Panas Pemilu Semakin Membara, Bukti Kekuasaan Menjadi Ambisi

 



Euforia pemilihan umum (pemilu) 2024 sudah mulai terasa. Terlihat dari aktivitas wakil rakyat dan partai pengusungnya mulai bersiap-siap mencari strategi jitu untuk bisa meraih kursi kekuasaan. Pesta demokrasi yang diadakan per lima tahun sekali ini, telah banyak menyita perhatian masyarakat dengan berbagai aktivitas yang dilakukan partai politik  dan calon pendukungnya, seperti memberikan bantuan sosial dan aktivitas sosial kemasyarakatan lainnya.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto menargetkan partainya meraih tiga besar posisi partai di Kota Bogor yang memenangkan pemilu 2024. Bima mengatakan akan lebih bagus lagi kalau banyak kader perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor, bahkan menjadi calon Walikota atau Wakil Walikota. Yang terpenting semua kader bersiap untuk mengemban amanah partai, ditempatkan untuk bertarung di pemilu 2024. (Republika.co.id, 09/10/2022)

Menggelar acara bertajuk “Munajat Cinta untuk Anies Baswedan Presiden 2024” di Graha Hj. Siti Hindun Bogor Selatan, relawan Anies Baswedan menggelar acara tersebut bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. yang bertujuan mendoakan Anies agar dipurna tugasnya mendapat kebaikan. Para relawan juga mendoakan dan berharap agar Anies bisa maju menjadi calon Presiden Republik Indonesia pada pemilu 2024 nanti. Dalam acara tersebut dihadiri oleh alim ulama, tokoh masyarakat, akademisi, dan masyarakat Jawa Barat, khususnya Bogor Raya dan Sukabumi. (detiknews, 08/10/2022).

Berbagai upaya dilakukan oleh parpol untuk mencari dan mendapatkan dukungan bukan hanya dari masyarakat, melainkan juga para ulama dan tokoh masyarakat. Tidak dipungkiri, mendapatkan dukungan dari ulama dan tokoh masyarakat akan memberikan peluang besar bagi parpol untuk bisa berhasil meraih tampuk kekuasaan yang mereka inginkan.

Sangat terasa panas pemilu yang semakin membara, membuat parpol dan calon yang diusungnya mencari setiap peluang dan celah demi meraih ambisinya dalam perhelatan akbar pesta demokrasi. Dan memastikan bahwa partainya yang menjadi pemenang dan  menduduki posisi strategis di kursi pemerintahan nantinya.

Berbagai cara mereka lakukan untuk menaikkan dan menguatkan posisi kekuasaan mereka. Padahal di sisi lain, mereka minim prestasi dalam mengurus rakyat. Bahkan mereka nyaris mengabaikan urusan rakyat demi mengedepankan kepentingan mereka. Dan hal ini telah berlangsung berulang kali dalam setiap pesta pemilu. Tak ada secercah harapan bagi rakyat dengan adanya pergantian penguasa. Nyatanya rakyat terus hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan akibat kebijakan yang lahir dari penguasa mereka.

Inilah pesta demokrasi yang digadang-gadang akan mengakomodir kepentingan rakyat dengan jargon "Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Nyatanya jargon ini hanyalah lip service tanpa ada realisasinya hingga kini. Belum lagi, biaya yang harus dikeluarkan untuk pesta demokrasi ini sangatlah mahal. Money politic dan suap-menyuap turut mewarnai gemerlapnya pesta pemilu. Namun, hasilnya adalah penguasa yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat dan malah sebaliknya pro kepada korporasi dan penguasa sebagai kompensasi politik atas dukungannya di ajang pemilu. 

Ditambah lagi, para penguasa hasil cetakan sistem demokrasi adalah pejabat-pejabat yang tidak amanah dan bahkan banyak yang menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri. Dilansir dari laman resmi KPK, dalam semester pertama tahun 2022,  sebanyak 99 kasus yang terdiri dari 63 kasus carry over dan 36 kasus baru. Yang menimbulkan kerugian uang negara akibat tindak pidana korupsi sebesar Rp 313,7 miliar.

Apa yang bisa diharapkan dari penguasa hasil pemilu yang justru hanya memberikan kerugian besar bagi negara dan rakyat. Pasalnya, keberadaan mereka di panggung politik sebagai bukti bahwa kekuasaan hanyalah ambisi demi kepentingan mereka, parpolnya dan korporasi/penguasa yang mendukungnya. Sehingga tidak akan pernah ada harapan mereka akan mau mengurusi kepentingan rakyat. Mereka hanya membutuhkan suara dan dukungan rakyat dengan memberikan janji-janji manis kala masa kampanye sedang berlangsung. Setelah itu, rakyat dan janjinya pun mereka lupakan begitu saja. Pepatah pun mengatakan "Habis manis, sepah dibuang". 

Rakyat tidak membutuhkan penguasa yang lahir dari sistem yang menuhankan materi di atas segalanya. Rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang amanah, peka dan peduli serta menjadi pelayan bagi kepentingan rakyat. Sangat jelas, sosok ini tidak akan pernah ditemukan dalam sistem kapitalis sekuler yang berasal dari akal manusia yang lemah. Melainkan sosok pemimpin seperti ini hanya akan lahir dari sistem yang berasal dari sang pencipta manusia, yaitu Allah Swt.

Islam memiliki seperangkat hukum yang sempurna dan paripurna. Islam pun telah menetapkan mekanisme yang baku dalam memilih seorang pemimpin (Khalifah) dan para pejabat pemerintahan lainnya. Calon pemimpin harus memenuhi syarat dan seleksi ketat untuk menjadi pemimpin yang akan mengurusi urusan umat. Karena pada hakikatnya, sosok pemimpin adalah orang bertanggungjawab atas rakyatnya sebagai amanah yang diembannya. Bukan mengurusi kepentingan pribadi dan parpolnya semata, serta menelantarkan rakyat seperti yang terjadi dalam sistem yang diterapkan saat ini. Selain itu, pemilihan pemimpin dalam Islam berbiaya murah, dengan menghasilkan output yang berkualitas dan jauh dari politik pencitraan.

Adapun mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam antara lain: pertama, membangun filosofi tanggung jawab dan tujuan kepemimpinan. Islam mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah menjadikan pemimpin takut untuk berbuat sesuka hati. Landasan keimanan dan ketakwaan menjadi sandarannya karena ia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat atas kepemimpinannya. Rasulullah Saw. bersabda, ”Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, dimana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakan dengan cara baik serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin" (HR Muslim).

Kedua, metode baiat. Metode baku pengangkatan pemimpin dalam Islam adalah baiat. Seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan umat. Bisa melalui pemilu langsung ataupun tak langsung. Proses ini tidak menghabiskan uang negara, dan bagi calon pemimpin tidak memerlukan suntikan dana dari para pendukungnya. Mekanisme dukungan bisa dilakukan dengan metode perwakilan melalui majelis umat yang menjadi wakil rakyat dalam memilih penguasa. Karena hakikatnya majelis umat memang benar-benar representasi dari umat.

Siapapun yang dibaiat dan sudah sah pembaiatannya, maka dialah yang menjadi pemimpin. Tak perlu disibukkan dengan debat quick count, real count dan exit poll, karena bukan perkara hitung-hitungan yang menjadi poin pentingnya, melainkan siapakah yang dibaiat menjadi pemimpin. Metode baiat ini bisa ditempuh dengan penunjukkan seperti terpilihnya Umar bin Khatthab menjadi kepala negara. Atau bisa juga dengan teknis musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi (tokoh masyarakat), sebagaimana pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan.

Dan ketiga, batas waktu pemilihan pemimpin. Islam menetapkan batas maksimal kekosongan pemimpin adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra. yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw. Demi tuntasnya baiat dalam waktu tiga hari, maka batas waktu pemilihan Khalifah adalah tiga hari. Sehingga tidak membutuhkan waktu kampanye yang panjang dengan menghabiskan uang dalam jumlah yang besar. Teknis pemilihan Khalifah dibuat sederhana namun jujur dan adil, sehingga dalam waktu tiga hari pemilu pun selesai. Dengan mekanisme ini, jelas terbukti proses pemilu dalam Islam berbiaya murah namun efektif, dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. 

Adapun masa jabatan seorang Khalifah, Islam menetapkan tidak ada batasan waktu ataupun berapa periode. Artinya selama Khalifah sebagai pemimpin mampu melaksanakan tugasnya maka ia tidak akan digantikan, kecuali ia melanggar hukum syarak atau hilangnya kemampuan atas dirinya sebagai seorang pemimpin. Misalnya hilangnya akal (gila), menjadi tawanan yang tidak memungkinkan dibebaskan, atau hal-hal lain yang menjadi sebab gugurnya salah satu syarat menjadi pemimpin. 

Dengan demikian sangatlah jelas mekanisme Islam dalam memilih dan menentukan pemimpin. Pemimpin yang berkualitas bagi rakyat, serta bervisi akhirat, sehingga rakyat yang menjadi amanahnya akan diurusi/dilayani dengan sepenuh hati sebagai bukti keimanan dan ketakwaan kepada Rabb-nya. Hanya dalam sistem khilafah hal ini bisa diwujudkan. Oleh karenanya umat jangan terbuai dengan euforia pesta demokrasi yang sejatinya tidak pernah berpihak pada kepentingan dan kemaslahatan umat. Wallahua’lam.

Oleh : Siti Rima Sarinah


Posting Komentar

0 Komentar