#wacana - Oleh N. Suci M.H.
Masyarakat sekularistik bentukan kapitalisme yang memisahkan agama dari ranah urusan sosial dan politik masyarakat saat ini, positif meningkatkan jumlah korban “mental illness” dan bunuh diri di Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat lebih dari 19 juta penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi (kemkes.go.id, 07/10/2021). Selain itu, berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada lima orang melakukan bunuh diri. Serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif (kompasiana.com, 15/10/2022).
Penelitian bersama University of Queensland di Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat (AS), berjudul Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang terbit pada 20 Oktober 2022 menemukan sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). (theconversation.com, 12/10/2022).
Output pendidikan yang materialistik dan arus moderasi beragama menjauhkan para putra penerus negeri ini jauh dari tujuan hidup yang lurus. Pemahaman kebebasan ala sekuler menghasilkan individu-individu hedonis dan permisif. Munculnya young crazy rich, potret pemuda ala Citayam Fashion Week, menjadi terkenal dan kaya secara material dianggap solusi masalah kepemudaan.
Kekosongan jiwa jauh dari agama nyatanya tidak membuat para Gen Z bisa menghadapi kenyataan bahwa kekayaan harta bukan kebahagiaan yang hakiki. Melenakan mereka dalam pusaran kapital yang sesaat. Liberalisme sekuler mencengkeram mereka dalam kemiskinan jiwa dan pragmatisme berpikir.
WHO pada tahun 1984 meredefinisi sehat, meliputi sehat jasmani, jiwa, sosial dan spiritual. Organisasi dunia ini melihat peran masyarakat melalui pendekatan keagamaan dipandang memberi kontribusi penting dan dibutuhkan dalam upaya pembinaan kesehatan jiwa, terutama pada aspek promotif dan preventif.
Sebuah Tulisan berjudul Kontestasi Diskursif di balik konsep dan Praktik Kesehatan Mental: Kekuasaan, Kolonialisme, dan kapitalis, karya Teguh Wijaya Mulya membahas dalam term sekuler-kapitalisme, aspek promotif lebih kepada marketisasi industri kesehatan mental. Psikologisasi dan psikiatrisasi masyarakat lebih disukai pemerintah neoliberal. Psikologisasi dan psikiatrisasi menjadi “obat” yang lebih murah dan instan untuk memamerkan tanggung jawab pemerintah neoliberal merawat masyarakat, tanpa melakukan perubahan ideologis dan struktural secara mendasar.
Pemerintah neoliberal yang cenderung mengindividuasi dan me-responsibilisasi masyarakat melalui mekanisme pasar, sehingga dapat mengalihkan perhatian dari masalah-masalah struktural yang lebih mendasar di balik problem-problem kesehatan mental seperti kemiskinan, rasisme, ketidakadilan gender, dan sistem kesehatan publik yang terus menerus defisit (researchgate.net). Artinya, secara sistemik kapitalisme gagal melakukan tindakan pencegahan terstruktural lahirnya penyakit mental masyarakat.
Dari sisi aspek preventif, neoliberal justru adalah candu merusak masa depan para agen perubahan. Paham materialistis untuk memacu produktivitas positif ala sekuler nyatanya menjadi bom waktu dalam lintasan keseharian pemuda. Kesibukan memenuhi keinginan hawa nafsu dan konsumtif pada pemuasaan raga mengarahkan mereka pada kemandulan berpikir dan pensikapan yang tragis pada persoalan real yang dihadapi baik perkara yang terkait dirinya sendiri, lingkungannya apalagi negaranya.
Produktivitas yang dimaksudkan kapitalisme dengan liberasisasinya justru tidak memproteksi millennials dari pergerakan yang salah. Kecanduan narkotika, minuman keras, seks bebas, aborsi, kriminalitas dan bunuh diri menjadi satu paket kesedihan potret pemuda saat ini. Circle kebobrokan dan kehinaan menjadi putaran gerak keseharian generasi Indonesia hari ini.
Para ahli kesehatan jiwa dan kedokteran jiwa mengakui bahwa agama merupakan unsur esensial dalam membentuk dan memelihara kesehatan jiwa. Dewasa ini, umat manusia tidak sekadar membutuhkan ceramah agama dan kupasan ilmu agama secara monolog, tetapi juga konsultasi dan konseling agama (kemenag.go.id).
Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi, dokter dari Persia, dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa) mengatakan ada kaitan rasional antara penyakit tubuh dan jiwa. “Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit kejiwaan,” tutur al-Balkhi. Menurutnya, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan psikoterapi (mukisi.com).
Idealisme pemberdayaan pemuda pemudi sudah ratusan tahun silam disiarkan Islam baik dengan pemikirannya dan implementasinya dalam peraturan hidup Islam secara personal, komunitas dan negara. Islam berhasil memunculkan sosok-sosok yang mengikuti kepribadian Rasulullah saw, para sahabat dan para salafus saleh adalah bukti konkrit penjagaan Islam terhadap generasi.
Dalam Islam, konseling dan psikoterapi adalah suatu hal yang mampu dijalankan secara perseorangan, komunitas dan negara sekaligus. Pemahaman saling menasehati dalam dakwah menjadi poros utama masyarakat saling menjaga kesadaran berpikir dan berbuat mensikapi sesuatu keadaan atau masalah. Melalui sistem pendidikannya, Islam mengokohkan pondasi kepribadian yang mulia dengan labelitas generasi terbaik sepanjang zaman. Dengan sistem pergaulan dan sanksinya, Islam mampu menjaga pemuda dan pemudi dari kesalahan berbaur di tengah-tengah masyarakat. Bahkan terbukti individu-individu saling menjaga keamanannya secara sosial.
Penerapan sistem ekonomi Islam mampu menjaga keseimbangan kesejahteraan dengan distribusi kekayaan yang paripurna dengan hitungan per kepala. Secara politik, negara Islam mampu menjaga generasi dari kotornya akal dan jiwa dengan filterisasi pemikiran-pemikiran merusak secara masif dan konstruktif. Dengan demikian, pergerakan pemuda terjaga pada pengembangan diri dan kemampuannya menjadi berdayaguna untuk diri, umat dan agamanya.
Walhasil, jika insan muda harapan bangsa ini terus dibiarkan terkungkung dalam lingkaran pengurusan sekuler-kapitalisme, potensi yang dimilikinya justru tidak akan berkembang dan melejit. Yang terjadi adalah para pemuda bermental sakit yang buram identitasnya, tidak terarah kehidupannya dan pasrah dengan segudang problematika hayatnya. Generasi labil yang akan menjadi beban peradaban akan terus bertambah jika bertumpu pada ide liberalisme-sekuler kapitalis.
Saatnya menyelamatkan talenta-telenta muda negeri ini dari mental illness menuju manusia muda yang sehat secara raga, jiwa dan daya pikir. Generasi gemilang yang mensikapi dirinya dengan nilai tinggi, menjadi katalisator perubahan terdepan di tengah masyarakat dan layak menjadi pemimpin masa depan. Semua itu hanya mampu diemban di atas pundak sistem peradaban manusia yang cemerlang berabad-abad lamanya, yakni dengan penerapan Islam kafah. Wallahu’alam bishshawwab.
0 Komentar