Kemiskinan, Keniscayaan Dalam Kapitalisme

 


Kemiskinan adalah sebuah fenomena yang hari ini begitu lazim didapatkan. Tidak hanya di desa, di kota, bahkan kota metropolis di negara besar pun, fenomena ini tampak nyata. Krisis pangan di Inggri beberapa waktu yang lalu bisa menjadi salah satu contohnya. Inilah realita sesungguhnya dari sistem Kapitalisme sebagaimana digambarkan dalam tulisan Joseph E. Stiglitz yang menyatakan “No one today can deny that there is a great divide in America, separating the very richest some times described as 1 percent and the rest.”


Karenanya jika kemiskinan ini menjadi problem yang tak berujung bagi negara berkembang, maka itu adalah hal yang wajar ada dalam penerapan sistem ekonomi Kapitalisme ini. Negara manapun yang mengadopsi sistem ini pasti akan menemui ketimpangan yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin. 


Indonesia sendiri, kini menduduki peringkat ke-73 negara termiskin di dunia, menurut World Population Review. Sedangkan menurut  gfmag.com, Indoensia menjadi negara paling miskin nomor 91 di dunia pada 2022. Dengan kata lain, Indonesia masuk dalam 100 negara paling miskin di dunia. (www.cnnindonesia.com, 30/09/2022)


Pandemi Covid-19 dituding sebagai faktor utama peningkatan kemiskinan dalam 2 tahun terakhir. Namun, harus diingat bahwa sesungguhnya kebijakan ekonomi yang pro-kapitalisme itulah yang menjadi penyebab semakin tingginya gap atau kesenjangan antara yang kaya dan miskin. 


Indonesia contohnya, menggeliatnya ekonomi pasca pandemi Covid-19 bisa dikatakan baru merangkak naik. Tapi Sabtu tanggal 3 September 2022 yang lalu, Presiden mengumumkan secara resmi kenaikan BBM yang berjenis Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, Solar subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter dan Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.


Kebijakan ini jelas akan berinplikasi pada peningkatan angka kemiskinan. Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menilai transmisi kenaikan harga BBM terhadap inflasi akan segera dirasakan di bulan September 2022. Inflasi September dan Oktober 2022 diproyeksi bisa tembus 6,5% - 7% dan angka kemiskinan 2022 bisa naik ke 10,3% - 10,6% (www.cnbcindonesia.com, 6/09/2022)


Jadi kebijakan yang pro kapitalisme inilah yang menjadi dalang bagi peningkatan angka kemiskinan. Banyaknya tarikan kepentingan dari para pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalisme ini benar-benar tak terelakkan. Sebagai contoh, munculnya Keputusan Menteri BUMN pada 12 Juni 2021 yang dicurigai sebagai upaya untuk mensiasati isi pasal 77 ayat c dan d dari UU BUMN Nomor 19 tahun 2003. UU BUMN itu melarang di privatisasi BUMN yang mengelola sumber daya alam untuk kepentingan hajat hidup orang banyak seperti diamahkan pada pasal 2 dan 3 UUD 1945.


Berkelindannya berbagai kepentingan di kalangan para elit politik jelas membuat kepentingan masyarakat akhirnya dikorbankan. Pasca kenaikan harga BBM, jagat sosmed diramaikan dengan borosnya pertalite. Bisa dibayangkan, satu sisi harga barang dan kebutuhan kian melangit, di sisi lain pengeluaran terbesar justru hanya untuk kebutuhan transportasi yang sangat boros. Inilah salah satu dampak dari kebijakan yang bersandar pada kepentingan kaum kapital.


Karenanya sistem ekonomi yang bersandar pada kepentingan para kapital ini benar-benar tidak layak untuk dipertahankan, apalagi digunakan untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan akibat kebijakan struktural semacam ini akan terus ada selama sistem semacam ini yang digunakan. Wallahua’lam.


Kamilia Mustadjab 



Posting Komentar

0 Komentar