Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan secara resmi menjadi capres usungan Partai NasDem dalam helatan Pilpres 2024, yang diumumkan langsung oleh Ketua Umum, Surya Paloh. Surya menyebut Anies menjadi sosok yang mampu untuk meneruskan pembangunan di Indonesia dan menilai prinsip serta perspektif Anies sejalan dengan apa yang diyakini oleh Partai NasDem. Adapun pihak Anies Baswedan sendiri telah menerima dan mengaku siap kala dirinya dideklarasikan oleh Partai NasDem untuk maju sebagai capres dalam Pemilu 2024 mendatang.
Usai pendeklarasian Anies sebagai capres yang diusung NasDem kemudian membuat beberapa ahli menilai langkah partai jebolan Surya Paloh tersebut merupakan upaya Partai NasDem memanfaatkan efek ekor jas (coat-tail effect). Artinya ketika NasDem mendeklarasikan pertama, secara tersirat mengatakan bahwa Anies adalah kader NasDem, bukan kader PKS, Demokrat ataupun partai-partai lain yang disinyalir tengah berupaya mendekati pihak Anies pula. Spekulasi ini pun akhirnya terbukti dengan klaim NasDem yang meminta pihak manapun yang hendak mendukung Anies dalam ajang Pemilu 2024 untuk senantiasa berkomunikasi dengan pihaknya.
Padahal sebelumnya dalam penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada Juni 2022, NasDem sempat mengumumkan tiga nama yang akan menjadi bakal capres, yakni Anies Baswedan, Mohammad Andika Perkasa dan Ganjar Pranowo. Maka dari itu, pendeklarasian Anies awal bulan ini kemudian menimbulkan banyak tanda tanya dan menilai keputusan Surya Paloh cukup tergesa-gesa.
Tidak dapat dipungkiri memang bahwa dengan pendeklarasian ini, NasDem berpeluang mendapatkan ceruk suara pada Pemilu 2024 karena dianggap Anies akan mampu menaikkan elaktibilitas NasDem. Namun belum juga pesta demokrasi 2024 dimulai, langkah “berani” NasDem ini berpotensi membuat partai tersebut ditinggalkan oleh sebagian pemilihnya terutama dari kalangan akar rumput (grassroot). Yang tidak lain hal ini terjadi karena adanya split ticket voting atau terbelahnya dukungan politik pemilih dalam dua agenda pemilihan yang berbeda. Fenomena itu sangat mungkin terjadi pada pemilih Nasdem lantaran ada ketidaksesuaian antara pilihan elite dengan suara akar rumput terhadap sosok capres yang diusung.
Hasil survei Voxpol Center Juli lalu misalnya, menunjukkan bahwa responden dari kalangan akar rumput di daerah Indonesia Timur seperti Papua, NTT, dan Manado lebih memilih Ganjar Pranowo untuk diusung sebagai capres (78,8%) ketimbang Anies (36,7%). Sementara Anies unggul di wilayah DKI Jakata (81,3%), Jawa Barat, dan Banten. Dari sini kita melihat bagaimana NasDem masih membutuhkan strategi pamungkas lainnya guna secara meyakinkan mampu meraih suara gemuk dalam Pemilu 2024. Selain itu, NasDem diharuskan pula mencari rekan koalisi untuk memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan benar-benar mengantarkan Anies ke panggung pilpres.
Bisa dikatakan bahwa Anies Baswedan merupakan sosok yang cukup menonjol namanya dalam ajang pemilu 2024 kelak. Politikus yang telah menggeluti dunia politik sejak 27 Agustus 2013 setelah tergabung dalam Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat makin mencuat pamornya setelah memenangi Pilkada Jakarta 2017 bersama Sandiaga Uno.
Yang menarik adalah sosok Anies kemudian banyak diidentikkan dengan “aspirasi umat Islam”. Dengan memiliki latar belakang sebagai aktivis organisasi Islam serta keturunan pejuang dan pahlawan kemerdekaan, Anies menjadi pribadi yang cukup dielu-elukan oleh kaum muslimin Indonesia. Terlebih pasca Aksi Bela Islam 212, Anies menjadi kandidat yang mendapat dukungan besar dari berbagai organisasi Islam guna melengserkan kepemimpinan Ahok kala itu. Bahkan sepanjang kepemimpinannya, Anies tampak cukup sigap memfasilitasi pergerakan Aksi 212 lanjutan yang diadakan di tahun-tahun berikutnya.
Namun dengan pendeklarasian Anies melalui NasDem, beberapa faksi Islam justru membalikkan badan dan menarik dukungannya dari Anies. Petinggi Persaudaraan Alumni 212 (PA 212), Novel Bamukmin, misalnya menegaskan pihaknya tak bersedia mendukung Anies yang baru saja dideklarasikan sebagai capres NasDem. Partai NasDem disinyalir memiliki siasat memanfaatkan politik identitas dari sosok Anies dan kondisi tersebut bisa memecah belah umat. Terlebih rekam jejak NasDem selama ini ikut berperan mengkriminalisasi ulama dan menghina umat Islam melalui para kadernya.
Dari sini kita melihat dengan jelas bagaimana kaum muslimin akhirnya hanya dijadikan alat untuk menghimpun suara pemilu. Sosok Anies Baswedan sebagai tokoh nonpartai yang menjadi representasi kelompok Islam dan sering dipersepsikan sebagai antitesis postur politik Jokowi, kemudian dirangkul sebagai jalan meraup kursi kekuasaan dalam perhelatan pesta demokrasi 2024 kelak. Dalam alam demokrasi, perseteruan pilpres pada kenyataannya hanyalah berbicara intrik dan politik transaksional, dimana kemenangan akan berhasil diraih dengan hasil lobi-lobi politik yang menjadi fokus kerja para pemangku kebijakan.
Di sisi lain Anies Baswedan sendiri memang membutuhkan sokongan dari partai politik jika tetap ingin menjadi kontestan Pilpres 2024. Karena pada hakikatnya dia akan kehilangan kesempatan emas menuju tampuk kekuasaan tertinggi jika tidak segera mencari kendaraan politik. Walhasil baik pihak Anies maupun NasDem dan parpol lainnya dalam koalisi bergerilya serta memasang kuda-kuda demi merebut kursi kepemimpinan semata.
Oleh karena itu jelas terlihat bagaimana indepedensi calon yang diusung parpol semisal Anies tidak akan benar-benar mampu merangkul aspirasi rakyat. Pasalnya para calon yang diangkat partai koalisi, sekalipun merupakan kandidat nonpartai, tetap mengharuskan dirinya menyesuaikan “pesanan politik” tiap-tiap kepentingan partai. Tidak terkecuali Anies diwajibkan untuk manut pada political agreement yang menjadi landasan terciptanya koalisi. Pada akhirnya para pemimpin terpilih pun nantinya tidak lagi fokus berpihak kepada urusan rakyat, melainkan bertindak sebagai petugas partai.
Terlebih jika umat berharap sosok Anies akan mampu menjadi tonggak perjuangan Islam, tentu ini hanyalah isapan jempol belaka. Pasalnya selama masa jabatan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, tidak serta-merta menjadikan syariat Islam sebagai primadona. Meski benar Anies sempat "berhasil" menutup beberapa tempat hiburan malam di Jakarta, tetap saja dunia remang-remang ibukota masih menggurita. Jangankan untuk menerapkan perda syariah, Anies dan jajarannya tidak mampu membendung industri miras yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung pendanaan daerah.
Anies pun dianggap masih gagal memenuhi seluruh janji kampanyenya tatkala hendak maju ke perhelatan pemilihan gubernur beberapa tahun silam. Isu-isu lama yang senantiasa menghantui ibukota seperti kriminalitas, banjir atau kemacetan pun masih belum tuntas. Yang ada capres usungan NasDem tersebut pun tampak lebih "memamerkan" buah karya kapitalis semisal ajang bergengsi Formula E dan peresmian Jakarta sebagai kota global. Alhasil, pencapaian Anies hingga detik ini sangat condong kepada kaum borjuis bukan rakyat jelata.
Karena sesungguhnya politik pragmatis yang mendarah daging dalam alam demokrasi pastinya senantiasa membuat parpol dan para pemimpin yang berkuasa hanya disibukkan dengan upaya perolehan kursi. Yang kemudian membuat mereka tidak segan-segan mengelabui rakyat guna memperpanjang umur kekuasaan dengan prestasi-prestasi semu dan bukan kesejahteraan hakiki umat. Jangankan memikirkan kesejahteraan rakyat, tampak jelas baik NasDem ataupun Anies kini justru disibukkan dengan berbagai upaya pendekatan politik guna memastikan kemenangan pada Pemilu 2024. Dengan bobroknya politik demokrasi, pantaskah umat masih berharap pada sosok Anies?
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Oleh Karina Fitriani Fatimah
0 Komentar