Radikalisme Meningkat Jelang pemilu 2024




Saat ini isu radikalisme kian dimasifkan kembali oleh mereka yang membenci Islam. Berbagai simbol Islam senantiasa dijadikan framing negatif seperti cadar, jilbab, jenggot bahkan senantiasa dikaitkan dengan jamaah dakwah yang menyuarakan syariah dan khilafah terlebih saat menjelang Pemilu. Hal ini tentu membawa dampak buruk kepada kaum muslim itu sendiri, karena bagi mereka yang tidak paham Islam akan mudah terpengaruh dan pada akhirnya akan semakin tidak menyukai syariat Islam yang mulia inj. Untuk itu ustazah Hanin sebagai Ibu Pemerhati Politik akan menjelaskan hal tersebut agar masyarakat tidak gagal fokus. 


Pertanyaan : Gelombang stigmatisasi radikalisme terus menerjang tiada henti. Berbagai upaya dilancarkan demi satu tujuan, yakni deradikalisasi yang tampaknya menjadi program utama di seluruh jajaran pemerintahan. Bagaimana menurut ibu?


"Betul sekali, sejak peristiwa 911 dunia dengan Amerika Serikat sebagai pemimpinnya gencar dengan War On terrorism, dan diteruskan pada masa Barack Obama memperluasnya dengan War On Radicalism, karena menurutnya tidak hanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh teroris tetapi pemikiran mereka yang berisi ujaran kebencian terhadap kebebasan dan kemerdekaan berpendapat juga harus di selesaikan, kemudian hal itu diamini oleh pemerintah negeri ini dengan mengesahkan Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2021 yang ditandatangani oleh Presiden RI pada 6 Januari 2021 lalu, berbagai upaya menanggulangi ekstremisme dilakukan. Perpres yang diwacanakan untuk menciptakan rasa aman dan melindungi warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme ini, akan diaplikasikan dengan mengedepankan pendekatan lunak ( soft approach ) yang menjunjung tinggi prinsip Hak Azazi Manusia (HAM). Dan selanjutnya lembaga yang secara khusus menampung hal ini adalah BNPT(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang digawangi oleh Komjen Pol Dr. Boy Rafly Amar, MH., Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) ini direncanakan tidak hanya ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor pemicu tindak terorisme saja, tetapi juga ditujukan untuk membangun ketahanan masyarakat secara umum. Tiga pilar aksi dalam RAN PE ini diharapkan dapat dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika yang terjadi di waktu yang akan datang.


Tiga pilar itu adalah, pertama pencegahan, yang kedua adalah penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional, yang ketiga adalah pilar kemitraan dan kerja sama internasional. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Dr. Boy Rafly Amar, MH., menyatakan bahwa ke depannya BNPT akan mensosialisasikan Perpres RAN PE ini, dan akan berkoordinasi dengan para pihak terkait dalam mengimplementasikan rencana aksi tersebut. Jadi wajar kiranya yang terjadi saat ini isu ini semakin deras dan melibatkan banyak pihak di dalamnya, mulai dari lembaga-lembaga pendidikan, instansi-instansi pemerintah, dan juga lembaga-lembaga dan ormas yang ada di masyarakat. Bahkan sampai kepada institusi terkecil dalam masyarakat yakni keluarga.


Pertanyaan: Apa sebetulnya definisi radikalisme dan untuk siapa label tersebut? Karena ketakjelasan definisi ini memang membingungkan masyarakat, apalagi menjelang tahun pemilu seperti saat ini.


"Radikalisme dari kata radics:akar, jd radikalisme adalah satu paham yang muncul dan berpegang kepada akar dan asas yang kuat, dan itu harusnya secara bahasa maknanya benar, ciri radikalisme itu kan kuat dengan prinsip/idealis. Akan tetapi sekarang radikalisme dikonotasikan sesuatu yang buruk, bahkan selalu diopinikan dan diidentikkan kepada Islam dan kelompok-kelompok Islam. Hal ini terjadi karena ektremisme yang didefinisikan dalam RAN PE sebagai keyakinan atau tindakan yang menggunakan cara-cara atau ancaman kekerasan dengan tujuan mendukung dan melakukan terorisme ini sangat nyata bias dari sisi batasan dan ukurannya. Ini dikhawatirkan menimbulkan multitafsir di masyarakat dan disalahgunakan oleh para pemangku kepentingan di negeri ini. Juru bicara BNPT, Edi Hartono, dalam penjelasannya mencontohkan, ciri ekstremisme sebagai sikap tidak mau membaur dalam kegiatan masyarakat, bersikap tertutup, dan selanjutnya tidak sepakat dengan nilai-nilai Pancasila (BBC News Indonesia, 18/1/2021).

Sontak ini menjadi bentuk opini "gebyak-uyah" ditengah masyarakat, seharusnya BNPT lebih detil mengungkap definisi radikalisme dan terorisme dengan definisi yang jelas dan terukur, bukan malah memperkeruh suasana di masyarakat sehingga mereka saling curiga-mencurigai yang justru memunculkan konflik horizontal di tengah masyarakat."


Pertanyaan: Apakah isu radikalisme yang sering kali diangkat membuktikan bahwa ada pencegahan kebangkitan Islam? Mengingat gelombang itu semakin terlihat. 


"Bisa jadi, karena pencetus awalnya kan jelas siapa, Amerika Serikat dengan ideologi Kapitalisme-sekulernya jelas tidak akan pernah rela, sistem hidup yang dia jalani sekarang akan dikalahkan oleh sistem lawannya yakni ideologi Islam, karena paska sosialis-komunisme runtuh, musuh utama AS hanyalah Islam ideologi, maka wajar kiranya AS melihat Islam sebagai satu ancaman sehingga dia akan melakukan aksi-aksi tertentu untuk membendung kebangkitan Islam ideologi ini. Dan AS sudah bisa memprediksi kalau nanti Islam ideologi tegak dan kuat dalam sistem politiknya pasti akan menghabisi nilai-nilai yang selama ini diemban dan disebarkan oleh AS ke seluruh dunia, di antaranya adalah HAM, demokrasi, dan kebebasan ala Barat dan tentu saja itu akan sangat merugikannya. Maka, bagaimana AS bertujuan bagaimana caranya Islam menjadi "common enemy" di dunia terutama Islam politik. Misalnya dengan menstigmatisasi bahwa Islam menjadikan ajarannya yang radikal itu mendasari berbagai aksi-aksi terorisme. Dan itu diratifikasi boleh pemerintah negeri ini. Meskipun tuduhan itu sangat tidak berdasar."


Pertanyaan: Lantas harus bagaimana masyarakat dalam menyikapi hal ini?

 Persatuan seperti apa yang harus dimiliki

masyarakat untuk mendudukkan isu radikalisme sesuai porsinya, dengan memahami bahwa apa radikalisme itu dan tidak mudah termakan isu dan definisi yang tidak bertanggung jawab seputar hal ini, dan jika radikalisme dikonotasikan negatif dan disematkan kepada Islam dan kelompok-kelompok Islam. 


Perlu dipahami bahwa Islam sendiri jelas melarang tindakan ekstremisme dan terorisme.

Tindakan pemaksaan dengan cara mengancam dan melakukan kekerasan kepada orang lain telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, apalagi hingga berujung pada pembunuhan. Dalam Quran Surah An-Nisaa’ ayat 93, Allah SWT berfirman, yang artinya, “ Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.”

Islam juga melarang orang yang melakukan aktivitas teror, dan mengakibatkan kegoncangan keamanan, atau instabilitas di tengah-tengah masyarakat, atau menyebabkan terhentinya (terlantarnya) aktivitas masyarakat, maka pelakunya akan dikenakan sanksi penjara dari 6 bulan hingga 5 tahun oleh Qadla (Pengadilan Daulah Islam). Kemudian juga Islam melarang aktivitas memata-matai, mencari berita, dan menyelidiki (tajassus) diantara sesama kaum Muslimin. Tajassus adalah perbuatan memata-matai orang lain, mencuri dengar pembicaraan orang lain, mencari-cari keburukannya, mencari tahu apa yang terjadi di rumah tetangganya, hingga mencari berita dari anak kecil tentang keadaan di suatu rumah. Bahkan Allah telah melarang perbuatan tersebut seperti dalam firmanNya di Surah Al-Hujurat ayat 12, yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu melakukan _tajassus_ (mencari-cari keburukan orang lain).”

Maka, perbuatan teror sangat tidak dibenarkan dalam Islam. Aktivitas tajassus yang implementasinya sejalan dengan program RAN PE juga dilarang dalam Islam. Jadi sebenarnya, jika seorang muslim berpegang teguh dengan ajaran Islam, tentu ia tidak akan mungkin melakukan tindakan teror. Pemerintah dan BNPT sesungguhnya tidak perlu khawatir akan hal ini. Justru seharusnya pemerintah dan BNPT menggandeng para alim ulama dan pendakwah untuk membantunya menjelaskan tentang larangan tindak terorisme ini kepada masyarakat, bukan malah sebaliknya memunculkan kecurigaan dan saling lapor-melaporkan di tengah masyarakat.

Maka, seharusnya umat Islam sebagai mayoritas negeri ini memiliki satu pemahaman dan satu suara dengan tidak mudah termakan isu dan opini yang diaruskan oleh para pembenci Islam dimanapun berada, karena Islam adalah Rahmatan Lil'alamiin, rahmat bagi seluruh alam tidak membedakan apa pun dan siapapun suku agama dan rasnya, sehingga framing buruk dari musuh-musuh Islam seharusnya diabaikan saja. Tetap fokus menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya sebagai wujud penghambaan kepada Allah zat penguasa alam raya. Dan menerapkan hukum Islam secara totalitas itu memang diperintahkan Allah, jika Barat menolak ajaran khilafah dan jihad seharusnya umat Islam di negeri ini juga tidak ikut-ikutan latah menolaknya, karena bagaimanapun jihad dan khilafah merupakan bagian ajaran Islam, sebagaimana ajaran sholat, zakat, puasa dan dakwah. Syariat Islam bukan prasmanan yang dipilih sesuka hati karena Allah menurunkan syariat Islam itu sudah lengkap dan paripurna dan semua harus dilaksanakan. 

Jadi be a smart moeslim, bukan muslim yang latah ikut-ikutan stigmatisasi buruk ajaran Islam.


 Wallahualam bissawab.


Oleh : Hanin Syahidah, S.Pd

Posting Komentar

0 Komentar