Indonesia Bersinar atau Indonesia Bersih Narkoba tampaknya masih sebatas cita-cita. Meski Badan Narkotika Nasional (BNN) RI sudah mencanangkan jargon “Kerja Cepat, Kerja Hebat, Berantas Narkoba di Indonesia”, serta slogan “Speed Up, Never Let Up” sebagai spirit untuk menggelorakan perang terhadap narkoba, tetapi nyatanya gurita mafia narkoba kian hari kian mencengkeram Indonesia.
Betapa tidak? Sejak 2019 hingga 2024 mendatang, Pemerintahan Jokowi sudah menetapkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (RAN P4GN). Namun faktanya, kasus-kasus terkait narkoba terus saja bermunculan.
Pelakunya pun bukan hanya masyarakat biasa. Banyak aparat kepolisian, bahkan level pejabat turut terseret kasus narkoba. Pada 2019 saja, jumlahnya mencapai 515 orang. Angka ini dari tahun ke tahun terus meningkat.
Penangkapan Irjen Teddy Minahasa oleh Divisi Propam Polri beberapa waktu lalu hanyalah salah satunya. Kapolda Sumatra Barat yang dalam proses mutasi menjadi Kapolda Jawa Timur ini ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga menjadi pengendali penjualan narkoba jenis sabu-sabu seberat lima kilogram.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipidnarkoba) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri juga menangkap Kepala Satuan (Kasat) Reserse Narkoba Polres Karawang AKP Edi Nurdin Massa. Ia diduga terlibat dalam sindikat peredaran gelap narkoba yang biasa beroperasi di tempat hiburan malam (THM) di Kota Bandung dan sekitarnya.
-
Darurat Narkoba
-
Indonesia memang dikenal sebagai salah satu basis penting peredaran narkoba di dunia. Selain menjadi tempat lalu lintas peredaran narkoba, jumlah penduduknya yang besar serta wilayahnya yang luas dan terbuka menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar menggiurkan bagi sindikat narkoba internasional. Bahkan, diduga kuat, Indonesia pun sudah menjadi basis produksi beberapa jenis narkoba.
Tidak heran jika dalam rentang waktu 2021 hingga pertengahan 2022 ini saja, BNN RI berhasil mengungkap 55.392 kasus tindak pidana narkoba yang melibatkan 71.994 orang tersangka. Adapun barang bukti yang berhasil disita di antaranya berupa 42,71 ton sabu-sabu, 1.630.102,69 butir ekstasi, 186,4 kg kokain, dan 71,33 ton ganja,
Selain itu, dalam rentang waktu yang sama, BNN RI pun berhasil mengungkap 20 kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari kejahatan narkoba dan mengamankan 25 orang tersangka dengan nilai total aset yang disita mencapai Rp122.508.814.354. Jika dihitung dari rentang tahun-tahun sebelumnya, tentu angkanya akan sangat besar dan tersangkanya akan lebih banyak.
Terkait wilayah-wilayah yang rentan menjadi pintu masuk peredaran narkoba, BNN RI mengungkap bahwa sebanyak 80% peredaran narkotika internasional masuk ke Indonesia melewati jalur lautan. Titik yang paling banyak ada di Sumatra, khususnya mulai Aceh ke bawah hingga ke Tanjung Balai, Asahan, kemudian lanjut ke Kalimantan Utara. Namun, jalur darat dan udara Indonesia pun cukup terbuka, misalnya dari Kalimantan Utara bisa sampai ke Jakarta.
Yang pasti, peredaran narkoba sudah hampir merata terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Berbagai jaringan internasional telah menjadikan Indonesia sebagai sasaran utama bisnis mereka.
Semua kalangan pun telah dijadikan sebagai sasaran, baik pengguna maupun pengedar. Bahkan, mereka berhasil memalingkan pihak-pihak yang seharusnya ada di garda terdepan peperangan untuk menjadi kaki tangan kejahatan dengan iming-iming keuntungan yang sangat menggiurkan.
-
Ancaman bagi Generasi Muda
-
Kepala BNN RI Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose pernah mengungkapkan, prevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2021 adalah sebesar 1,95% atau 3,66 juta jiwa dari jumlah penduduk sekira 275 juta jiwa. Angka ini naik 0,15% dari 2019 yang saat itu prevalensinya sekitar 1,80%.
Mirisnya, data BNN pun menunjukkan bahwa 70% pengguna tersebut, rata-rata masuk dalam rentang usia produktif, yakni 15—65 tahun. Sebanyak 27% di antaranya adalah kalangan remaja.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menemukan bahwa pada 2021, angka coba pakai narkoba di kalangan remaja mencapai 57% dari total penyalahgunaan narkoba. Sementara itu, dari sekian banyak anak yang terjerat kasus narkotika, 82,4% berstatus pemakai; 47,1% berperan sebagai pengedar; dan 31,4% sebagai kurir.
Fakta ini tentu sangat memprihatinkan. Apalagi penggunaan narkoba dan peredarannya, kian sulit untuk dideteksi dan dibuktikan. Kecanggihan teknologi, termasuk teknologi digital justru telah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan diversifikasi produk dan meluaskan jaringan pengedar dan target pasar.
Lantas, bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika generasi muda makin akrab dengan narkoba dan berbagai tindak kejahatan? Bagaimanapun, selain sebagai suatu kejahatan, penyalahgunaan narkoba pun akan memicu kejahatan lanjutan dan dipastikan akan berdampak pada kualitas akal, mental, dan fisik generasi ke depan. Selanjutnya, tentu situasi ini akan menjadi ancaman bagi peradaban umat di masa depan, yakni lost generation.
Tidak heran jika peredaran narkoba di Indonesia disebut-sebut terindikasi telah menjadi instrumen proxy war oleh negara luar. Targetnya adalah melemahkan ketahanan bangsa sehingga mudah dijajah dan dijarah kekayaannya. Terlebih negeri ini adalah negara muslim terbesar. Saat generasi mudanya berhasil dilemahkan, tentu akan sulit bagi bangsa ini untuk meraih kebangkitan dengan kehebatan ideologi Islam.
-
Selamatkan dengan Islam!
-
Penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal meniscayakan narkoba menjadi mustahil diberantas. Ketidakhadiran agama dalam kehidupan, serta kentalnya paham sekuler dan kebebasan, baik dalam sistem ekonomi, sosial, hukum, sanksi, pendidikan, dan media massa, justru menjadikan masyarakat seperti ini sebagai habitat yang cocok bagi tumbuh suburnya berbagai kemaksiatan, termasuk penggunaan dan bisnis narkoba di kalangan generasi muda.
Dalam sistem seperti ini, fungsi keluarga, masyarakat, dan negara benar-benar mandul. Strukturnya rapuh karena tidak tegak di atas landasan takwa. Terlebih urusan moral tidak jadi urusan negara. Bahkan, negara menjadi produsen kerusakan dengan penerapan aturan yang bukan dari Islam. Lalu pada saat yang sama justru melakukan “perang” terhadap semua ikhtiar untuk mengembalikan Islam dalam kehidupan dengan menstigmanya sebagai gerakan radikal.
Dalam situasi ini, keluarga atau orang tua pun tidak lagi mampu berfungsi sebagai madrasah dan benteng pertama bagi anak-anaknya. Keluarga larut dalam problem ekonomi dan relasi yang jauh dari ideal dan harmoni. Sementara itu, masyarakat menjadi rimba raya yang merusak fitrah kebaikan generasi mudanya.
Walhasil, anak-anak dan remaja pun tumbuh dalam habitat yang jauh dari harapan. Ketahanan ideologi mereka lemah, selemah ketahanan ideologi keluarga, masyarakat, dan negara. Wajar jika negeri sebesar dan sekaya seperti Indonesia ini mudah dijajah dan didikte negara-negara lainnya. Sumber dayanya dikuras, manusianya diperbudak demi kepentingan kapitalisme global.
—
Oleh karena itu, sudah saatnya generasi umat ini diselamatkan dengan penerapan sistem Islam. Hanya sistem Islam yang punya visi penyelamatan generasi ke depan, bahkan menjadikan generasi muda sebagai benteng perubahan sekaligus benteng peradaban.
Negara dalam Islam (Khilafah) tegak dengan landasan iman (akidah) dan menjadi penanggung jawab utama penerapan seluruh hukum-hukum Islam. Sepanjang sejarah kejayaan peradaban Islam, akidah dan penerapan hukum-hukum Islam inilah yang menjadi rahasia kekuatan umat Islam. Belasan abad mereka memimpin dunia dan menebar rahmat ke seluruh alam.
Dalam sistem Islam, generasi umat benar-benar terjaga. Ini karena negara benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga. Dimensi ruhiah yang lekat dengan kepemimpinan Islam, membuat negara atau para penguasa tidak abai dengan moral rakyatnya. Mereka terus memastikan tidak ada satu perkara pun yang akan membahayakan akal, fisik, dan mental mereka. Bahkan, urusan akhirat rakyatnya juga menjadi perhatian negara.
Negara Islam pun menjadi support system lahirnya keluarga dan masyarakat ideal. Fungsi keduanya benar-benar berjalan karena ditopang oleh penerapan sistem hidup yang juga ideal.
Berbagai sistem Islam, yakni ekonomi, sosial, hukum dan sanksi, pendidikan, media massa, dan sistem Islam lainnya, benar-benar menjamin kehidupan yang penuh ketenteraman, kesejahteraan, dan keberkahan.
Inilah yang Allah Swt. janjikan dalam Al-Qur’an. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)
Oleh karenanya, sampai kapan sistem rusak ini kita pertahankan? Tidakkah kita rindu hidup di bawah naungan sistem kepemimpinan Islam? [MNews/SNA]
#Editorial
0 Komentar