Indonesia menjadi tuan rumah dari konferensi kepala perpustakaan nasional di Asia dan Oseania (CDNLAO) ke-28 yang akan di gelar di Jakarta, pada 24-27 Oktober 2022. Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando menjelaskan pertemuan CDNLAO mengangkat tema Library Service Impacts on Community Sustainability, Inclusion, and Innovation.
Pertemuan ini memiliki tiga tujuan utama yakni untuk bertukar informasi dan mempromosikan kerjasama dalam pengembangan perpustakaan di Asia dan Osenia, membantu perpustakaan di negara-negara kurang berkembang melalui kerja sama, dan memahami perkembangan seni perpustakaan di antara perpustakaan di Asia dan Osenia (antaranews, 23/10/2022).
Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Indonesia yang mendapatkan kehormatan menjadi tuan rumah konferensi kepala perpustakaan. Hal ini yang didukung oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) 2022 menyatakan perpustakaan umum sebagai kekuatan untuk pendidikan, kebudayaan, inklusi dan informasi sebagai agen untuk pembangunan berkelanjutan dan pemenuhan kebutuhan individu akan perdamaian dan kesejahteraan spiritual semua individu.
Sudah seharusnya memang, perpustakaan menjadi pusat informasi bagi masyarakat khususnya pelajar untuk mendapatkan ilmu dan informasi yang seluas-luasnya. Karena, informasi ini sebagai wadah mendapatkan ilmu untuk mengetahui banyak hal, yang bukan hanya berasal dari negerinya sendiri bahkan dunia. Sehingga generasi muda mengetahui terkait informasi kekinian baik menyangkut masalah ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
Namun sangat disayangkan, faktanya generasi muda di negeri ini minim minatnya pada dunia literasi bahkan sangat memprihatinkan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessnebt (PISA) yang rilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (ECD) pada tahun 2019, mengatakan bahwa Indonesia menempati peringakat ke-62 dari 70 negara yang disurvei. Bahkan, pada tahun 2011 UNESCO menyebutkan bahwa hanya ada satu dari seribu masyarakat Indonesia yang menyukai kegiatan membaca (beritansional.id,13/07/2022).
Fakta ini sangat bertolak belakang dengan target pemerintah di tahun 2045 Indonesia akan menjadi negara yang memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Sedangkan target ini tidak berkorelasi positif dengan literasi membaca sebagai salah satu aspek untuk membentuk sumber daya manusia selain karakter dan kompetensi.
Pemerintah telah mengupayakan meningkatkan minta baca generasi muda dengan menerapkan budaya literasi di sekolah. Juga ada program Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang tengah merancang kegiatan “Peta Jalan Pembudayaan Literasi Indonesia” untuk mewujudkan SDM yang unggul. Namun nampaknya program ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini terjadi bukanlah tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Seperti tidak adanya kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini, juga dari sisi sarana dan prasarana pendidikan belum memadai atau belum merata. Tidak semua sekolah mempunyai perpustakaan sekolah. Jangankan perpustakaan, bangunan sekolah pun banyak yang tak layak. Kalaupun sekolah memiliki perpustakaan, itupun sangat minim.
Ditambah lagi, kecanggihan teknologi dengan hadirnya gadget di tengah-tengah sukses menggeser minat baca generasi. Media sosial, game online, dan nonton film lebih menarik daripada membaca. Bahkan lebih buruk dari itu, mereka mengalami kecanduan gadget hingga merusak bukan hanya pemikiran mereka, tetapi sekaligus moral dan mental secara bersamaan. Walhasil, generasi kita menjadi generasi yang minim pengetahuan dan wawasan serta tidak memiliki pemikiran yang kritis apalagi peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi bangsa.
Dan negara yang memiliki wewenang untuk menjaga generasi sebagai aset pembangunan, hanya diam seribu bahasa seakan menutup mata terhadap kerusakan generasi yang ada di depan mata. Walaupun telah banyak program yang dicanangkan, tetapi ketika tidak melibatkan peran negara, atau tidak adanya counter attack dari negara untuk menjaga segala bentuk informasi yang merusak generasi, maka tidak akan memberi pengaruh apapun.
Minimnya minat terhadap literasi juga telah menjadikan pendidikan di negeri ini menghasilkan SDM dengan kualitas yang sangat rendah. Akhirnya, terjadilah lingkaran setan antara kebodohan dan kemiskinan. Ditambah lagi dengan penerapan sistem kapitalistik yang memandang pendidikan sebagai ajang bisnis, sehingga yang bisa mengenyam pendidikan berkualitas hanyalah golongan orang-orang berduit. Sedangkan orang miskin hanya mampu mengakses pendidikan ala kadarnya, bahkan ada yang tidak bisa menjangkaunya sama sekali.
Inilah salah satu PR terbesar bangsa ini. Sulitnya membangun generasi berkualitas, hingga Indonesia menjadi negara yang tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lainnya. Dampak selanjutnya, negeri ini menjadi sangat mudah dijajah dan diintervensi oleh Barat.
Melihat fakta ini, seberapa layakkah negeri ini menjadi tuan rumah konferensi kepala perpustakaan Asia, sedangkan realitasnya sangat berbanding terbalik?.
Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan masa kejayaan Islam yang pernah menjadi mercusuar pendidikan selama 1300 tahun. Dunia literasi merupakan salah satu aspek pemantik dalam membangun sistem pendidikan agar generasi selalu haus akan ilmu pengetahuan. Sehingga mereka terdorong mencari, membaca, berdiskusi dan bereksperimen karena rasa ingin tahu yang besar.
Dalam Islam, faktor ruhiyah menjadi dorongan kuat bagi siswa untuk semangat belajar, membaca dan berdiskusi. Karena memahami bahwa Allah Swt meninggikan orang-orang yang berilmu. Dan negara benar-benar menjalankan perannya melayani rakyat dalam hal apapun, termasuk pendidikan.
Negara menjamin dan memberikan fasilitas pendidikan yang berkualitas untuk mewujudkan generasi berkualitas. Di masa Khilafah begitu banyak dibangun perpustakaan di seluruh penjuru negeri yang sangat besar dan lengkap. Perpustakaan menjadi bagian yang tak terpisah dari sejarah peradaban dan pemikiran Islam. Rakyat pun antusias membaca hingga perpustakaan menjadi tempat yang ramai dikunjungi.
Khilafah pun memberikan gaji yang besar bagi para guru dan menghargai jasa para penulis dengan emas seberat buku hasil karyanya. Bahkan pada masa khalifah Al-Ma’mun, penerjemah buku kuno diberikan gaji 500 dinar atau setara dengan dua kilo gram emas. Sehingga wajarlah apabila semangat literasi membahana di seluruh penjuru negeri.
Selain itu, perpustakaan juga telah berperan penting dalam mencetak banyak para ilmuwan yang menjadi penggerak berbagai macam ilmu pengetahuan. Seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al Biruni dan lain sebagainya. Ini menjadi bukti bahwa keberhasilan Khilafah dalam mewujudkan generasi pembangun peradaban Islam mulia, yang cinta dan selalu haus akan ilmu, salah satunya melalui dunia literasi. Wallahua’lam.
Oleh: Siti Rima Sarinah
0 Komentar