UIY: Istiqomahlah Meneladani Rasulullah, karena Tiba di Ujung Perjuangan Hanya Masalah Waktu

 


“Kita harus menempatkan Nabi itu sebagaimana mestinya. Sebagai sosok yang disebut Allah sebagai uswatun hasanah. Ini Allah lho yang menyebut. Hari ini tidak sedikit umat Islam yang menempatkan Nabi tidak seperti itu. Tahu ini Nabi Muhammad. Tahu bahwa dia harus cinta. Bahkan kelahirannya diperingati. Tapi dia tidak menempatkan Nabi sebagai uswatun hasanah yang harus diikuti”, ungkap Ustadz Ismail Yusanto, dalam acara Talkshow Online memperingati Maulid Nabi Saw 1444H, pada Sabtu, 08 Oktober 2022. 

Dalam momen peringatan Maulid Nabi yang mengangkat tema “Maulid Leadershiop Forum” Ustadz Ismail menyampaikan bahwa mengikuti Nabi itu adalah bukti cinta kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat 31, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku”. 

Ustadz Ismail mengatakan kita tidak mungkin tidak cinta kepada Allah karena kita ini hamba Allah. “Kita diciptakan oleh Allah, kita tinggal di bumi Allah, kita makan rejeki Allah, kita menghirup udara Allah. Kalau kita tidak cinta kepada Allah, kita mau tinggal dimana? Ada yang mengatakan yang ingin menegakkan syariat keluar dari Indonesia, keluar dari bumi. Trus kalau keluar dari dari bumi mau kemana? Mars? Itu milik Allah juga. Tidak ke mana-mana? Melayang-layang di udara? Udara itu juga milik Allah”, tegasnya. 

Bagaimana realisasi atau perwujudan cinta kita kepada Allah, Ustadz Ismail menjelaskan ayat “Fattabi’uni”. “ikutilah aku”. Ibnu Katsir mengatakan bukan sembarang itibak, tapi itibak ul haq, yaitu mengikuti perintah dan larangannya. Jadi apa yang diperintah Rasul, lakukanlah. Apa yang dilarang, maka tinggalkanlah. 

Menempatkan Nabi sebagai uswatun haasanah adalah persoalan yang sangat mendasar, serius dan vital karena bagian dari aqidah. Ustadz Ismail menyuguhkan fakta bahwa di titik aqidah inilah hari ini umat Islam diserang. Karena musuh-musuh Islam mengerti bahwa kekuatan Islam, kekuatan umat terletak pada aqidahnya. 

Muncullah apa yang disebut dengan Gawzul Fikr, perang pemikiran. Ada “pertarungan” melawan kelompok fundamentalis, kelompok radikal. Yaitu mereka yang menginginkan syariat Islam dan tidak suka kepada nilai-nilai Barat. Jangka panjangnya, mewujudkan Islam yang ramah kepada Barat. Islam jenis baru. Hal ini tertulis dalam dokumen RAND Corporation, sebuah lembaga think tang Amerika. “Otaknya atau die-hardnya RAND Corp, Daniel Pipes mengatakan bahwa kita ini sedang berperang melawan Islam. Jadi mereka itu bukan hanya hendak menghancurkan orangnya, kelompok atau pejuangnya, tapi juga akan menghancurkan Islamnya”, papar Ustadz Ismail. 

Ustadz Ismail melanjutkan, kita tidak boleh kalah. Kita harus menjadi Ansharullah, penolong Allah. Menjaga agar agama ini tetap ada, tetap mengalir, tetap dipahami, diyakini, diamalkan dan diperjuangkan. “Dari 1,7 milyar umat Muslim seluruh dunia hari ini, 10 persennya saja itu sudah bisa menjadi kekuatan yang luar biasa. Ini pekerjaan yang sangat serius dan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh, konsisten, penuh keberanian, penuh kesabaran sekaligus penuh keikhlasan”, pesan Ustadz Ismail.  

Menjawab pertanyaan moderator bagaimana menghadapi tantangan dalam meneladani Rasulullah hari ini, Ustadz Ismail mengingatkan, hambatan itu pasti ada. “Nggak usah sekarang, jaman dulu juga selalu ada hambatan. Di sepanjang sejarah selalu ada. Hanya beda nama dan bentuknya atau intensitasnya”, tegasnya. 

Ustadz Ismail mengambil istilah Muhammad Ghazali yang menyebut hari ini kita hidup di zaman jahiliyah abad 20. Wajar jika situasinya penuh dengan kekacauan dan pertentangan. Umat mudah dipecah belah. Ada yang ditekan ada yang diangkat. Siapa yang diangkat siapa yang ditekan semua orang tahu. Ustadz Ismail kemudian berpesan, jangan putus asa seburuk apapun dan seberat apapun persoalan. “Kita tidak boleh mengatakan bahwa kita punya masalah besar. Tetapi katakanlah, kita semua punya Allah yang Maha besar. Kalau Allah Maha Besar maka masalah itu menjadi keacil”.

Sebagai penutup Ustadz Ismail memberikan motivasi, bahwa kita ini hanyalah setitik noktah saja dari deretan garis perjuangan. Jika kita terus on the track, dalam hal ini itibak, mengikuti jalan Nabi, maka tiba di ujung atau tujuan perjuangan hanyalah masalah waktu. Diperlukan kesabaran, ketekunan, keberanian, keikhlasan dan kesungguhan. 

“Ingat bahwa peradaban itu perhitungannya bukan tahunan, bukan belasan, bahkan puluhan. Tapi ratusan tahun. Konstantinopel baru takluk setelah 825 tahun. Bentangan waktu yang begitu Panjang. Maka, mari kita dedikasikan umur kita yang singkat ini benar-benar lillah, billah, fillah. Untuk Allah, di jalan Allah, demi Allah. Fil Islam, lil Islam, bil Islam. Hingga ketika kita berharap surga itu insyaa Allah selaras. Karena nggak masuk akal ketika di dunia memerangi agama Allah, tapi mati ingin masuk surganya Allah”, tutupnya. 

Reporter Anita Rachman

Posting Komentar

0 Komentar