktor pemicu kekerasan, termasuk merebaknya stres sosial.
Bagaimana tidak, penerapan sistem ekonomi Islam dipastikan akan menjamin keadilan dan kesejahteraan. Penerapan sistem sosial dan pendidikan, juga media massa Islam akan mewujudkan individu takwa, sekaligus keluarga tangguh dan masyarakat berperadaban. Adapun penerapan sistem hukum dan sanksi Islam, dipastikan menjamin keamanan dan ketenteraman.
Kalaupun ada kasus kekerasan dan tindak kejahatan, maka sifatnya hanya kasus dan personal. Kuatnya tradisi dakwah di tengah umat Islam akan mengisolasi penyimpangan hingga tidak menjadi fenomenal. Konsistensi penerapan sistem hukum dan sanksi Islam oleh negara bahkan akan memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan.
Jangankan yang disengaja, kekerasan atau tindak kejahatan yang tidak disengaja saja tidak akan luput dari sistem sanksi Islam. Meski tidak seberat kejahatan yang disengaja, tetapi sanksi Islam bagi pelakunya menjadi cara tersendiri untuk mendidik masyarakat agar selalu ada di jalan yang benar.
Islam mengenal kisas berupa hukuman badan atau harta kekayaan (diat) bagi pelaku penganiayaan dan pembunuhan. Apakah disengaja, mirip disengaja, atau tidak disengaja. Setiap kadar kejahatan yang dilakukan akan mendapat sanksi yang sepadan. Yang paling berat adalah hukuman mati sebagai sanksi yang maksimal.
Butuh Tiga Pilar
Tegaknya syariat Islam kafah tentu butuh beberapa prasyarat. Pertama, adanya individu-individu yang bertakwa sebagai penopang masyarakat dan negara. Kedua, kuatnya kontrol masyarakat, yang mengondisikan individu dan negara agar ada pada jalurnya. Ketiga, adanya negara berlandaskan Islam yang menegakkan syariat dengan konsisten dan sempurna.
Tanpa ketiga syarat ini, jangan harap Islam bisa tegak dengan sendirinya, lalu tiba-tiba masyarakat bisa keluar dari kondisinya yang memilukan. Semua prasyarat ini tentu harus kita upayakan bersama-sana. Caranya adalah dengan melakukan dakwah pemikiran, sesuai metode yang telah Rasulullah saw. contohkan.
Perjuangan ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan dan rintangan sudah terhampar di hadapan mata. Negara-negara penjajah, yakni para pengusung kapitalisme global telah siap memasang garis penghalang bagi kebangkitan Islam. Mereka pun berkolaborasi dengan para penguasa muslim yang jiwanya sudah tergadai oleh harta dan kedudukan.
Perang budaya dan pemikiran terus mereka lancarkan dengan segala cara. Berbagai fitnah, tuduhan, ancaman, dan tindakan hukum pada para dai pun terus digencarkan. Targetnya, umat makin terjauhkan dari cahaya Islam, dan semangat perjuangan pun kian lama kian padam.
Namun, apa yang mereka lakukan ternyata sia-sia belaka. Sejatinya umat telah melihat bahwa sistem yang tegak sekarang tidak mungkin lagi dipertahankan. Sedikit demi sedikit mereka mulai tercerahkan dengan Islam hingga satu saat, Islam akan menjadi satu-satunya harapan yang dirindukan umat Islam, dan siap mereka perjuangkan.
Kita tentu tidak perlu bertanya, kapankah saat itu tiba? Kewajibkan kita adalah memaksimalkan ikhtiar agar Allah berkenan menurunkan pertolongan sebagaimana yang dijanjikan. Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad: 7) [MNews/SNA]
0 Komentar